Tangis Rindu dan Getirnya Kematian di Balik Lagu Hallo Bandoeng

Aris Abdulsalam
Ditulis oleh Aris Abdulsalam diterbitkan Kamis 12 Jun 2025, 19:02 WIB
Sampul lagu Hallo Bandoeng. (Repro dari Wikimedia)

Sampul lagu Hallo Bandoeng. (Repro dari Wikimedia)

AYOBANDUNG.ID – Sebelum orang ramai saling mengirim emoji lewat WhatsApp, pernah ada masa ketika suara dari seberang samudra adalah kemewahan tak terperi. Tahun 1927, suara pertama dari Belanda akhirnya menjangkau Indonesia, atau Hindia-Belanda, lewat gelombang udara. Hallo Bandoeng! Hier Den Haag! begitu sapaan pembuka yang mencatat sejarah.

Teknologi ini bukan sembarang transmisi. Ia adalah komunikasi dua arah pertama lewat radio antara Den Haag dan Bandung. Lahir dari kerja keras para insinyur Belanda di Stasiun Radio Malabar, Gunung Puntang, sambungan itu menghubungkan dua dunia yang terpisah 11.000 kilometer lebih jauhnya—tanpa kabel, tanpa kapal, hanya gelombang suara dan rindu-rindu yang menggumpal.

Dari sambungan itu pula, terbit sebuah lagu berjudul Hallo Bandoeng, yang kelak dikenal orang Indonesia sebagai Halo Bandung. Tapi jangan keliru, lagu ini bukan mars patriotik ciptaan Ismail Marzuki. Ini lagu lain, lebih tua, lebih melankolis, dan lebih menyayat.

Penciptanya seorang penyanyi Belanda bernama Willy Derby, atau Willem Frederik Christiaan Dieben. Dirilis pada 1929, lagu Hallo Bandoeng menjadi semacam balada diaspora kolonial yang jauh dari rumah, dan juga jadi pengantar kabar dari mereka yang tak akan pernah pulang.

Rindu yang Terlalu Dalam dan Tangisan Terakhir di Kantor Telegraf

Willem Frederik Christiaan Dieben, penyanyi yang lebih dikenal dengan nama panggung Willy Derby, menciptakan lagu Hallo Bandoeng pada tahun 1929. Bukan tentang medan perang atau heroisme, lagu ini justru mengangkat sebuah kisah kecil yang universal: kerinduan seorang ibu kepada anaknya.

Di usia senjanya, si ibu menabung selama berbulan-bulan hanya untuk satu hal—mendengar suara putranya yang tinggal jauh di Hindia-Belanda. Maka ia pun berdiri gemetar di kantor telegraf. Lagu ini dibuka dengan baris lirik yang menggambarkan suasana itu: ’t Kleine moedertje stond bevend / Op het telegraafkantoor, atau dalam terjemahannya, “Ibu bertubuh kecil itu gemetar / Di kantor telegraf.” Sang petugas pun menenangkan, berkata: Juffrouw, aanstonds geeft Bandoeng gehoor—“Nyonya, sebentar lagi Bandoeng akan menjawab.”

Bayangkan seorang perempuan tua di Rotterdam atau Den Haag. Ia berdiri gemetar di kantor telegraf, menunggu sambungan radio dari anaknya yang tinggal di Bandung. Dengan tubuh yang lemah namun hati yang penuh harap, si ibu meraih mikrofon. Tiba-tiba, keajaiban pun terjadi. Ia mendengar suara lembut putranya menembus ribuan kilometer jarak: Ja moeder, ik ben het…—“Ya Ibu, inilah aku.”

Tangisnya pun pecah. Air mata kebahagiaan meledak dari rindu yang lama dipendam. Percakapan pun mengalir. Si anak bercerita tentang kehidupan barunya di seberang lautan. Ia menyebutkan istrinya yang berkulit sawo matang, dan tentang anak-anak mereka yang setiap malam mendoakan sang nenek yang belum pernah mereka jumpai.

Lagu ini terus membangun suasana haru lewat momen-momen sederhana yang sangat manusiawi. Salah satu bagian paling menyentuh adalah ketika sang anak berkata, “Wacht eens, moeder,” zegt hij lachend, “‘k Bracht mijn jongste zoontje mee.” (“Tunggu sebentar, Bu,” kata putranya sambil tertawa, “Aku akan membawa putra bungsuku”).

Dan sesaat kemudian, suara mungil cucu itu terdengar dari ujung lain dunia: “Opoelief, tabe, tabe.” (“Nenek tersayang, tabik, tabik”). Kata “tabe” berasal dari “tabik,” salam dalam bahasa Minangkabau dan Melayu yang dulu populer sebagai bentuk penghormatan. Dalam konteks lagu ini, “tabe” menjadi sapaan penuh kasih dari seorang cucu kepada nenek yang belum pernah ia peluk, sapaan yang hangat namun memilukan.

Sayang kebahagiaan itu justru menjadi beban emosional yang terlalu besar. Di tengah rasa haru yang menggelegak, tubuh si ibu tak sanggup lagi menahan. Ia menangis tersedu, memegang mikrofon, lalu terjatuh. Suara putranya terus memanggil, tapi tak lagi mendapat jawaban. Hanya isak tangis yang terdengar. Dan akhirnya, suara radio mengabarkan kenyataan pahit itu: “Hallo, hallo” klinkt over verre zee / Zij is niet meer…—“Halo, halo,” terdengar di laut yang jauh / Namun sang ibu sudah tiada.” Sementara si cucu, yang tak tahu apa yang baru saja terjadi, masih berkata polos: “Tabe…”

Lagu ini, meski sederhana, menyentuh sisi terdalam manusia. Ia bukan sekadar nostalgia radio atau kenangan teknologi kolonial. Ia adalah elegi. Sebuah nyanyian tentang cinta yang menembus benua, tentang harapan yang akhirnya terhenti, dan tentang rindu yang tidak pernah sempat terobati.
Willy Derby, lewat Hallo Bandoeng, membuktikan bahwa kisah paling memilukan bisa lahir dari hal yang paling sunyi, kerinduan seorang ibu untuk mendengar suara anaknya. Dan bahwa kadang, sebaris ucapan sederhana seperti “Hallo Bandoeng” bisa menyimpan perasaan yang tak terucapkan.

Tahun 1979, versi baru dari lagu ini muncul, dinyanyikan oleh Wieteke van Dort. Ia membawa versi yang lebih lembut, lebih sunyi, seolah menyampaikan bahwa rindu bisa terus hidup bahkan ketika orang yang kita rindukan sudah tiada.

Bukan Sekadar Lagu Pop Kolonial

Hallo Bandoeng bukan sekadar lagu pop di era kolonial. Ia jadi suara batin banyak orang Belanda yang tinggal di Hindia-Belanda. Lagu ini begitu populer, bahkan disebut oleh De Indische Courant pada 1931 sebagai lagu yang "sentimental, kata demi kata" namun selalu menyenangkan untuk didengar.

Dalam dunia tanpa internet dan Zoom, lagu itu menjadi jembatan perasaan. Willy Derby bahkan melakukan tur ke Hindia-Belanda pada 1931, membawakan lagu ini di hadapan para perantau yang sesekali ingin memeluk tanah kelahirannya lewat nada dan suara. Bukan hal biasa, ketika seorang penyanyi dari negeri penjajah menyentuh hati para warga koloninya.

Berdasarkan catatan Huygens Institute, Derby tak hanya membawakan Hallo Bandoeng, tapi juga lagu lain seperti Brief from India dan Slamat Tidoer. Lagu-lagu itu disiarkan oleh PHOHI (Philips Omroep Holland-Indië), menyebar ke telinga-telinga yang merindu rumah tapi tak bisa pulang.

Dan yang menarik, meski lagu ini sangat “Belanda”, Derby tak segan menyisipkan kata-kata Indonesia seperti “tabe”, dan “slamat tidoer”, cara ia memberi penghormatan pada budaya koloni yang mulai menyerap dalam kehidupan orang Eropa saat itu.

Artikel Rekomendasi Untuk Anda

Redaksi
Redaksi
Editor
Nilai artikel ini
Klik bintang untuk menilai

News Update

Ayo Jelajah 31 Okt 2025, 21:42 WIB

Hikayat Skandal Kavling Gate, Korupsi Uang Kadeudeuh yang Guncang DPRD Jawa Barat

Saat uang kadeudeuh jadi bencana politik. Skandal Kavling Gate membuka borok korupsi berjamaah di DPRD Jawa Barat awal 2000-an.
Gedung DPRD Jawa Barat.
Ayo Netizen 31 Okt 2025, 20:26 WIB

Berkunjung ke Perpustakaan Jusuf Kalla di Kota Depok

Perpustakaan Jusuf Kalla bisa menjadi alternatif bagi wargi Bandung yang sedang berkunjung ke luar kota.
Perpustakaan Jusuf Kalla di Kawasan Universitas Islam Internasional Indonesia Kota Depok (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: Dias Ashari)
Beranda 31 Okt 2025, 19:03 WIB

Energi Selamatkan Nyawa: Gas Alam Pertamina Terangi Rumah Sakit di Hiruk Pikuk Kota

PGN sebagai subholding gas Pertamina terus memperluas pemanfaatan gas bumi melalui berbagai inovasi, salah satunya skema beyond pipeline menggunakan CNG.
Instalasi Gizi RSUP Hasan Sadikin. (Sumber: ayobandung.id | Foto: Gilang Fathu Romadhan)
Ayo Netizen 31 Okt 2025, 18:22 WIB

Gunung Puntang, Surga Sejuk di Bandung Selatan yang Sarat Cerita

Gunung Puntang menjadi salah satu destinasi wisata alam yang paling populer di Bandung Selatan.
Suasana senja di kawasan Gunung Puntang, Bandung Selatan. (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: Naila Salsa Bila)
Ayo Netizen 31 Okt 2025, 17:00 WIB

Kehangatan dalam Secangkir Cerita di Kedai Kopi Athar

Kedai Yang suka dikunjungi mahasiswa UIN SGD 2, tempat refresing otak sehabis belajar.
Kedai Kopi Athar, tempat refresing otak Mahasiswa UIN SGD kampus 2. (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: Fikri Syahrul Mubarok)
Ayo Netizen 31 Okt 2025, 16:17 WIB

Berhenti Jadi People Pleaser, Yuk Belajar Sayang sama Diri Sendiri!

Jika Anda hidup untuk menyenangkan orang lain, semua orang akan mencintai Anda, kecuali diri Anda sendiri. (Paulo Coelho)
Buku "Sayangi Dirimu, Berhentilah Menyenangkan Semua Orang" (Foto: Penulis)
Ayo Netizen 31 Okt 2025, 16:01 WIB

Santri Jangan Cuma Dirayakan, tapi Dihidupkan

Hari Santri bukan sekadar seremoni. Ia seharusnya menjadi momentum bagi para santri untuk kembali menyalakan ruh perjuangan.
Santri di Indonesia. (Sumber: Unsplash/ Muhammad Azzam)
Ayo Netizen 31 Okt 2025, 14:50 WIB

Sarapan, 'Ritual' yang Sering Terlupakan oleh Mahasiswa Kos

Sarapan yang sering terlupakan bagi anak kos, padahal penting banget buat energi dan fokus kuliah.
Bubur ayam sering jadi menu sarapan umum di Indonesia. (Sumber: Unsplash/ Zaky Hadi)
Ayo Netizen 31 Okt 2025, 14:01 WIB

Balqis Rumaisha, Hafidzah Cilik yang Berprestasi

Sebuah feature yang menceritakan seorang siswi SMP QLP Rabbani yang berjuang untuk menghafal dan menjaga Al-Qur'an.
Balqis Rumaisha saat wawancara di SMP QLP Rabbani (Sumber: Dokumentasi Pribadi Penulis | Foto: Salsabiil Firdaus)
Ayo Netizen 31 Okt 2025, 13:01 WIB

Antara Kebebasan Berpendapat dan Pengawasan Digital: Refleksi atas Kasus TikTok di Indonesia

Artikel ini membahas polemik antara pemerintah Indonesia dan platform TikTok terkait kebijakan pengawasan digital.
Artikel ini membahas polemik antara pemerintah Indonesia dan platform TikTok terkait kebijakan pengawasan digital. (Sumber: Pexels/cottonbro studio)
Ayo Netizen 31 Okt 2025, 11:12 WIB

Self-Care ala Korea: dari Rutinitas Skincare ke Gaya Hidup Positif

Glowing bukan cuma dari skincare, tapi juga dari hati yang tenang.
Penggunaan skincare rutin sebagai bentuk mencintai diri sendiri. (Sumber: Pexels/Rheza Aulia)
Ayo Jelajah 31 Okt 2025, 09:46 WIB

Hikayat Pembubaran Diskusi Ultimus, Jejak Paranoia Kiri di Bandung

Kilas balik pembubaran diskusi buku di Toko Buku Ultimus Bandung tahun 2006, simbol ketegangan antara kebebasan berpikir dan paranoia anti-komunis.
Ilustrasi pembubaran diskusi di Ultimus Bandung.
Ayo Netizen 31 Okt 2025, 09:39 WIB

Kala Cinta Tak Secepat Jadwal Keluarga, Realita Film 'Jodoh 3 Bujang'

Kisah tiga bersaudara yang harus menikah bersamaan demi tradisi.
Salah satu adegan di film 'Jodoh 3 Bujang'. (Sumber: Instagram/Jodoh 3 Bujang)
Ayo Jelajah 31 Okt 2025, 08:38 WIB

Hikayat Janggal Pembunuhan Brutal Wanita Jepang Istri Pengacara di Bandung

Polisi menemukan jasadnya dengan pisau masih menancap. Tapi siapa pembunuhnya? Dua dekade berlalu, jawabannya hilang.
Ilustrasi (Sumber: Shutterstock)
Ayo Netizen 31 Okt 2025, 07:50 WIB

Menepi Sejenak Menikmati Sore di Bandung Utara

Kamakarsa Garden adalah salah satu tempat yang bisa dikunjungi di daerah Bandung Utara untuk sejenak menepi dari hingar-bingar perkotaan.
Kamakarsa Garden (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: Dias Ashari)
Ayo Netizen 30 Okt 2025, 19:42 WIB

Perempuan Pemuka Agama, Kenapa Tidak?

Namun sejarah dan bahkan tradisi suci sendiri, tidak sepenuhnya kering dari figur perempuan suci.
Dalam Islam, Fatimah az-Zahra, putri Nabi, berdiri sebagai teladan kesetiaan, keberanian, dan pengetahuan. (Sumber: Pexels/Mohamed Zarandah)
Beranda 30 Okt 2025, 19:40 WIB

Konservasi Saninten, Benteng Hidup di Bandung Utara

Hilangnya habitat asli spesies ini diperkirakan telah menyebabkan penurunan populasi setidaknya 50% selama tiga generasi terakhir.
Leni Suswati menunjukkan pohon saninten. (Sumber: ayobandung.id | Foto: Restu Nugraha)
Ayo Biz 30 Okt 2025, 17:33 WIB

Mental Mengemis sebagai Budaya, Bandung dan Jalan Panjang Menuju Kesadaran Sosial

Stigma terhadap pengemis di kota besar seperti Bandung bukan hal baru. Mereka kerap dilabeli sebagai beban sosial, bahkan dianggap menipu publik dengan kedok kemiskinan.
Stigma terhadap pengemis di kota besar seperti Bandung bukan hal baru. Mereka kerap dilabeli sebagai beban sosial, bahkan dianggap menipu publik dengan kedok kemiskinan. (Sumber: Pexels)
Ayo Netizen 30 Okt 2025, 17:24 WIB

Review Non-Spoiler Shutter versi Indonesia: Horor lewat Kamera yang Tidak Biasa

Shutter (2025) adalah sebuah film remake dari film aslinya yang berasal dari Negeri Gajah Putih (Thailand), yaitu Shutter (2004).
Shutter (2025) adalah sebuah film remake dari film aslinya yang berasal dari Negeri Gajah Putih (Thailand), yaitu Shutter (2004). (Sumber: Falcon)
Ayo Netizen 30 Okt 2025, 16:33 WIB

Sastra dan Prekariat: Ketimpangan antara Nilai Budaya dan Realitas Ekonomi

Kehidupan penulis sastra rentan dengan kondisi prekariat, kaum yang rentan dengan kemiskinan.
Para penulis yang mengabdikan diri pada sastra terjebak dalam kondisi prekariat—kelas sosial yang hidup dalam ketidakpastian ekonomi. (Sumber: Pexels/Tima Miroshnichenko)