Awal Juli lalu, KPK memastikan penyidikan dugaan korupsi haji era Menteri Agama Gusmen/Yaqut Cholil Quomas akan terus dilakukan.
Tentu ini kabar segar! Sebagai petugas haji Indonesia 2024 dan umumnya rakyat Indonesia, pengawalan kasus ini tak boleh melempem, apalagi pudar, merujuk terutama yang terjadi pada musim-musim haji sebelumnya.
Puncak ibadah haji 2025, sebagaimana diberitkan AyoBandung.com, menyisakan sejumlah persoalan serius yang semestinya menjadi alarm pemerintah Indonesia.
Dari fase Arafah, Muzdalifah, hingga Mina (Armuzna), berbagai kekacauan terekam, khususnya aspek transportasi dan akomodasi.
Sejumlah jemaah Indonesia terpaksa berjalan kaki dari Muzdalifah ke Mina sejauh 4 hingga 5 kilometer, karena keterlambatan penjemputan bus. Ironisnya, mereka baru menjalani ibadah berat sejak siang di Arafah, ditambah mabit di Muzdalifah dalam kondisi fisik menurun.
Saat tiba di Mina pun, tidak semua langsung bisa masuk ke tenda karena tempat belum siap atau penuh. Padahal masih ada kewajiban melempar jumrah yang harus jalan kaki rerata delapan kilometer pulang-pergi.
Dalam catatan penulis, pengalaman ini sejatinya bukan yang pertama. Pada 2023, kejadian serupa sempat terjadi, bahkan membuat beberapa Jemaah wafat.
Namun pada 2024, sistem yang digunakan masih berbasis maktab dengan skema layanan terpusat berbasis kloter, sehingga penempatan dan pergerakan jemaah lebih terkoordinasi.
Sayangnya, pada 2025 sistem pelayanan haji berubah total karena diberlakukannya model syarikah, yakni delapan perusahaan penyedia jasa yang masing-masing melayani jemaah berdasarkan nama syarikah yang tercantum dalam visa.
Sistem baru ini, meskipun berniat meningkatkan kualitas layanan melalui kompetisi, ternyata diimplementasikan tergesa. Akibatnya, koordinasi antar-instansi haji Indonesia dan Saudi menjadi kacau.
Manifest Kementerian Agama yang masih berbasis kloter tidak selaras penempatan jemaah oleh pihak syarikah yang berdasarkan entri visa. Hasilnya, suami dan istri terpisah hotel, lansia terlepas dari pendampingnya, bahkan petugas tidak lagi mendampingi jemaah yang menjadi tanggung jawabnya.
Lebih parah lagi, ketidaksinkronan ini berlanjut hingga Arafah dan Mina. Penempatan jemaah di tenda berlangsung secara acak, tidak berdasarkan kloter, wilayah, atau kabupaten. Siapa datang duluan, dia dapat tempat. Beberapa jemaah bahkan terpaksa tidur di luar tenda karena tidak kebagian.
Sementara itu, mekanisme murur dan tanazul yang awalnya dijanjikan sebagai inovasi pelayanan malah berantakan. Jamaah sehat justru dibawa langsung ke Mina, sementara lansia dan kelompok risiko tinggi diturunkan di Muzdalifah dalam kondisi minim pendampingan.
Kekacauan lain terjadi pada fase Mina, ketika tenda yang sempit menampung jemaah tanpa skema penempatan kloter yang rapi. Lansia yang keluar untuk ke toilet kebingungan mencari tenda mereka kembali karena tidak ada penanda atau sistem zona jelas. Pendampingan oleh petugas menjadi nyaris mustahil.
Hal ini memunculkan rasa kehilangan arah, bahkan rasa tidak aman bagi sebagian besar jemaah. Dengan kata lain, baik Gusmen maupun Menag sekarang Nasuruddin Umar, keduanya menyisakan noktah dan celah perbaikan.
Di balik semua ini, ada ironi lebih dalam. Indonesia mengirimkan jemaah terbesar di dunia, lebih dari 220 ribu orang tiap tahunnya.
Biaya dibayarkan tiap jemaah tidak kecil. Bila tiap orang membawa uang saku lima juta rupiah, maka lebih dari satu triliun rupiah beredar di Arab Saudi dari kantong rakyat Indonesia. Belum termasuk setoran biaya haji, penerbangan, visa, dan layanan tambahan.
Namun dalam konteks layanan, posisi Indonesia tetap lemah dan nyaris tidak bisa menuntut perbaikan yang tegas.
Akar Masalah dan Solusi

Akar kekacauan tahun ini bukan semata pada kapasitas syarikah, melainkan kurangnya mitigasi dan negosiasi sejak awal.
Pemerintah Indonesia semestinya menyadari, sistem syarikah yang diatur langsung otoritas Arab Saudi membutuhkan kesiapan data dan kontrol sejak awal pengajuan visa.
Ketika setiap jemaah ditempatkan berdasarkan syarikah yang berbeda dalam satu kloter, maka manifest yang disiapkan di tanah air menjadi tidak berguna di lapangan.
Solusi pertama dan paling strategis adalah melakukan diplomasi langsung di level tertinggi.
Presiden Prabowo Subianto dapat menjadi pihak yang menjalin komunikasi khusus dengan Putra Mahkota Muhammad bin Salman untuk meminta perlakuan lebih layak bagi jemaah Indonesia karena cerita Armuzna ini sudah berpuluh tahun!
Sebagai negara pengirim terbesar, Indonesia layak meminta jaminan layanan terstandar dan tidak jadi objek eksperimen sistem baru yang belum teruji. Jika perlu, Indonesia harus mempersyaratkan pelayanan minimal dan tidak membiarkan syarikah memaksakan sistem logistik tanpa persiapan.
Kedua, Kementerian Agama perlu memperkuat sistem database jemaah sejak dari proses pendaftaran dan pengajuan visa. Sinkronisasi antara syarikah dan manifest harus dimulai dari tahap perencanaan, bukan menunggu kejadian di lapangan.
Sistem gelang penanda, pelatihan petugas lintas syarikah, dan pembentukan satgas mitigasi khusus dapat meminimalisasi kekacauan di tahun depan.
Ketiga, evaluasi menyeluruh terhadap kinerja delapan syarikah harus dilakukan transparan. Komite pengawas haji, jemaah, dan media harus dilibatkan untuk menilai objektivitas layanan.
Syarikah yang mampu memberikan peningkatan layanan layak mendapatkan kontrak multi-tahun. Sebaliknya, syarikah yang gagal memenuhi standar layanan harus diputus kerjasamanya.
Akhir kata, jika haji adalah ibadah puncak yang memuliakan tamu Allah, maka pelayanannya dipastikan harus bermartabat, tertib, dan manusiawi.
Pemerintah Indonesia wajib hadir lebih kuat, lebih berani, dan lebih berdaulat melindungi rakyatnya di tanah suci. Semoga haji tahun-tahun mendatang lebih baik, tidak hanya sebagai ritual yang sah secara syariat, tapi juga mulia dalam praktik dan pelayanan. (*)
Tonton Video Terbaru dari Ayobandung: