Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024 telah menetapkan pemisahan Pemilu Nasional dan Pemilu Daerah yang mulai berlaku pada tahun 2029. Keputusan ini membawa konsekuensi strategis terhadap siklus demokrasi di Indonesia, khususnya dalam hal penjadwalan ulang Pilkada.
Bila Pemilu Nasional dilaksanakan terlebih dahulu pada 2029, maka Pilkada akan menyusul setelahnya. Ini berarti akan terjadi masa transisi kekuasaan di daerah, terutama bagi kepala daerah yang masa jabatannya berakhir sebelum Pilkada berikutnya digelar.
Lalu siapa yang akan memimpin daerah dalam periode 2029 ke 2031? Apakah kepala daerah akan diperpanjang masa jabatannya, atau digantikan oleh Penjabat (Pj) kepala daerah sebagaimana praktik transisional selama ini?
Pertanyaan ini tidak sekadar teknis administratif, tapi menyentuh substansi demokrasi, siapa yang berhak memegang mandat kekuasaan publik ketika proses pemilu belum dilaksanakan?
Penjadwalan Ulang
Putusan MK 135/PUU-XXII/2024 merupakan koreksi sistemik terhadap kompleksitas pemilu serentak lima kotak yang dinilai terlalu membebani pemilih, penyelenggara, dan logistik pemilu. Dengan memisahkan Pemilu Nasional dan Daerah, MK berharap pelaksanaan demokrasi elektoral menjadi lebih tertib, fokus, dan efisien.
Namun konsekuensi logis dari pemisahan ini adalah tidak selarasnya masa jabatan kepala daerah dengan jadwal Pilkada berikutnya. Artinya, akan ada kepala daerah yang masa jabatannya berakhir sebelum pemilu lokal digelar kembali. Maka akan muncul dua opsi, memperpanjang masa jabatan kepala daerah atau menunjuk Penjabat (Pj) kepala daerah.
Dua opsi ini memiliki konsekuensi politik dan hukum yang berbeda. Perpanjangan jabatan menawarkan stabilitas dan kesinambungan program. Namun, di sisi lain, legitimasi demokratisnya bisa dipertanyakan karena tidak diperoleh dari pemilu.
Penunjukan Pj juga bukan solusi tanpa masalah, meskipun sesuai undang-undang, banyak Pj dipilih atas dasar pertimbangan politik pusat, bukan mandat rakyat.
Kepemimpinan Tanpa Pemilu
Di tengah masa jeda antara berakhirnya jabatan kepala daerah dan digelarnya Pilkada berikutnya, isu legitimasi menjadi titik krusial. Kepemimpinan dalam sistem demokrasi idealnya lahir dari proses pemilihan langsung oleh rakyat, bukan dari perpanjangan administratif atau penunjukan birokratis.
Perpanjangan jabatan kepala daerah, walaupun sah menurut regulasi yang bisa diatur oleh undang-undang atau peraturan pemerintah, tetap menimbulkan pertanyaan mendasar, sejauh mana rakyat merestui kelanjutan masa jabatan tersebut? Apakah kepala daerah yang diperpanjang tetap merasakan urgensi untuk melayani publik secara maksimal?
Tanpa ancaman pemilu atau evaluasi rakyat, risiko menurunnya kinerja dan sensitivitas terhadap aspirasi warga sangat mungkin terjadi.
Sementara itu, Penjabat (Pj) kepala daerah memang diatur oleh Undang-Undang, tetapi pengangkatannya bersifat top-down dan seringkali dianggap kurang transparan.
Banyak kasus menunjukkan bahwa Pj tidak memiliki ikatan emosional atau kedekatan historis dengan masyarakat yang dipimpinnya. Bahkan tak jarang, jabatan ini menjadi ajang penempatan “orang dekat” elite pusat yang tidak memahami konteks lokal.
Di antara dua opsi ini, baik perpanjangan maupun penunjukan Pj mengandung kelemahan dalam hal akuntabilitas dan responsivitas terhadap masyarakat. Pilihan terbaik bukan pada mana yang lebih praktis, tetapi mana yang bisa menjamin keterhubungan antara kepemimpinan lokal dan suara rakyat.
Kehilangan Nafas
Situasi 2029 hingga 2031 berpotensi menjadi masa paling kritis bagi keberlangsungan demokrasi lokal di Indonesia. Bila dalam periode ini daerah-daerah dipimpin oleh individu yang tidak memiliki mandat elektoral, maka akan terjadi keterputusan antara pemerintah daerah dan warganya.
Adapun data nasional menunjukkan tren penurunan partisipasi dalam Pilkada secara konsisten.
Menurut Komisi Pemilihan Umum (KPU), partisipasi pemilih pada Pemilu Serentak 2024 yang baru saja berlangsung, berada di kisaran 81,85%, namun angka partisipasi dalam pemilihan kepala daerah cenderung lebih fluktuatif dan di beberapa daerah menunjukkan penurunan, contohnya di Jawa Barat pada Pilkada terakhir, tingkat partisipasi pemilih menurun dari 74% menjadi 68,06%.
Fenomena ini menunjukkan adanya dinamika kepercayaan publik terhadap proses politik elektoral, yang masih rentan dipengaruhi oleh konteks lokal, efektivitas sosialisasi, dan persepsi terhadap integritas kandidat.
Selain itu, kelelahan pemilih (voter fatigue) juga menjadi faktor yang tak bisa diabaikan. Terlalu seringnya pemilu dalam kurun waktu singkat, ditambah minimnya hasil nyata dari proses demokrasi elektoral sebelumnya, membuat sebagian masyarakat menjadi jenuh dan kehilangan motivasi untuk berpartisipasi.
Penurunan partisipasi ini menegaskan berkurangnya ruang partisipatif yang bermakna di tingkat daerah, yang membuat sebagian warga merasa suaranya tidak berdampak pada kebijakan nyata.
Jika kemudian pada 2029–2031 masyarakat menyaksikan kepemimpinan lokal yang tidak berakar dari suara mereka, maka bisa dipastikan demokrasi elektoral akan makin kehilangan makna. Rakyat bukan hanya menjadi penonton, tapi akan merasa tidak memiliki ruang untuk memengaruhi arah kebijakan dan pengambilan keputusan.
Masa Transisi

Namun sesungguhnya, masa jeda 2029–2031 juga bisa dibaca sebagai ruang untuk menata ulang hubungan negara dan masyarakat. Jika dikelola dengan tepat, transisi ini bisa menjadi ajang untuk menjamin kesinambungan program pembangunan daerah, memperkuat fondasi pemerintahan yang responsif, dan memastikan keberlanjutan pelayanan publik.
Dalam konteks ini, kesinambungan program menjadi isu penting yang tidak boleh diabaikan. Kepala daerah yang masa jabatannya berakhir sebelum Pilkada berikutnya digelar meninggalkan sejumlah program strategis yang mungkin masih berjalan.
Jika tidak ada transisi yang tertib dan terukur, maka risiko terhentinya program prioritas sangat mungkin terjadi, baik di bidang pendidikan, kesehatan, infrastruktur, maupun kesejahteraan sosial.
Perpanjangan masa jabatan kepala daerah dapat menjamin kesinambungan program, tetapi dengan catatan harus ada mekanisme akuntabilitas dan evaluasi berkala. Sementara jika Penjabat (Pj) yang ditunjuk, maka ia harus memiliki pemahaman utuh terhadap program yang sedang berjalan, serta memiliki kewenangan dan kapasitas untuk menjaganya agar tetap berada pada jalur yang telah direncanakan.
Tanpa penataan yang jelas, masa transisi ini bisa menjadi ruang stagnasi atau bahkan regresi dalam pelayanan publik. Karena itu, baik perpanjangan maupun penunjukan Pj harus disertai kerangka kerja yang menjamin bahwa arah pembangunan daerah tidak keluar dari rencana strategis yang telah ditetapkan sebelumnya.
Reformasi Transisi
Menghadapi periode transisi 2029–2031, pemerintah pusat dan daerah tidak bisa hanya berpikir praktis. Mereka harus memastikan bahwa siapa pun yang memimpin daerah tetap menjamin keberlangsungan pelayanan publik dan tetap tunduk pada semangat akuntabilitas demokratis.
Dua skenario utama yang bisa diambil, yakni perpanjangan masa jabatan atau penunjukan Penjabat (Pj) kepala daerah, keduanya harus disiapkan dengan prinsip-prinsip tata kelola yang demokratis dan transparan.
Jika pemerintah memilih memperpanjang masa jabatan kepala daerah, maka kebijakan ini tidak boleh dijalankan secara otomatis atau tanpa batas waktu. Perpanjangan harus disertai dengan ketentuan waktu yang jelas, misalnya maksimal dua tahun, serta dibarengi dengan mekanisme evaluasi kinerja tahunan yang melibatkan DPRD dan masyarakat sipil.
Kepala daerah yang diperpanjang juga wajib menyampaikan laporan kinerja secara terbuka dan berkala, serta menunjukkan keterbukaan anggaran agar publik tetap memiliki ruang untuk mengawasi jalannya pemerintahan.
Sementara itu, apabila skenario yang dipilih adalah penunjukan Penjabat (Pj), maka proses seleksi harus dilaksanakan secara transparan dan akuntabel. Tidak cukup hanya menunjuk berdasarkan kedekatan atau jabatan administratif; Pj harus dipilih dengan melibatkan unsur-unsur lokal seperti DPRD, akademisi, dan tokoh masyarakat.
Masa jabatan Pj juga harus dibatasi dengan ketat dan disertai rencana kerja transisi yang konkret dan terukur. Lebih dari itu, perlu dibentuk sistem monitoring independen terhadap kinerja Pj, yang bisa berasal dari kalangan masyarakat sipil, lembaga riset, atau media lokal.
Dengan pendekatan ini, publik tidak hanya melihat proses administratif, tetapi juga merasakan bahwa negara hadir secara serius dalam menjamin kualitas demokrasi meski tanpa pemilu. Inilah tanggung jawab moral yang tidak boleh dilupakan oleh siapa pun yang sedang mengelola negara, apalagi di masa jeda yang penuh risiko seperti 2029–2031.
Demokrasi yang Tidak Diam
Demokrasi tidak boleh diam, bahkan di masa transisi. Periode 2029 ke 2031 bukan ruang kosong, melainkan ruang penuh pertaruhan. Apakah kita tetap setia pada prinsip kedaulatan rakyat atau menyerah pada pragmatisme kekuasaan?
Putusan MK membuka jalan untuk reformasi pemilu, tapi juga membuka lubang bagi kemungkinan krisis legitimasi jika tidak ditindaklanjuti dengan kebijakan yang cermat dan partisipatif.
Negara, baik pusat maupun daerah, wajib memastikan bahwa siapa pun yang memimpin daerah di masa transisi adalah figur yang bertanggung jawab kepada rakyat, bukan sekadar bertanggung jawab kepada pejabat di atasnya.
Akhirnya, demokrasi lokal akan tetap hidup jika rakyat tetap punya ruang untuk bersuara, ikut menentukan, dan dipercaya sebagai pemilik kedaulatan sejati. Siapa pun yang memimpin antara 2029 dan 2031, harus hadir bukan sekadar karena jabatan, tapi karena kepercayaan publik yang dijaga dengan integritas dan keterbukaan. (*)
Tonton Video Terbaru Ayobandung: