Di kerindangan pepohonan, begitu berbelok masuk ke situs Tugugedé, terlihat batu tegak setinggi empat meter kurang 20 cm. Di pangkal menhir besar itu, kelilingnya empat meter kurang empat cm. Bagian atasnya lebih kecil dibandingkan dengan bagian tengah ke bawah. Bagaimana Tugugedé itu dapat bertahan tegak sampai saat ini, dan tidak roboh?
Agar batu itu tetap tegak, berapa meter bagian dari menhir itu yang dikubur sebagai jangkar? Ada yang menduga, tinggi menhir yang diukur dari permukaan tanah, sedalam itu pula yang tertancap. Bila itu dapat dibuktikan, tinggi batu tagak ini sesungguhnya hampir delapan meter.
Situs megalitik Tugugedé didirikan di lereng barat daya Gunung Halimun (+1.929 m dpl), berada di Kecamatan Cikakak, Kabupaten Sukabumi. Gunung yang meletus dahsyat antara 500.000 sampai dengan 170.000 tahun lalu ini, berada di perbatasan antara Provinsi Banten dan Provinsi Jawa Barat.
Torehan bekas letusan, disempurnakan denudasi dan longsoran di lereng barat daya, telah membentuk cekungan dan cerukan yang menganga selebar tujuh km, dengan lembah yang curam dan dalam. Torehan itu membentuk pegunungan yang memanjang tajam.
Tugugedé didirikan di lereng punggungan pada ketinggian +425 m dpl. Pemilihan tempatnya sangat mempertimbangkan faktor keamanan dari serangan penduduk di luar komunitasnya, dengan kesuburan tempat yang dapat mendukung kehidupannya.
Kawasan ini dibentengi punggungan yang memanjang berlapis-lapis, dan dipisahkan oleh lembah yang dalam.
Di sebelah timur, Tugugedé dibentengi oleh punggungan sepanjang 6 km, dengan bagian tertinggi +645 m dpl, dan dipisahkan oleh lembah sedalam 365 m. Di lapis kedua, sebelah timur benteng alami yang pertama, Tugugedé dipisahkan oleh lembah yang dalam, dan dibentengi dinding alami sepanjang 6 km, dengan punggungan tertinggi +1.485 m dpl.
Sedangkan di bagian barat dan utara, dibentengi punggungan yang melengkung dengan bagian tertinggi +1.165 m dpl, dipisahkan lembah sepanjang 19 km yang bermuara di Samudra Hindia.
Secara alami, dengan memperhitungkan rona bumi di lereng barat daya-selatan Gunung Halimun yang berupa punggungan yang memanjang utara – selatan, dipisahkan oleh lembah-lembah yang curam dan dalam, sangat mungkin, nenek moyang yang mendiami Tugugedé itu ada yang datang dari selatan.
Mereka berlabuh di muara sungai, lalu berjalan ke utara, ke arah gunung. Di tempat-tempat yang terdapat sumber daya alam sangat baik, batu-batu besar yang panjang, batu yang datar dan lebar, kemudian mereka mendirikan menhir, dan membentuk tempat bermukim.
Di Kecamatan Cikakak, terdapat tempat-tempat sakral yang dibuat dari batuan besar, seperti: Situs Gunung Tangkil di Desa Cikakak, situs Salak Datar di Desa Cimaja, Situs Punden Berundak di Desa Sirnarasa, dan situs Ciarca di Desa Sirnarasa.

Situs Tugugedé berada di lereng bagian dalam dari tapal kuda raksasa sisi barat daya Gunung Halimun, menjadi daerah tangkapan hujan, kemudian meresap melalui akar-akar pohon di hutan.
Di tekuk lereng keluar mata air yang teratur, dan di lembahnya, di sepanjang aliran anak-anak sungainya dengan air yang berlimpah. Di sanalah dikembangkan menjadi persawahan yang subur, yang tak pernah kekurangan air. Di tanah daratnya, dikembangkan menjadi kebun dengan aneka pohon yang menghasilkan, seperti durian, jengkol, pisang, kelapa, kayu keras, dan bambu.
Karuhun yang telah membangun kawasan Tugugedé, telah mempertimbangkan segi keamanan warganya, terlindung secara alami, karena wilayahnya dibentengi secara berlapis-lapis oleh punggungan dan lembah yang curam dan dalam.
Keberadaannya menjadi tidak mudah untuk diketahui orang lain. Dengan kesuburan tanahnya yang baik, air yang berlimpah, mereka dapat hidup dan berkehidupan dalam naungan dikemegahan bentang alam.
Mereka memilih tempat untuk pemujaan, yang secara alami memungkinkan, karena tersedianya batu-batu besar hasil dari letusan Gunung Halimun yang berupa lava, dan material letusan lainnya, seperti breksi.
Bongkah-bongkah lava yang berukuran dan panjang dan besar, karena panas, dingin, hujan, dan pengaruh tumbuhan, menyebabkan bongkah lava itu ada yang pecah, membentuk bongkah batu yang datar. Batu seperti inilah yang kemudian dijadikan dolmen, yang oleh masyarakat disebut batu kasur atau batu meja.
Batu yang pecah datar dalam ukuran yang lebih kecil, sebesar meja, sekitar 1,5 m kali 2,25, di bagian yang datar itulah para karuhun ahli memahat batu, membuat cekungan-cekungan yang halus, dengan ukuran yang presisi. Seperti yang disebut batu congklak atau batu dakon, terdapat 10 cekungan yang teratur, dengan garis tengah bagian atas 22 cm, garis tengah bagian bawah 5 cm, dengan kedalaman 14 cm. Untuk menumbuk dan menghaluskan, ada alu yang panjangnya 53 cm, dengan panjang keliling di ujung yang satu 18 cm, dan 34 cm di ujung lainnya.
Peruntukan utamanya adalah untuk menumbuk, seperti untuk menumbuk bahan pangan, dan untuk menumbuk ramuan obat-obatan. Karena jumlahnya 10 lubang, sehingga sebanyak 10 orang dapat bersama-sama menumbuk sesuatu di sana.
Sekarang, tempat menumbuk bahan pangan seperti padi, disebut saung lisung (saung lesung), dan dapat dilakukan secara berbarengan beberapa orang. Ada juga batu lumpang, yang mempunyai fungsi yang sama, untuk menumbuk.
Yang menarik lainnya di sana ada bekas bangunan kuno, apakah punden berundak? Yang di pinggirnya terdapat tangga batu, dan ada beberapa kursi batu yang menghadap ke menhir yang lebih kecil.
Di dalam situs itu terdapat dua jambangan batu yang berfungsi sebagai bak penampungan air untuk bersuci. Ukurannya panjang 185 cm, lebar 87 cm, tinggi 65 cm, dan terdapat lubang pembuangan air di tengah dasar jambangan dengan diameter 20 cm.
Jambangan batu 2, panjangnya 165 cm, lebar 90 cm, tinggi 60 cm, dengan lubang pembuangan air dengan diameter 20 cm. Kedua jambangan batu ini dibuat dari breksi, material yang diletuskan dari Gunung Halimun. Berbeda dengan lava andesit yang pejal, breksi lebih mudah dibentuk menjadi jambangan batu.
Bila situs Tugugedé sebagai tempat sakral, di manakah warganya tinggal? (*)