AYOBANDUNG.ID - Di utara Bandung, berdiri sebuah bangunan putih yang bentuknya agak nyeleneh tapi penuh gaya. Ia tidak seperti rumah kolonial biasa dengan pilar tinggi dan genteng merah. Bangunan ini bulat, melengkung, bertingkat-tingkat seperti kue tart arsitektural. Namanya Vila Isola. Dibangun pada 1932 oleh arsitek art deco ternama, bangunan ini pernah jadi lambang kejayaan seseorang yang kehidupannya tak kalah mencolok dari desain rumahnya.
Vila yang kini jadi Gedung Rektorat Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) ini bukan cuma bangunan tinggal. Ia adalah panggung. Panggung bagi satu keluarga kecil yang dulu tinggal di sana: seorang ayah flamboyan, anak lelaki semata wayang yang dimanjakan, dan seorang adik perempuan kecil yang tak pernah jauh dari kakaknya.
Sosok sang ayah: Dominique Willem Berretty. Bos besar kantor berita Aneta (cikal bakal Antara), orang kaya raya Hindia Belanda yang hidupnya seperti drama—penuh cinta, gosip, uang, dan akhirnya: maut. Nama si anak: Dominique Roderick Berretty, atau akrab disapa Dodo, bocah lelaki yang sempat tumbuh di atas panggung megah Isola, sebelum hidup melemparkannya ke jalanan Eropa yang keras, kamp Nazi yang kejam, dan akhirnya Paris yang sunyi.
Kisah dua Berretty ini adalah hikayat dua zaman yang saling bertubrukan. Satu hidup di masa Hindia Belanda, satu lagi di masa dunia yang sedang berubah—di antara perang dunia, dekolonisasi, dan modernitas. Yang satu mati dalam pesawat di padang pasir. Yang satu nyaris mati di kamp konsentrasi. Tapi keduanya punya satu kesamaan: mereka pernah tinggal di rumah yang disebut Isola, rumah yang kini masih berdiri megah di Setiabudi, Bandung, meski penghuninya sudah lama hilang dari sejarah.
DW Berretty: Raja Koran yang Hidup Seperti Tokoh Film
Dominique Willem Berretty lahir di Yogyakarta pada 20 November 1890. Ayahnya orang Italia, ibunya perempuan Jawa. Latar belakang campuran ini memberinya sesuatu yang istimewa: wajah Eropa, tapi dengan kaki yang menjejak tanah kolonial. Ia memulai kariernya sebagai korektor di koran Bataviaasch Nieuwsblad, pekerjaan yang biasanya jadi tempat parkir anak muda yang belum tahu mau jadi apa.
Tapi bukan Berretty namanya kalau puas jadi korektor. Pada 1 April 1917, ia mendirikan kantor berita Algemeen Nieuws- en Telegraaf-Agentschap atau Aneta, sebuah lembaga penyiaran berita modern pertama di Hindia Belanda. Jangan bayangkan kantor berita ini seperti redaksi kecil. Aneta adalah raksasa informasi yang menjalin kerja sama dengan pemerintah kolonial, bisnis besar, dan media internasional. Dalam waktu singkat, DW Berretty jadi orang paling berpengaruh di balik layar Hindia.

Dari balik meja redaksi dan jaringan telegram, uang mengalir ke sakunya. Dan dari situ, gaya hidupnya pun ikut melonjak. Dalam Kisah Tragis DW Berretty, Aneta, dan Vila Isola tulisan Rahim Asyik yang terbit di Ayobandung, Berretty disebut terkenal karena kehidupan mewahnya yang luar biasa dan urusan percintaannya yang heboh. Surat kabar Sipatahoenan edisi 22 Desember 1934 menulis dalam bahasa Sunda:
“Kawentar koe hiroepna noe sesa seubeuh, kawentar koe mere-mawehna, kawentar koe... affaire-na.” Terjemahan bebasnya: terkenal karena hidup kenyang, terkenal karena suka memberi (dan memamerkannya), dan tentu saja, terkenal karena skandal cintanya.
Berretty menikah enam kali, dan dari beberapa pernikahan itu lahirlah enam anak. Namun hanya satu yang laki-laki: Dominique Roderick Berretty, alias Dodo. Anak dari istri keempatnya, Mien Duymaer van Twist, aktris kelahiran Belanda yang kariernya bersinar di Eropa. Dodo adalah anak kesayangan, intan payung daddy, bintang kecil dari kerajaan pribadi ayahnya.
Dan puncak dari kerajaan itu adalah Vila Isola. Sebuah mahakarya art deco yang dibangun di Bandung Utara dengan biaya mencapai 500.000 gulden. Dirancang oleh arsitek kenamaan C.P. Wolff Schoemaker, vila ini selesai dalam waktu lima bulan saja, dari Oktober 1932 hingga Maret 1933. Tapi bukan waktunya yang luar biasa, melainkan tujuannya: vila ini dibangun semata-mata sebagai simbol status.
Baca Juga: Sejarah Masjid Cipaganti Bandung, Dibelit Kisah Ganjil Kemal Wolff Schoemaker
Sebagaimana kisah manis yang terlalu sempurna, ternyata cerita mulus keluarga Berretty tak bertahan lama. Pada 19 Desember 1934, Berretty naik pesawat Uiver, sebuah Douglas DC-2 milik KLM yang baru saja memenangkan lomba terbang London–Melbourne. Pesawat itu membawa 51.000 surat, beberapa penumpang, dan satu taipan media Hindia Belanda yang sedang dalam perjalanan pulang. Tapi cuaca buruk menghantam di atas gurun Timur Tengah. Pesawat jatuh dan ditemukan dua hari kemudian dalam keadaan hancur. Semua penumpangnya tewas.
"Di tengah perjalanan, di antara Gaza dan Ruthbah, pesawat terganggu cuaca dan jatuh di gurun pasir."
Ketika berita kematian itu sampai di Bandung, Vila Isola pun berubah. Rumah megah itu bukan lagi simbol kejayaan, tapi monumen keruntuhan. Berretty ternyata meninggalkan utang besar. Vila dibangun bukan dari tabungan, tapi dari pinjaman yang menarik napas perusahaan Aneta sampai megap-megap. Dodo kecil dan adik perempuannya, bersama ibu tiri mereka, diusir dari rumah—bukan oleh tentara, tapi oleh realitas.
Dodo Berretty: Pangeran Isola Dikurung di Kamp Konsentrasi
Pemerhati Vila Isola Rahmat Kurnia dalam Kisah dalam Dominique Roderick Berretty, Putra Tunggal Pemilik Villa Isola mencatat setelah kematian sang ayah, kehidupan Dodo berubah drastis. Anak yang sebelumnya hidup bak bangsawan kecil itu mendadak jatuh miskin. Tak ada warisan, tak ada rumah, hanya ada sisa-sisa kenangan dari vila megah yang kini disewakan ke Grand Hotel Homann dan berubah fungsi menjadi dépendance de luxe, cabang hotel elite tersebut.
Dalam situasi tak menentu, ibu tiri Dodo memutuskan membawa Dodo dan adik perempuannya kembali ke Belanda. Mereka berlayar dari Hindia Belanda dan tiba di Rotterdam pada 6 Mei 1935. Dari situ, dua anak kecil itu mencari alamat ibu kandung mereka, Mien Duymaer van Twist, sang aktris. Tapi Mien ternyata tidak siap menjadi ibu penuh waktu. Ia menitipkan keduanya ke sebuah asrama di Leiden dan menyerahkan pengasuhan kepada seorang induk semang yang katanya cukup layak dan mampu membuat mereka “bahagia.”

Dodo tumbuh dalam bayang-bayang ayah yang sudah tiada, vila yang dirampas, dan dunia yang tak lagi memberinya perlindungan. Saat Perang Dunia II pecah, Dodo seperti banyak pemuda Belanda lain, memutuskan bergabung dalam perlawanan terhadap Jerman Nazi. Tapi malang belum bosan menghampirinya. Ia tertangkap, lalu dijebloskan ke Oranjehotel di Scheveningen—penjara bagi para tahanan politik. Dari sana, ia dipindahkan ke kamp konsentrasi Vught, dan kemudian ke penjara Lüttringhausen di Jerman.
Baca Juga: Tangis Rindu dan Getirnya Kematian di Balik Lagu Hallo Bandoeng
Di tempat inilah ia nyaris menemui ajal. Dalam kondisi sakit dan kurang gizi, Dodo masuk dalam daftar eksekusi. Tapi keberuntungan, untuk pertama kalinya dalam hidupnya setelah Isola, berpihak padanya. Pada 11 April 1945, tentara Amerika datang dan membebaskan Lüttringhausen. Dodo selamat.
"Dalam keadaan sakit dan kurang gizi namanya sudah tercantum dalam daftar orang-orang yang akan “dimatikan” di penjara tersebut namun pada tanggal 11 April tahun 1945 dia dibebaskan oleh tentara Amerika dalam misi melawan tentara Nazi Jerman," tulis Rahmat.
Tapi bukannya istirahat dan menata hidup, Dodo justru melakukan hal yang tak terduga. Lima bulan kemudian, ia mendaftar menjadi oorlogsvrijwilliger (OVW), atau sukarelawan perang, untuk dikirim kembali ke Hindia Belanda, negeri tempat ia dulu dilahirkan dan dilupakan. Tentu, secara resmi ia ikut operasi militer untuk menghadapi para nasionalis Indonesia yang baru saja memproklamasikan kemerdekaan.
Ia bertugas di berbagai tempat: Batavia, Palembang, Bali, dan tentu saja Bandung. Beberapa surat yang ia kirim membuktikan bahwa ia kembali menginjakkan kaki di tanah kelahirannya. Ia bahkan sempat menagih uang sewa dari Grand Hotel Homann.
Tapi yang paling berarti dari kunjungan itu bukan uang, melainkan temuan akan bakatnya. Dodo mulai tertarik pada fotografi. Sejak kecil ia sudah terbiasa melihat kamera. Sang ayah dikenal gemar merekam perjalanannya dan menjadikan Dodo sebagai 'bintang utama' dokumentasi pribadi mereka. Kali ini, Dodo menggenggam kameranya sendiri.
Sekembalinya ke Eropa, ia menetap di Paris dan mengembangkan karier sebagai jurnalis foto. Namanya mulai terdengar ketika ia memotret banjir besar Zeeland tahun 1953. Dari sana, ia melompat ke berbagai peristiwa penting dunia: perang dekolonisasi di Aljazair dan Tunisia, konflik Vietnam, dan berbagai peristiwa politik Eropa.
Baca Juga: Salah Hari Ulang Tahun, Kota Bandung jadi Korban Prank Kolonial Terpanjang
Ia memotret tokoh-tokoh besar dunia: Yasser Arafat, Zhou Enlai, Charles de Gaulle, bahkan Mick Jagger. Termasuk juga Ratna Sari Dewi Soekarno, istri presiden pertama Indonesia. Dunia yang dulu menelantarkannya, kini masuk ke dalam bidikan kameranya.
Tapi kehidupan penuh trauma membuat Dodo menjadi pribadi yang tertutup, mudah curiga, dan cenderung cemas. Ia menikah dua kali: pertama dengan aktris Belanda Yoka Berretty, lalu dengan Ineke van Marle. Namun tak satu pun berjalan langgeng. Barangkali, luka masa kecil dan perang telah menjadikannya terlalu waspada untuk percaya, terlalu lelah untuk mencintai.
Di usia 49 tahun, Dodo didiagnosis leukemia. Setahun kemudian, pada 4 September 1980, ia meninggal dunia di Le Mesnil-Saint-Denis, Prancis, hanya tiga hari sebelum ulang tahunnya yang ke-55. Ia dimakamkan jauh dari Isola, jauh dari Hindia, dan jauh dari siapa pun yang dulu mengenalnya sebagai bocah lucu nan pernah punya taman bermain seharga setengah juta gulden.