AYOBANDUNG.ID - Garut dahulu tak cuma terpampang di peta Priangan. Ia juga terukir di badan kapal uap buatan galangan Royal Dutch Company ‘De Schelde’ di Vlissingen, Belanda. Nama zaman baheulanya tentu saja Garoet. Diluncurkan pada 1916, kapal dagang berbobot 7.118 ton ini merupakan bagian dari armada kolonial Belanda yang kerap dinamai berdasarkan kota atau sungai di Hindia Belanda. Ada Soekaboemi, Tjimahi, Tjitaroem, atau Tjilebut. Semua tampak seperti parade geografis tanah jajahan yang berlayar lintas samudra.
Tapi tak semua dari mereka kembali ke pelabuhan asal. Seperti Garoet, yang riwayatnya tamat di Samudra Hindia, dihantam torpedo Jerman saat Perang Dunia II sedang mengganas. Dalam deskripsi Stichting Maritiem Historische Data, Garoet sedang dalam pelayaran dari Bombay dan Marmagoa menuju Durban, Afrika Selatan, pada 19 Juni 1944. Kapal ini membawa muatan campuran: batu bara, gula, dan 1.000 ton kacang tanah.
Catatan Uboat, di atas kapal terdapat 99 awak: 46 pelaut Belanda, 44 laskar (pekerja pelaut dari Asia Selatan dan Asia Tenggara), serta sembilan penembak dari satuan Defensively Equipped Merchant Ships (DEMS) yang bertugas mengoperasikan senjata pertahanan kapal dagang.
Detail peristiwa ini digambarkan secara rinci. Pukul 19.53, kapal selam NAZI Jerman U-181 di bawah komando Kurt Freiwald menembakkan dua torpedo ke sisi kiri Garoet, tepat di palka nomor dua dan buritan. Tembakan itu telak.
Baca Juga: Kisah Kapal Laut Cimahi Hilang di Kabut Kalimantan, Diterkam Laut China Selatan
Lima menit kemudian, kapal selam U-181 muncul ke permukaan. Mereka mendekati rakit dan menginterogasi para korban yang masih hidup: nama kapal, tonase, kargo, pelabuhan tujuan. Ketika mereka menanyakan nakhoda, kepala perwira, dan teknisi utama, tak satu pun yang menjawab. Para perwira itu rupanya ikut tenggelam bersama Garoet. Setelah tak mendapat informasi yang dicari, U-181 pun berlalu.
Dua rakit itu, yang awalnya saling diikat agar tetap bersama, memutuskan untuk berpisah setelah 24 jam hanyut bersama. Mereka berharap peluang ditemukan lebih besar jika menyebar. Tiga awak Belanda, satu operator radio asal Australia, dan satu laskar di salah satu rakit akhirnya ditemukan oleh kapal angkut bagal Inggris, SS Nirvana, pada 30 Juni atau sebelas hari setelah serangan. Mereka diturunkan di Durban. Rakit kedua yang membawa lima laskar baru ditemukan pada 4 Juli pukul 05.00 oleh kapal dagang SS Daldorch, lalu diturunkan di Mauritius pada 9 Juli.
Dari 99 orang di atas kapal, 89 tewas. Hanya 10 yang selamat. Salah satu dari korban adalah Cyril Ernest Abraham, penembak muda asal Inggris yang baru berusia 22 tahun. Ia tergabung dalam unit DEMS yang dipasang untuk mengoperasikan persenjataan pertahanan di kapal dagang. Kisah tentang Abraham dicatat oleh keponakannya, Kim Ribbans, dalam arsip keluarga. Menurut Ribbans, Abraham ditugaskan ke Garoet setelah mengambil cuti untuk menjadi pendamping pria pernikahan adik laki-lakinya di Northampton pada Desember 1943.
“Keluarga kami percaya bahwa Cyril ditugaskan pada jalur pelayaran yang sangat berbahaya sebagai hukuman karena pelanggaran cuti tersebut,” tulis Ribbans. Nasib buruknya mewujud dalam bentuk dua torpedo dan malam tanpa bulan yang membuat segalanya berakhir dalam dua menit.

Dalam daftar nama awak yang dirilis Uboat, beberapa nama terdengar berasal dari Hindia Belanda: Kartawie, Koesnan, Samie, Samieadi, Sampoeroh, dan Soedjono. Tidak ada informasi lebih lanjut tentang latar belakang mereka. Apakah ada yang berasal dari Garut? Tak ada yang tahu. Tapi nama-nama itu cukup membisikkan bahwa bukan hanya orang Eropa yang jadi korban Perang Dunia II di laut lepas, namun juga anak-anak koloni yang terjaring oleh kontrak Lascar, ditempatkan di kapal asing, dan dilupakan dalam laporan-laporan maritim.
Singgah Setelah Bombardir Liverpool
Sebelum tubuhnya diterkan torpedo di Samudra Hindia, kapal uap Garoet sempat mengarungi rute yang jauh lebih dingin dan berbahaya: dari Jawa menuju Inggris. Dalam arsip resmi pemerintah Inggris, tercatat bahwa SS Garoet—dengan nomor resmi 4046BA—berlayar dari pelabuhan di Jawa dan tiba di Liverpool pada 15 Mei 1941.
Tanggal itu bukan hari biasa. Pada tahun yang sama, Liverpool tengah luluh lantak dihajar bom oleh Luftwaffe Jerman. Peristiwa itu dikenal sebagai Liverpool Blitz. Liverpool Blitz adalah serangkaian pengeboman berat yang berlangsung selama Perang Dunia II. Target utamanya: kota pelabuhan terbesar di pantai barat Inggris, Liverpool, beserta Birkenhead. Lokasinya strategis karena menjadi pintu masuk logistik penting bagi Sekutu dari Samudra Atlantik.
Rentetan pengeboman memuncak antara 1 hingga 7 Mei 1941. Sebanyak 681 pesawat pembom Luftwaffe menghujani Liverpool dengan 2.315 bom peledak dan 119 bahan peledak lainnya, termasuk bom pembakar. Hasilnya: 69 dari 144 dermaga kargo lumpuh, 2.895 orang menjadi korban, dan lebih dari 6.500 rumah luluh lantak. Bahkan Katedral Liverpool yang megah pun tak luput dari ledakan. Sebuah bom menembus atap transept tenggara dan meledak di udara, menghancurkan kaca patri bersejarah di dalamnya.

Baca Juga: Dari Gurun Pasir ke Kamp Konsentrasi, Kisah Tragis Keluarga Berretty Pemilik Vila Isola Bandung
SS Garoet tiba tepat sepekan setelah serangan maut tujuh hari itu diakhiri. Kota masih berasap, puing-puing berserakan, jalanan ditutup, rel kereta hancur, dan ribuan orang kehilangan rumah. Di tengah reruntuhan itulah kapal dari Hindia Belanda ini menyusuri dermaga yang setengah hidup, membawa muatan dari negeri jauh. Tak diketahui pasti apa yang dibawa Garoet saat itu.
Garoet bukan kapal perang, bukan kapal pertempuran, tapi kapal dagang yang terus dipaksa menyeberangi samudra di tengah badai konflik paling brutal dalam sejarah peradaban manusia modern. Ia sempat melintasi lautan yang diburu pesawat dan ranjau laut, merapat di kota pelabuhan yang berdarah dan hangus, lalu pergi lagi, entah ke pelayaran berikutnya. Kapal ini dibangun pada masa Perang Dunia I, dan ironisnya dijempout maut di masa Perang Dunia II.