Beberapa waktu lalu media sosial dihebohkan dengan kritik dari mantan atlet wushu yaitu Lindswell Kwok, ia mengkritik pemberian jam tangan mewah merek Rolex yang diberikan oleh Presiden Prabowo kepada pemain tim nasional (timnas ) sepakbola Indonesia.
Tak lama setelah itu, media sosial juga kembali dihebohkan oleh atlet PON (Pekan Olahraga Nasional) yang protes terhadap Pemerintah Provinsi (Pemprov) Riau yang tidak menepati janji pemberian bonus untuk para atlet yang berjuang di PON.
Amarah para atlet PON memuncak saat Pemprov Riau memberi uang Rp 20 juta ke Rayyan Arkan DIkha, bocah yang viral karena "aura farming" saat pacu jalur di Kuantan Singingi (Kuansing)
Sepintas terdengar, ungkapan para atlet ini adalah sebagai bentuk dari "iri hati' terhadap bonus yang diterima oleh atlet lain.
Namun di balik itu terdapat keresahaan yang lebih mendalam tentang mengapa atlet atlet yang bukan berasal dari cabang olahraga populer seperti sepak bola jarang diapresiasi, meski mereka sudah berjuang untuk bangsa.
Apakah karena mereka tidak bisa dijadikan sebagai ajang untuk viral? Miris. Jadi, Bonus itu untuk apresiasi atau cari sensasi?
Antara Popularitas dan Prestasi
Di beberapa negara, salah satunya Indonesia sepak bola adalah olahraga yang digemari banyak orang. Bahkan ada yang menganggap bahwa sepakbola bukan sekedar olahraga, tetapi sebagai budaya, hiburan.
Maka tak aneh rasanya ketika Timnas bermain banyak sekali yang menantikan, walaupun prestasinya tidak selalu membanggakan.
Sebab popularitas inilah, yang menjadikan apresiasi tidak lagi diukur oleh prestasi yang ditorehkan oleh atlet, tapi ditentukan oleh popularitas.
Sebagai contoh, Timnas Sepakbola mendapatkan bonus Jam tangan Mewah, setelah menang melawan China pada Kualifikasi Piala dunia, berita dipenuhi dengan berita ini.
Sementara itu para atlet dari cabang olahraga seperti wushu, angkat besi, dan panahan yang hampir setiap kejuaraan Asia maupun Olimpiade selalu menyumbangkan mendali kurang diapresiasi.
Bonus sudah pasti ada, tapi beberapa pihak seperti tutup telinga dengan prestasi mereka. Berbeda dengan halnya dengan sepakbola, ketika menorehkan prestasi semua pihak ingin memberi apresiasi. Maka tak heran ada beberapa atlet yang meminta keadilan
Meminta Keadilan, Bukan Iri Hati

Kritik yang diungkapkan oleh atlet wushu tentang pemberian jam tangan mewah kepada Timnas Sepakbola memang menuai pro dan kontra. Banyak yang menyudutkan bahwa atlet wushu ini memiliki rasa kedengkian.
Tapi mari kita telaah, kritik ini muncul bukan karena rasa dengki tapi karena belum maksimalnya sistem dalam apresiasi. Para atlet berjuang dengan dedikasi dan nasioanalisme yang sama, tapi kenapa harus berbeda dalam apresiasi. Apakah itu bisa sebut sebagai keadilan?
Begitu juga dengan para atlet PON Riau yang protes karena bonus yang dijanjikan belum cair, dan Pemprov malah memberi kepada bocah viral "aura farming".
Para atlet PON protes bukan tanpa alasan, karena persiapan untuk bertanding di PON tidak sebentar, banyak waktu yang mereka korbankan untuk latihan.
Tidak tepat jika yang disalahkan adalah para punggawa Timnas Indonesia yang mendapatkan bonus Jam tangan mewah, bocah viral karena "aura farming".
Mereka tidak salah, yang harus dibenahi sekarang adalah sistem apresiasi terhadap atlet yang belum adil, merata, dan standar yang jelas.
Jika pihak pihak terkait masih seperti ini, memberikan apresiasi dan bonus bergantung popularitas dan sensasi, maka para atlet yang berasal dari cabang olahraga yang tidak populer akan frustasi dan putus asa.
Jangan Biarkan Atlet Saling Sindir, tapi Saling Dukung
Jujur, sedih rasanya melihat atlet saling sindir seperti ini.
Mereka para atlet yang seharusnya menjungjung nilai nilai sportivitas harus ternodai untuk memperjuangkan hak hak mereka yang belum tersampaikan.
Tentu, ini bukanlah salah mereka, tetapi ini kembali lagi tentang sistem dari berbagai aspek yang belum baik sepenuhnya, dari segi pembinaan, apresiasi, dan masih banyak lagi.
Semoga kedepannya sistem olahraga di Indonesia bisa segera membaik dan para atlet bisa membawa nama harum bangsa, lalu mendapatkan apresiasi yang sepadan. (*)