AYOBANDUNG.ID - Sabtu, 9 Februari 2008. Jalan Braga, Bandung, ramai dipadati kawula muda yang berpakaian serba hitam. Mereka berdatangan sejak sore, menyesaki halaman depan Gedung Asia Afrika Cultural Center (AACC), bangunan bersejarah yang berdiri anggun di jantung kota. Di malam itulah, band metal asal Bandung, Beside, dijadwalkan merilis album perdananya bertajuk Against Ourselves. Euforia terlihat jelas. Ribuan orang datang untuk menyaksikan pertunjukan band yang sedang naik daun ini.
Gedung AACC malam itu seakan tak lagi memiliki batas kapasitas. Daya tampung yang terbatas untuk 500 orang malah diserbu massa melebihi angka tersebut. Di luar gedung, ratusan orang tanpa tiket mencoba mencari cara untuk bisa masuk. Suara gitar dan raungan vokal dari dalam gedung menyulut antusiasme. Pintu-pintu sempit yang tersedia tidak mampu mengatur arus manusia yang datang dari segala arah.
Selama pertunjukan berlangsung, massa yang memadati ruangan bergoyang dalam pogo dan moshing, ritual khas pertunjukan musik keras. Suhu ruangan meningkat tajam. Ventilasi tidak memadai. Tak ada jalur evakuasi. Tak ada unit kesehatan. Dan yang paling fatal, tak ada sistem pengamanan yang memadai. Sebuah konser yang seharusnya membangkitkan semangat kolektif justru menampilkan contoh nyata lemahnya pengelolaan acara skala besar.
Tragedi dimulai ketika konser usai. Ratusan penonton mulai bergerak keluar melalui satu pintu kecil, sementara dari luar masih ada kerumunan yang berusaha masuk. Tubuh-tubuh terjepit di lorong sempit. Suara teriakan minta tolong bercampur dengan kepanikan massal. Beberapa penonton terinjak, lainnya kehabisan napas karena pengap dan desakan tanpa henti. Satu demi satu tubuh tumbang, namun belum ada pertolongan datang.
Sebelas orang dinyatakan meninggal di malam yang kelak disebut sebagai sabtu Kelabu itu. Sebagian besar korban adalah remaja, beberapa bahkan belum genap dua puluh tahun. Puluhan lainnya luka-luka. Dunia musik Indonesia berduka. Gedung AACC langsung ditutup usai kejadian dan baru dibuka kembali dua tahun kemudian. AACC berganti nama menjadi De Majestic.
Peristiwa ini tidak hanya menjadi luka kolektif komunitas musik Bandung, tetapi juga memicu perdebatan besar soal keselamatan dalam penyelenggaraan konser, peran aparat, dan media yang menyudutkan komunitas bawah tanah.
Baca Juga: Geger Bandung 1934, Pembunuhan Berdarah di Rumah Asep Berlian
Kesaksian dari Dalam Komunitas Underground
Sejumlah (mantan) pentolan Beside dan Ujungberung Rebels yang jadi salah satu representasi corong suara komunitas musik bawah tanah memberikan kesaksian mereka ihwal peristiwa kelam di malam jahanam tersebut. Dalam dokumenter yang diluncurkan Beside 2015 lalu, eks gitaris mereka, Ichad, menggambarkan bagaimana panasnya suasana di AACC bahkan saat sebelum unit metal ini naik ke atas panggung.
“Pas kita masuk venue, orang-orang di pinggir tuh udah banyak banget, sampai kita tuh waktu itu masuk lumayan susah karena terlalu, apa, berhimpitan,” kenang Ichad Infamy.
Pertunjukan berjalan luar biasa. Penampilan Beside penuh energi. Massa bergemuruh di depan panggung, pogo menggema. Namun suhu di dalam gedung makin pengap. Beberapa penonton mulai tumbang karena dehidrasi. Tak ada PMI. Tak ada tim medis. Hanya sesama penonton yang saling membantu. Sementara aparat keamanan duduk santai di luar gedung, merokok di atas motor.
Sosok mendiang Eben Burgerkill menjadi saksi mata. Dalam sebuah memoar khusunya tentang tragedi Sabtu Kelabu, ia menyebut melihat ratusan orang masih antre masuk setelah ia tiba pukul 19.00. Sebagian di anatarnay, tanpa tiket. Beberapa aparat terlihat duduk di atas motor sambil merokok. Dari dalam, suara Beside sudah mulai menggelegar.
“Dari pinggir panggung saya melihat hampir 800 metalhead memadati crowd yang intens berpogo ria diiringi penampilan Beside yang powerfull,” tulis Eben dalam kesaksian tertulisnya. Kapasitas gedung hanya 500 orang. Penonton yang datang, jauh lebih banyak.
Saat Eben keluar sebentar untuk membeli minuman, ia menyaksikan dari dekat kerumunan penonton yang tanpa tiket mendorong gerbang. Di dekat mereka, aparat masih tetap duduk santai. “Saya sempat mengingatkan salah seorang aparat untuk segera bertindak,” tulis Eben, “tapi hanya sebuah jawaban sederhana yang saya terima: ‘Udah biarin aja, ada panitia yang jaga, kamu nggak usah ikut-ikutan.’”
Sekitar pukul 20.30, konser selesai. Penonton mulai keluar. Tapi dari luar, arus masuk masih berusaha menyeruak. Dalam himpitan antara massa yang ingin masuk dan yang ingin keluar, terjadilah bencana. Beberapa orang jatuh, tertindih, terinjak. Ruang gelap, ventilasi tak memadai, dan panik menyergap siapa saja.
“Setelah acara beres, yang dari luar itu nggak tahu bahwa acara itu sudah beres. Nah yang dari luar maksa ke dalam, nah yang dari dalam pengin keluar. Nah di situlah kejadian orang-orang yang benar-benar chaos itu,” jelas Ichad.
Beberapa orang mencoba membantu korban yang tergeletak pingsan. Eben sendiri membopong salah satu korban ke mobil panitia. Tapi rekan yang membantunya justru dipukul aparat. Ketika Eben melerai, ia dikeroyok hampir dua puluh orang. “Mereka menyerang saya dan mengeroyok membabi buta seperti segerombolan preman yang haus berkelahi,” tulisnya getir.
Sebelas orang meninggal dunia. Belasan lainnya luka-luka. Beberapa korban disebut bahkan ditolak RS karena masalah administrasi. “Setibanya di rumah sakit hampir sebagian besar korban tidak dilayani dan hanya dibiarkan saja,” ujar Eben.
Tapi tragedi ini tak berhenti pada duka. Ia disusul dengan stigma. Media menyalahkan komunitas. Ada isu beredar bahwa panitia sengaja bikin mabuk penonton dengan minuman keras. Reggi Kayong dari Solidaritas Independen Bandung menuturkan bahwa media lebih senang memuat sensasi ketimbang menyuarakan kebenaran. “Mereka hanya berpihak kepada opini yang dominan. Opini yang dominan adalah opini yang menjual, yang dihiperbolakan, yang dibesar-besarkan. Komunitas dituding menjual tiket terlalu banyak, musiknya dikafirkan.”
Komunitas segera bergerak. Sehari setelah tragedi, sejumlah pegiat budaya berkumpul di Common Room. Yang dilakukan pertama adalah evaluas. Setelah itu digelar malam seribu lilin, penggalangan dana untuk keluarga korban, hingga pendampingan hukum bagi panitia.
Kimung, penulis buku sejarah Ujungberung Rebels, merespons dengan menulis Memoar Melawan Lupa. “Itu persembahan saya pribadi dan juga komunitas metal Indonesia kepada korban tragedi ACC,” katanya. Buku ini dirilis pada 9 Februari 2011, tepat tiga tahun setelah kejadian.
Baca Juga: Benjang dari Ujungberung, Jejak Gulat Sakral di Tanah Sunda
Beside sendiri kemudian merilis lagu berjudul Eleven Heroes sebagai penghormatan. Lagu itu pertama kali dibawakan dalam Hellprint 2014. Atas dorongan komunitas dan pertemuan dengan Walikota Bandung saat itu, Ridwan Kamil, didirikan pula tugu kecil di Taman Musik. Sebuah penanda bahwa tragedi ini tak boleh dilupakan.

Jadi Sulit Gigs
Seusai tragedi AACC, geliat musik keras di Bandung tak pernah lagi sama. Kota yang selama dua dekade sebelumnya dikenal sebagai salah satu barometer musik bawah tanah di Indonesia, mendadak lumpuh. Bukan hanya karena duka atas kehilangan sebelas nyawa di malam peluncuran album Beside, tapi juga karena efek sistemik yang datang sesudahnya: stigma, paranoia, dan represi halus berkedok keamanan.
Bagi komunitas, konser musik bukan sekadar ajang hiburan. Ia adalah ruang ekspresi, pengikat solidaritas, dan perwujudan dari kebebasan berkreasi. Tapi setelah 9 Februari 2008, ruang-ruang itu perlahan ditutup. Pemerintah daerah dan aparat keamanan menanggapi tragedi dengan pendekatan restriktif: memperketat izin acara, membatasi genre tertentu, bahkan mem-blacklist band-band yang dianggap “ekstrem”. Musik metal, hardcore, dan punk secara tidak langsung diasingkan dari panggung publik.
“Dari kejadian AACC itu memang kita jadi lebih susah dapat gigs lah gitu kasarnya,” kata Eben dari Burgerkill. Larangan tampil bukan hanya diberlakukan di Bandung, tapi menjalar ke kota-kota lain. Komunitas luar daerah jadi ragu mengundang band-band Bandung. “Wah ada apa nih di Bandung?” begitu nada kekhawatiran mereka. Seolah tragedi itu semata-mata kesalahan band dan penontonnya.
Tak hanya soal larangan, muncul pula upaya-upaya tak kasat mata untuk membungkam skena. Eks Beside, Hinhin Agung Daryana mengaku sempat mendengar kabar adanya “standar harga” tertentu yang harus dipenuhi jika band metal ingin tetap tampil. Bentuknya bukan aturan resmi, tapi tekanan halus: uang pelicin, kompromi tema acara, atau bahkan sensor terhadap penampilan panggung.
Semua event musik cadas langsung dibatalkan pasca-AACC. Pihak kepolisian enggan memberikan rekomendasi. Venue komersial pun ikut-ikutan tutup pintu. Kekosongan ini memaksa musisi kembali ke garasi dan studio latihan, menghidupkan panggung-panggung alternatif di rumah, lapangan, atau gudang kosong.
Baca Juga: Dari Gurun Pasir ke Kamp Konsentrasi, Kisah Tragis Keluarga Berretty Pemilik Vila Isola Bandung
Respon komunitas tidak selalu frontal, tapi tetap bernada perlawanan. Salah satu yang paling ekspresif datang dari band Seringai. Mereka merilis lagu “Dilarang di Bandung”, yang terinspirasi langsung dari kondisi skena pasca-tragedi. Lagu ini menjadi semacam kritik sekaligus pengingat: bahwa musik seharusnya tidak dilarang hanya karena genre atau style-nya. Dilarang di Bandung, kata mereka, bukan sekadar status, tapi luka yang dibingkai dalam riff dan amarah.
Bandung yang dulu dijuluki hometown bagi ratusan band cadas, berubah jadi kota yang dicurigai sejak itu. Dan seperti biasa, yang tersudut bukanlah mereka yang punya kuasa, melainkan yang selama ini hanya mencoba berbagi suara. Dari atas panggung. Dengan distorsi. Tapi juga dengan niat baik.