Pendidikan seharusnya menjadi hak dasar setiap anak, terlepas dari latar belakang ekonomi keluarganya.
Namun, realitas di Indonesia justru menunjukkan ketimpangan yang kentara: sekolah negeri, yang sejatinya dibangun untuk memberikan akses pendidikan terjangkau bagi masyarakat kurang mampu, justru dipadati oleh anak-anak dari keluarga dengan ekonomi mapan.
Orang tua yang gajinya jauh di atas pegawai negeri, bahkan mampu membayar SPP sekolah swasta berkualitas, ternyata lebih memilih "menyerbu" sekolah negeri favorit.
Fenomena ini bukan hanya ironis, tetapi juga mencerminkan kegagalan empati dan tanggung jawab sosial dari kalangan berprivilege.
Sekolah Negeri untuk Siapa?
Sekolah negeri didirikan dengan tujuan mulia: menyediakan pendidikan berkualitas dengan biaya terjangkau, terutama bagi masyarakat yang kurang mampu.
Dana APBN yang dialokasikan untuk sektor pendidikan seharusnya menjadi penyangga bagi anak-anak dari keluarga miskin atau menengah bawah agar mereka bisa bersaing secara setara. Namun, fakta di lapangan justru berbeda.
Banyak sekolah negeri favorit (terutama di kota-kota besar) didominasi oleh anak-anak dari keluarga mampu. Mereka bersaing ketat memperebutkan kursi, bahkan dengan menggunakan segala cara, seperti les tambahan, bimbingan belajar intensif, atau bahkan "jalur belakang".
Akibatnya, anak-anak dari keluarga kurang mampu semakin tersingkir. Mereka yang seharusnya menjadi prioritas justru kalah bersaing karena ketiadaan akses ke sumber daya tambahan.
Padahal, bagi keluarga mampu, pilihan sebenarnya lebih luas: mereka bisa menyekolahkan anaknya ke swasta dengan fasilitas lebih baik tanpa mengorbankan hak anak-anak kurang beruntung.
Baca Juga: 10 Tulisan Terbaik AYO NETIZEN Juni 2025, Total Hadiah Rp1,5 Juta
Mengapa Orang Tua Mapan Masih Memilih Sekolah Negeri?
Pertama, mentalitas cari aman dan gengsi. Sekolah negeri dianggap lebih "terjamin" kualitasnya karena berada di bawah pemerintah, meski kenyataannya banyak sekolah swasta yang jauh lebih unggul.
Selain itu, bersekolah di negeri favorit menjadi semacam simbol status—seolah anak mereka "lebih pintar" karena lolos seleksi ketat.
Kedua, egoisme finansial. Meski mampu membayar SPP swasta yang mahal, banyak orang tua lebih memilih menghemat anggaran dengan memanfaatkan subsidi negara.
Mereka lupa bahwa uang pajak yang mereka bayar seharusnya juga dinikmati oleh masyarakat yang benar-benar membutuhkan. Alih-alih memberi kesempatan pada yang kurang mampu, mereka justru mengambil jatah tersebut demi keuntungan pribadi.
Ketiga, kurangnya kesadaran sosial. Banyak orang tua ekonomi mapan tidak memikirkan dampak kolektif dari pilihan mereka. Mereka hanya fokus pada kebutuhan anak sendiri tanpa mempertimbangkan bahwa keputusan mereka bisa menghambat mobilitas sosial anak-anak dari keluarga miskin.
Sekolah Swasta Bukanlah Aib

Ada persepsi keliru bahwa sekolah swasta adalah "pilihan kedua" bagi yang tidak lolos negeri.
Padahal, banyak sekolah swasta, khususnya yang berbasis agama atau kurikulum internasional, menawarkan kualitas lebih baik dengan fasilitas lengkap.
Jika orang tua mampu benar-benar peduli pada pendidikan anak, mereka seharusnya berinvestasi di sana, bukan berebut kursi di sekolah negeri yang notabene disubsidi untuk rakyat miskin.
Selain itu, memilih swasta justru bisa menjadi bentuk kontribusi sosial. Dengan mengurangi tekanan pada sekolah negeri, mereka memberi ruang bagi anak-anak kurang mampu untuk mendapatkan pendidikan layak.
Bukankah lebih mulia jika privilege yang dimiliki digunakan untuk menciptakan kesetaraan, bukan memperlebar jurang ketimpangan?
Baca Juga: Kedewasaan Menyikapi Enklave Monarki DIY bagi Masyarakat Luar Jogja
Pemerintah seharusnya mempertimbangkan sistem seleksi yang lebih adil, seperti kuota khusus untuk keluarga miskin atau penyesuaian zonasi yang lebih ketat. Kriteria ekonomi bisa menjadi salah satu pertimbangan, sehingga anak-anak dari keluarga kurang mampu tidak terus terpinggirkan.
Selain itu, perlu kampanye kesadaran bagi orang tua mampu agar lebih bertanggung jawab secara sosial. Memiliki privilege seharusnya diiringi dengan kesadaran untuk tidak merampas hak orang lain.
Orang tua dengan ekonomi mapan seharusnya sadar diri: sekolah negeri bukanlah tempat untuk mereka. Jika benar peduli pada masa depan anak, pilihlah swasta yang sesuai dengan kemampuan finansial. Jangan sampai keserakahan dan gengsi mengorbankan hak anak-anak yang kurang beruntung.
Pendidikan adalah alat untuk memutus rantai kemiskinan, dan setiap orang yang mampu seharusnya menjadi bagian dari solusi, bukan masalah.
Sudah saatnya privilege digunakan untuk berbagi, bukan menindas. (*)
Tonton Video Terbaru dari Ayobandung: