Ada apa dengan Wapres kita, Gibran Rakabuming Putra? Sudah tahu tak peroleh respon positif saat mewacanakan hilirasasi menyan 20 Mei lalu, awal pekan ini Kembali dengan "jurus" andalannya tersebut:hilirasasi menyan.
Kali ini di depan para peserta Lemhanas, yang sudah pasti bukan figur kaleng-kaleng. Mereka adalah 100 Peserta Pendidikan Pemantapan Pimpinan Nasional (P3N) XXV dan 110 Peserta Pendidikan Penyiapan dan Pemantapan Pimpinan Nasional (P4N) LXVIII di Istana Wapres, Jakarta, Senin (14/7/2025).
Dengan penuh percaya diri, anak sulung eks Presiden Jokowi ini menekankan pentingnya menyan dihilirasi karena kelak jadi bahan parfum. Bukan sekedar wewangian biasa, tapi harum-harum dari jenama mahal seperti Louis Vitton.
Maka, dalam tafsir bidang komunikasi publik penulis, kita sedang menghadapi dua lapangan tafsir. Pertama, sesuatu pesan komunikasi yang diulang adalah sesungguhnya sebuah strategi, taktik.
Cangara (2014) menyampaikan, diksi strategi bermula dari kata Yunani, strategeia. Ini bermuara dari dua kata yakni stratos berarti militer serta agein artinya memimpin. Jadi, dahulunya, strategi itu adalah sebuah seni atau ilmu untuk menjadi seorang jenderal.
Berkelindan dengan itu, muncul pula kata strategos yang artinya pemimpin tentara kelas atas. Maka, dua makna kata strategi dari Bahasa Yunani ini, keduanya dalam ilmu komunikasi bermakna cara yang diterapkan agar melesat jadi orang penting.
Bukankah Gibran sudah jadi orang penting? Betul, tapi sebagai Wapres, sorot kamera dan atensi publik jelas takkan seluas yang diperoleh Presiden. Ada koridor, etika, tata krama yang pasti "mengekang"-nya.
Oleh karena itu, strategi komunikasi dilancarkan agar tidak benar-benar jadi ban serep. Perlu supaya tak benar-benar tenggelam atas sorot pendar normative yang terpusat ke Presiden Prabowo. Penting supaya focus atensi jadi orang penting tetap terjaga.
Apabila hal ini dilakukan dengan cara regular, ya sedikit saja yang menoreh. Jika muncul di berita pun takkan jadi headline. Apalagi menjadi "bahan baku" para clipper (pemotong video panjang) untuk bahan konten di akun medsos terutama TikTok, reels IG, dan Youtube short.

Maka, Gibran faham medan. Kemarin sebelumnya habis dirisak soal wacana hilirasasi ini, maka dia "nekat" ambil isu ini.
Dan faktanya memang riil; Sejumlah media massa ternama munculkan isu tersebut sebagai teras berita. Medsos? Ya seperti biasa akan reaktif dan amplifikasin hal ini, terayun kubu pro, kontra, hingga bodo amat.
Kemungkinan kedua adalah hilirasi menyan ini salin rupa dari teknik komunikasi publik repetition (pengulangan) yang wujudnya memang saat di khalayak, bahasannya itu lagi-itu lagi.
Jadi, sang wapres kontroversial hasil akali MK ini sepenuhnya sadar bahwa dia harus pengaruhi masyarakat dengan teknik bicara sama berulang. Persoalan diterima atau tidak bukan isu awal yang harus dipikirkan --walau inti komunikasi adalah pesan komunikator diterima komunikan dengan baik.
Yang penting adalah bahwa apa yang jadi warisan sang ayah soal hilirisasi bisa terus digaungkan di banyak tempat. Apalagi di tempat strategis seperti Istana Wapres dengan peserta calon-calon pemimpin negara.
Nah, melalui strategi komunikasi tersebut, apakah kita akan menerima Gibran sebagai pemimpin negara dengan kelihaian taktik-nya tersebut? Atau sebatas melihat pantulan sang ayah yang menutupi keterbatasan dirinya? Waktu jua yang akan jadi juri dan hakim-nya (*)