AYOBANDUNG.ID - Pada Selasa, 8 Juli 2025, malam yang sepi di Kampung Citalem, Cipongkor, suasana tiba-tiba berubah saat suara tangisan bayi memecah keheningan. Di balik dinginnya udara Desa Citalem, Kabupaten Bandung Barat, ada kisah pilu yang tergolek di depan sebuah pintu rumah.
Sekitar jam 9 malam, Ika (30), seorang warga RT 01/06, tak pernah menyangka hidupnya akan berubah hanya karena sebuah ketukan pintu. Awalnya, ia mengira itu hanya angin atau mungkin tamu yang datang terlambat. Namun, setelah suara ketukan itu disusul oleh tangisan pelan, rasa penasaran berubah menjadi cemas.
Ika memilih tak keluar rumah. Lampu ia matikan, lalu buru-buru menghubungi tetangganya. Di kampung kecil itu, kewaspadaan memang bagian dari naluri. Beberapa menit kemudian, tetangganya datang dan memberanikan diri memeriksa sumber suara.
Di depan pintu belakang rumah Ika, di bawah cahaya temaram senter, mereka menemukan sosok mungil yang menggigil—seorang bayi perempuan, terbungkus kain sarung bermotif batik, terbaring lemah.
Yang membuat dada warga semakin sesak bukan hanya wajah bayi itu yang tampak pucat dan tubuhnya yang dingin, tapi juga secarik kertas lusuh yang diletakkan di sampingnya. Tulisannya sederhana, tapi penuh luka: “Ibu punten, abi ieu masihkeun putri abi. Rawatna bu, semoga ibu merawatnya. Anggap we putra ibu.” (Ibu mohon maaf saya titipkan anak saya, tolong rawat dia. Anggap saja sebagai anak sendiri).
Kepala Desa Citalem, Mauludin Sopian, segera datang ke lokasi setelah mendapat laporan dari warga. Ia langsung menghubungi pihak kepolisian dan tenaga medis desa. “Bayi ditemukan dalam keadaan lemah dan kedinginan. Warga segera mengevakuasi dan memberikan pertolongan pertama,” ujar Mauludin, Rabu (9/7).
Bidan desa yang memeriksa bayi memperkirakan usianya lebih dari tiga hari. Tali pusarnya sudah kering, rambutnya masih sedikit basah oleh sisa air ketuban. Beratnya sekitar 2,7 kilogram, panjang tubuh 50 sentimeter—tanda ia lahir cukup bulan.
Namun, tubuh bayi itu mulai menguning, tanda ia belum mendapat asupan yang cukup. Saat ditemukan, ia belum minum susu sama sekali. “Kami langsung berikan penanganan awal dan merujuknya ke dokter spesialis anak,” kata Mauludin.
Namun usai dinyatakan sehat setelah mendapat perawatan, bayi perempuan mungil itu jadi rebutan warga. Pemerintah Desa Citalem mencatat, ada lebih dari 20 keluarga mendaftar untuk mengadopsi. Mauludin mengatakan meski banjir permintaan merawat anak itu, pihaknya memilih menyerahkan bayi itu ke Dinas Sosial (Dinsos).
"Banyak orang yang datang untuk mengadopsi anak tersebut. Saya bilang nanti dulu harus ada perawatan dulu dan harus berdasarkan SOP dan kami Pemdes nggak bisa langsung menyerahkan begitu saja. Alhamdulillah kemarin kita sudah serahkan ke Dinsos Pemprov Jabar," pungkasnya.

Alarm Penelantaran Anak
Kasus penelantaran bayi bukanlah hal baru di Bandung Barat. Berdasarkan data resmi dari Dinas Sosial Kabupaten Bandung Barat, sepanjang tahun 2025 telah tercatat enam kasus bayi yang ditelantarkan di wilayah ini. Dari jumlah tersebut, satu bayi dilaporkan meninggal dunia akibat penelantaran yang terlambat ditemukan.
Kepala Bidang Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Dinas Sosial Bandung Barat, Tin Kartini, menyampaikan keprihatinannya. “Ini sudah terlalu banyak. Rata-rata satu kasus terjadi setiap bulan. Kondisi ini menjadi alarm bagi kita semua,” ujar Tin saat dikonfirmasi.
Menurut Tin, sekitar 90 persen kasus penelantaran bayi dipicu oleh persoalan hubungan di luar nikah dan kondisi ekonomi yang serba sulit. “Banyak orang tua yang terjebak dalam situasi pelik, sehingga memilih meninggalkan bayi mereka demi alasan yang kadang sulit dimengerti,” ujarnya.
Bayi yang ditemukan di Kampung Citalem saat ini telah dititipkan di panti asuhan milik Pemerintah Provinsi Jawa Barat. “Sejak hari ini, bayi itu telah ditetapkan sebagai anak negara yang menjadi tanggung jawab pemerintah,” jelas Tin. Proses penyerahan bayi dilakukan pihak kepolisian karena kasus ini termasuk barang bukti dalam penyelidikan kasus penelantaran. Bayi itu juga sudah mendapatkan surat sehat dari puskesmas setempat.
Tin menambahkan bahwa sejak bayi ini diserahkan ke Pemprov Jabar, proses pengurusan, perawatan, dan kemungkinan adopsi menjadi kewenangan pemerintah provinsi. “Kami dari Dinsos Kabupaten Bandung Barat berperan dalam tahap awal penanganan dan pemulihan anak,” katanya.
Fenomena ini pun menuntut langkah konkret dari berbagai pihak, baik pemerintah, lembaga sosial, maupun masyarakat luas. Tin menegaskan pentingnya edukasi dan penyuluhan tentang kesehatan reproduksi, serta pembinaan sosial bagi pasangan muda dan keluarga yang rentan.
“Jika tidak ada tindakan nyata, kasus serupa bisa terus berulang. Kita harus menyadarkan masyarakat bahwa penelantaran bayi bukan solusi, tapi masalah yang harus diselesaikan bersama,” ujarnya penuh harap.
Masyarakat diharapkan tidak hanya menjadi saksi dari peristiwa pilu ini, melainkan juga menjadi bagian dari solusi. Bersama, mereka bisa mencegah kelahiran yang diiringi dengan penelantaran dan luka hati, mengganti tangisan malam dengan harapan dan cinta. (*)