Ditulis oleh Jamilatul Istiqomah*
Pacu Jalur adalah lomba mendayung perahu besar (disebut jalur) yang sudah eksis sejak abad ke-17. Dulu, jalur digunakan sebagai alat transportasi utama masyarakat pesisir Sungai Kuantan, Riau. Karena perannya yang vital, jalur bukan hanya kendaraan air, tapi telah menjadi simbol identitas sosial masyarakat Rantau Kuantan.
Awalnya, lomba Pacu Jalur digelar dalam rangka memperingati hari besar Islam. Namun kini, tradisi ini berkembang menjadi bagian dari perayaan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia dan diselenggarakan setiap bulan Agustus. Sejak 1903, Pacu Jalur telah menjadi agenda budaya resmi Pemerintah Provinsi Riau dan ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda.
Setiap tim perahu terdiri dari puluhan pendayung yang bekerja serempak menuju garis akhir. Namun, ada satu sosok kecil yang justru menjadi pusat perhatian: Anak Koci, disebut juga Anak Joki atau Togak Luan.
Anak Koci adalah anak laki-laki berusia 10–13 tahun yang berdiri di bagian haluan perahu—bagian paling depan. Tugasnya bukan mendayung, melainkan menari dengan gerakan khas yang menjadi semacam “kompas irama” bagi seluruh pendayung. Ia menjaga ritme, menyalurkan semangat, dan bahkan membantu menyeimbangkan perahu.
Tarian Anak Koci bukan sekadar pertunjukan visual. Ia adalah ritual penuh makna, simbol dari hubungan manusia, alam, dan budaya lokal.
Beberapa gerakan utama dari tarian Anak Koci telah ditelusuri dan memiliki arti mendalam, sebagaimana dikutip dari berbagai sumber termasuk Antaranews:
Lambaian tangan ke arah sungai: simbol penghormatan terhadap Batang Kuantan, sungai yang dianggap sebagai sumber kehidupan masyarakat. Gerakan ini mencerminkan rasa hormat terhadap alam dan kekuatan spiritual yang menjaga jalannya lomba.
Kaki yang lincah dan gesit: mewakili ketangkasan dan keharmonisan dalam kehidupan masyarakat pesisir. Irama kaki yang cepat memberi inspirasi ritme bagi para pendayung.

Tangan terbuka ke atas: menjadi lambang rasa syukur atas keselamatan, keberkahan, dan panen yang melimpah. Gerakan ini juga memperlihatkan doa agar perlombaan berlangsung lancar tanpa bahaya.
Sujud syukur: ketika menyentuh garis akhir, anak Koci melakukan sujud syukur sebagai wujud terima kasih kepada sang Pencipta.
Gerakan-gerakan ini diiringi oleh alunan musik tradisional seperti gendang, gong, dan serunai, yang bukan sekadar iringan tetapi juga menyuarakan semangat kolektif, gotong royong, dan keberanian—jiwa dari Pacu Jalur itu sendiri.
Keunikan dan kharisma tarian Anak Koci telah menyita perhatian publik, bahkan hingga mancanegara. Video-video yang menampilkan Anak Koci menari dengan penuh semangat di atas perahu telah viral di media sosial. Banyak warganet hingga mancanegara yang terinspirasi, membuat konten serupa, hingga menirukan gaya tarian mereka.
Seiring viralnya gerakan Anak Koci, muncullah istilah baru di kalangan pengguna media sosial, yaitu “Aura Farming.” Istilah ini digunakan untuk menggambarkan gerakan penuh semangat, percaya diri, dan karismatik yang ditunjukkan Anak Koci. Banyak warganet menyebut bahwa tarian tersebut "memancarkan aura positif dan energi luar biasa", sehingga cocok disebut sebagai aksi “aura farming”.
Ungkapan ini kini makin populer dan digunakan untuk menyebut siapa saja yang tampil percaya diri dan menonjol dalam suatu momen, terinspirasi dari gaya Anak Koci.
Tak hanya masyarakat umum dan konten kreator lokal, bahkan akun media sosial resmi klub sepak bola dunia ikut meramaikan tren tarian Anak Koci.
AC Milan melalui akun TikTok resminya mengunggah video maskot klub mereka yang menirukan gerakan khas Anak Koci lengkap dengan musik tradisional Pacu Jalur.
Paris Saint-Germain (PSG) tak ketinggalan meramaikan tren ini. Melalui akun resminya, klub asal Prancis tersebut membagikan video editan kreatif yang menyisipkan cuplikan tarian Anak Koci, seolah-olah para pemain PSG ikut membawakan gerakan khas Pacu Jalur dengan semangat yang sama.
Aksi dua klub raksasa Eropa ini menjadi bukti kuat bahwa budaya lokal Indonesia, khususnya dari Kuantan Singingi, telah menembus panggung global dan dihargai oleh komunitas internasional.
Baca Juga: 10 Tulisan Terbaik AYO NETIZEN Juni 2025, Total Hadiah Rp1,5 Juta
Bagi masyarakat Kuantan Singingi, fenomena ini bukan hanya kebanggaan, tetapi juga menjadi momen di mana budaya lokal tampil di panggung dunia.
Tarian Anak Koci bukan sekadar pelengkap Pacu Jalur. Ia adalah refleksi kearifan lokal, simbol penghormatan terhadap alam, kehidupan, dan kebersamaan. Di balik tubuh kecil Anak Koci, tersimpan kekuatan besar: menjaga semangat, menyatukan gerakan, dan menyampaikan makna budaya kepada dunia.
Pacu Jalur dan tarian Anak Koci adalah bukti bahwa warisan budaya Indonesia bukan hanya untuk dikenang, tapi juga untuk dibanggakan, disebarkan, dan dilestarikan. (*)
*Jamilatul Istiqomah, guru SDN 2 Tuko, Pulokulon, Grobogan, Jawa Tengah, Kreator Konten dan Koordinator Bidang Kesekretariatan dan Keanggotaan Pengurus Forum Silaturahmi Penulis Grobogan (FSPG).