DI Kota Bandung, angkutan kota -- atau yang akrab disebut angkot -- menjadi salah satu moda transportasi yang masih eksis. Namun, di tengah tumbuh pesatnya moda transportasi modern, eksistensi angkot ini makin tersudut.
Pertanyaannya adalah: apakah sistem trayek angkot saat ini masih relevan dengan kebutuhan mobilitas Bandung masa kini?
Bagian penting kehidupan Bandung
Angkot telah menjadi bagian penting dari kehidupan Bandung sejak puluhan tahun lalu. Ia menjembatani pergerakan warga antara permukiman dan pusat-pusat kegiatan ekonomi di era ketika kendaraan pribadi masih langka. N
amun, warisan sistem trayek yang tidak banyak berubah sejak zaman baheula membikin angkot seperti artefak mobilitas yang ketinggalan zaman. Kota terus tumbuh, tetapi trayek angkot tetap stagnan.
Pola trayek angkot dulunya dirancang untuk menjawab kebutuhan mobilitas pada masa ketika Bandung belum seramai dan semacet sekarang. Kala itu, desain ibukota Provinsi Jawa Barat ini masih berskala kecil dan berorientasi pada satu atau dua pusat kegiatan. Dengan logika pergerakan linier, trayek angkot dibikin melingkar atau radial mengikuti jalur utama kota. Kini, bentuk dan ritme kota sudah berubah drastis.
Bandung yang tumbuh menjadi kota modern kini memiliki banyak pusat aktivitas baru, mulai dari kawasan industri, mall, kampus, hingga ruang kreatif urban. Mobilitas pun semakin dinamis dan tidak terduga, mengikuti pola kerja fleksibel, gaya hidup digital, dan aktivitas sosial yang beragam.
Sistem trayek angkot yang kaku dan berulang, jelas, tidak mampu lagi melayani kebutuhan ini. Akibatnya, angkot makin ditinggalkan konsumen.
Trayek angkot saat ini malah sering menimbulkan problem bagi penumpang. Banyak warga harus turun-unggah kendaraan dua hingga tiga kali untuk menjangkau titik tujuan. Waktu tempuh membengkak, belum lagi risiko ngetem, kemacetan maupun kecopetan. Sistem yang semula dirancang untuk efisiensi kini justru menciptakan inefisiensi struktural.
Angkot pun menghadapi tekanan dari kemunculan moda transportasi berbasis aplikasi seperti ojek dan taksi daring. Dengan fleksibilitas rute dan waktu tunggu yang lebih singkat, masyarakat urban banyak beralih ke moda angkutan daring.
Jika tidak ada langkah pembaruan, bukan tidak mungkin angkot akan menghilang dari wajah Kota Bandung. Reformasi trayek angkot menjadi kunci untuk mempertahankan sekaligus memodernisasi moda transportasi ini. Meski demikian, reformasi harus dimulai dari pemahaman sejarahnya.
Bukan hanya mengganti rute

Reformasi trayek angkot bukan hanya soal mengganti rute atau mengecat ulang kendaraan. Ia menyentuh pula aspek sosial, ekonomi, bahkan politik lokal. Setiap trayek angkot mewakili jejaring kepentingan yang kompleks. Mengubahnya berarti mengganggu ekosistem yang sudah mapan selama puluhan tahun.
Sopir angkot maupun pemilik angkot selama ini menggantungkan penghidupan dari pendapatan harian yang sangat fluktuatif. Ketika trayek angkot diubah atau digabung, itu berarti mengubah pola rezeki mereka. Maka, bisa jadi banyak yang yang mungkin menolak reformasi trayek dengan alasan kehilangan wilayah operasi.
Selain itu, sistem setoran harian kepada pemilik kendaraan atau koperasi kerap menjerat pengemudi dalam beban kerja yang berat. Mereka harus mengejar jumlah penumpang demi menutup setoran. Trayek yang panjang dan saling tumpang tindih memperparah beban itu.
Pemerintah kota sendiri mungkin pula seringkali gamang dalam mengatur ulang trayek angkot karena khawatir menimbulkan gejolak sosial. Aksi mogok atau protes sopir menjadi ancaman nyata. Namun, stagnasi justru memperparah kondisi, baik bagi penumpang maupun sopir itu sendiri. Situasi ini seperti lingkaran setan yang sulit diurai.
Oleh sebab itu, pendekatan historis menjadi penting. Kita perlu menelusuri bagaimana sistem trayek terbentuk di masa lalu agar bisa memahami akar permasalahan hari ini. Sejarah bukan hanya cermin masa lalu, tapi juga alat navigasi menuju masa depan. Kita tidak bisa membangun kebijakan baru di atas fondasi lama yang rapuh.
Pada era 1970-an hingga 1990-an, trayek angkot ditetapkan pemerintah daerah bersama koperasi atau organisasi para pengemudi angkot. Saat itu, pengaturan trayek dilakukan secara top-down dengan asumsi kontrol penuh atas pergerakan warga. Setiap wilayah dibagi menurut zona dan diberikan hak trayek eksklusif kepada angkot tertentu.
Namun, dalam praktiknya, sistem ini justru melahirkan monopoli dan persaingan antartrayek. Penetapan trayek kerap dikendalikan oleh elite lokal atau pemilik modal. Dari sinilah lahir logika kepemilikan trayek, seolah-olah trayek adalah milik pribadi atau kelompok tertentu. Padahal, secara hukum trayek adalah izin yang diberikan negara dan bisa dicabut.
Ketika moda transportasi baru seperti ojek online masuk, perseteruan pun mencuat. Mereka dianggap melanggar batas-batas "kekuasaan" trayek yang sudah ada. Padahal, yang terjadi mungkin saja trayek lama gagal menjawab kebutuhan mobilitas warga yang berubah.
Pemetaan ulang trayek
Kota-kota seperti Bandung setidaknya pernah mencatat sejarah sejumlah ketegangan antara angkot dan transportasi daring. Protes, sabotase, hingga kekerasan pernah terjadi. Pemerintah daerah pun tak jarang terjebak dalam dilema antara perlunya mengakomodasi inovasi dan melindungi status quo.
Untuk memahami hubungan rumit antara struktur trayek dan agen sosial (sopir, pemilik, penumpang), kita bisa merujuk teori structuration dari Anthony Giddens. Giddens menyebut bahwa struktur dan agen saling membentuk. Kebijakan trayek bukan hanya hasil keputusan dari atas, tapi juga dari praktik sosial yang berulang dan menguat.
Artinya, reformasi trayek angkot tidak bisa dilakukan hanya dengan surat keputusan wali kota. Perlu ada proses transformasi sosial yang melibatkan agen-agen tersebut. Tanpa partisipasi sopir, koperasi, dan masyarakat, reformasi hanya akan jadi proyek di atas kertas.
Salah satu langkah awal yang bisa dilakukan dalam upaya reformasi trayek angkot adalah pemetaan ulang trayek secara partisipatif. Pemerintah bersama komunitas sopir bisa mengidentifikasi rute-rute yang sudah tidak relevan. Data mobilitas juga harus diperbarui secara real-time.
Trayek yang tumpang tindih bisa digabung atau disederhanakan. Sebaliknya, wilayah yang belum terlayani bisa dibuka dengan skema baru. Pemerintah bisa memberikan insentif untuk trayek pengumpan (feeder) yang menghubungkan permukiman dengan stasiun angkutan massal.
Digitalisasi menjadi elemen penting dalam reformasi trayek angkot. Dengan aplikasi navigasi, jadwal, dan manajemen kendaraan berbasis data, trayek bisa disesuaikan secara fleksibel. Penumpang juga akan lebih mudah mengakses layanan dan mengetahui estimasi waktu perjalanan.
Menyediakan transisi yang adil

Reformasi trayek angkot bukan tentang menyingkirkan angkot, tapi mengangkatnya ke level yang lebih layak. Agar perubahan tidak terasa seperti pemaksaan, pemerintah perlu menyediakan kompensasi atau transisi yang adil. Misalnya, skema subsidi BBM, pelatihan ulang sopir, atau integrasi dalam koperasi modern. Semua ini adalah bentuk keberpihakan terhadap pelaku lama.
Reformasi trayek angkot juga harus adaptif terhadap karakter kota. Setiap kota memiliki pola mobilitas, kepadatan penduduk, dan tata ruang yang berbeda-beda, sehingga pendekatannya tak bisa disamaratakan. Kota pegunungan dengan jalan sempit memerlukan strategi yang berbeda dengan kota pesisir yang datar dan luas.
Begitu pula kota dengan pusat pertumbuhan yang menyebar memerlukan sistem angkutan yang fleksibel dan terintegrasi. Tanpa kepekaan terhadap karakter lokal, reformasi hanya akan menambah kekacauan baru.
Pemerintah pusat bisa memberikan pedoman umum dan dukungan regulasi. Namun, eksekusi tetap harus kontekstual dan sensitif terhadap dinamika lokal. Desentralisasi kebijakan trayek akan lebih efektif jika disertai kapasitas teknis dan anggaran daerah yang memadai.
Jika tidak segera direformasi, angkot akan makin ditinggalkan. Anak muda sudah jarang mau naik angkot karena dianggap lambat, tidak aman, dan tidak pasti. Dalam jangka panjang, ini akan memutus regenerasi sopir dan pelaku angkutan kota.
Namun, jika diperbarui, angkot bisa menjadi solusi mobilitas lokal yang berkelanjutan. Ukurannya yang kecil membuatnya cocok untuk lingkungan perumahan atau jalan sempit. Dengan sistem trayek baru, angkot bisa menjadi pengumpan bagi transportasi massal.
Reformasi trayek angkot sendiri harus dipahami sebagai bagian dari visi kota masa depan. Kota yang terhubung, manusiawi, dan efisien membutuhkan moda transportasi yang inklusif. Tidak semua orang bisa mengendarai mobil atau motor, dan tidak semua wilayah bisa dijangkau bus besar.
Dengan pembaruan yang tepat, angkot bisa tetap eksis sebagai ikon mobilitas urban. Bukan sebagai peninggalan masa lalu yang menyusahkan, tapi sebagai moda yang bertransformasi sesuai zaman. Di sinilah pentingnya keberanian politik dan inovasi kebijakan.
Karena pada akhirnya, mobilitas bukan hanya tentang berpindah tempat. Ia adalah hak dasar atas ruang kota yang adil, aman, dan bermartabat. Reformasi trayek angkot adalah salah satu jalan untuk mewujudkan kota yang lebih manusiawi bagi semua. (*)
Tonton Video Terbaru Ayobandung: