AYOBANDUNG.ID -- Bandung terus bergemuruh dengan kafe instagenik nan kekinian, namun Kebon Awi Dago Cafe & Resto menjawab tantangan itu lewat bisnis kuliner berkelanjutan. Di bawah naungan pepohonan bambu, Pria Eka meramu visi besar melestarikan budaya Sunda dalam setiap hidangan.
Bagaimana tidak? Ketika memasuki gerbang Kebon Awi Dago Cafe & Resto, pengunjung seperti disambut oleh oase hijau di jantung Dago Atas Bandung. Rimbunnya 24 jenis bambu dari Indonesia hingga Jepang, China, dan Thailand, menciptakan suasana alam yang menenangkan.
Pandangan lurus menembus barisan pohon bambu, sementara aroma rempah khas menu Sunda menggoda selera. Di sinilah wisata kuliner bertemu edukasi budaya, membawa pengunjung tidak sekadar mencicipi hidangan, melainkan menghayati kisah di balik setiap sajian dan ruangnya.
Latar belakang Kebon Awi berakar pada keresahan Pria Eka, sang pendiri, yang tumbuh di keluarga pencinta budaya Sunda.
“Memang saya asli orang Sunda dan almarhum ayah saya kolektor bambu dan ibu juga seorang seniman dan antropolog. Adanya dukungan dan dorongan orang tua untuk ngamumule budaya Sunda dari sisi kuliner sehingga saya mengkonsepkan lebih ingin menciptakan kafe ini sebagai bentuk pelestarikan budaya Sunda,” tuturnya kepada Ayobandung.

Awalnya, pada 2013, lokasi ini hanyalah padepokan atau galeri kecil. Di tangan Pria, ruang itu disulap menjadi destinasi “cozzy” dengan nuansa Priangan yang kental. Deretan ukiran kayu, anyaman bambu, dan ornamen tradisional terpadu rapi, mengundang siapa saja untuk meresapi warisan lokal.
“Kebon Awi ini bukan sengaja kafe dibuat kebon awi, tapi pure kebon awi dibikin kafe. Kayak penataan, tata ruangnya dibuat semua improvisasi aja. Terutama di bagian luar saya lebih pertahankan etnis Sundanya,” jelas Pria.
Namun, keunikan terbesar hadir melalui konsep kuliner berbasiskan budaya. Meja-meja yang terhampar di antara bambu tak sekadar untuk bersantap, melainkan titik awal perjalanan edukasi.
“Saya bikin bisnis kafe ini berbasiskan budaya. Selain sisi kuliner, juga ingin mengangkat sisi edukasi. salah satunya wisata edukasi bambu dan kria atau kerajinan,” ujarnya.
Setiap pengunjung bisa menyusuri lorong bambu sambil belajar tentang teknik anyaman, pembuatan alat tradisional, hingga kisah hidup pohon–pohon yang membingkai ruang.
Di dapur, cita rasa Sunda menjadi primadona. Menu andalan seperti Nasi Cikur, Nasi Tutugg Oncom, Nasi Liwet, dan tumis iwung disajikan hangat dengan sambal khas priangan. Rebung yang diolah tak dibawa dari luar, melainkan dipanen langsung dari tunas bambu di area cafe.
“Pengunjung yang datang juga bilang rasa rebungnya beda dari rebung yang ada di pasaran,” imbuh Pria.

Meski menu utama mengangkat kekayaan kuliner Sunda, Kebon Awi tetap menyediakan pilihan Nusantara dan Western untuk melayani selera luas. Harga ditawarkan terjangkau, dengan paket spesial weekday bagi para pelajar hingga pekerja.
Seraya menyeruput kopi panas, pengunjung dapat menikmati sajian tanpa khawatir soal anggaran sesuai impian Pria untuk membuat wisata kuliner inklusif.
Tidak ada batasan segmentasi pengunjung, dari anak muda yang datang berpasangan di malam Minggu hingga keluarga besar yang bersantap di hari libur. Bahkan wisatawan mancanegara dari Malaysia, Singapura, Brunei, maupun India kerap memilih Kebon Awi sebagai destinasi.
“Semua segmen. Anak muda terutama kalau memang di weekend malam minggu lebih ke couple tapi kalau hari minggu biasanya kita banyak juga keluarga. Pernah ada juga yang dari Malaysia, Singapura, Brunei, dan India,” kata Pria.
Lebih dari sekadar kafe, Kebon Awi Dago adalah laboratorium kecil pelestarian budaya Sunda. Ornamen “suhunan” di bagian atap, gaya “julang ngapak,” hingga motif “capit gunting” dan “badak heuay” menegaskan identitas priangan pada setiap sudut.

Di sinilah Pria meneguhkan misi, untuk menghadirkan bisnis kuliner yang berkelanjutan sekaligus mengedukasi publik tentang khazanah etnis Sunda.
Di balik aroma bambu dan rempah Sunda, ada kisah keluarga, visi pelestarian, dan undangan untuk lebih mengenal warisan leluhur melalui setiap piring yang tersaji. Di sinilah budaya bertumbuh, satu gigitan demi satu gigitan.
Alternatif Kuliner dan UMKM: