AYOBANDUNG.ID - Di sebuah tikungan di Jalan Cipaganti, Bandung, berdiri sebuah masjid tua yang masih anggun. Tak terlalu megah, tapi punya gaya. Atapnya limasan, jendelanya tinggi, dan sudut-sudutnya menyimpan aroma zaman kolonial. Namanya: Masjid Cipaganti. Masjid ini bukan hanya rumah ibadah, tapi juga rumah bagi segenggam kisah sejarah yang unik dan agak membingungkan.
Salah satu tokoh yang membuat masjid ini istimewa adalah sang perancangnya: Charles Prosper Wolff Schoemaker. Arsitek Belanda yang hidupnya mirip tokoh utama dalam novel absurd. Ia pernah memelihara macan kumbang dan ular di rumah, menikah lima kali, sempat masuk Islam, lalu kembali jadi Katolik dan dimakamkan di kuburan Kristen.
Begitu pun Masjid Cipaganti: masjid yang dibangun oleh seorang non-Muslim, lalu diresmikan tak lama setelah si arsiteknya mengucap dua kalimat syahadat.
Dari Bilik ke Beton
Bangunan Masjid Cipaganti yang kita kenal hari ini berdiri pada 1933. Tapi cerita aslinya lebih tua dari itu. Menurut pengurus masjid sekarang, bangunan aslinya sudah ada sejak 1800-an. Namanya dulu Masjid Kaum Cipaganti, terbuat dari bilik bambu. Luasnya mencapai 8.000 meter persegi, nyaris sebesar dua lapangan bola.
Dulunya masjid ini berdiri megah (meski dari bambu) di tengah kawasan penduduk. Tapi ketika pemerintah kolonial Belanda mulai merancang kawasan Cipaganti sebagai pemukiman elite untuk orang-orang Eropa, masjid ini jadi ‘gangguan’. Tahun 1920-an, Gemeenteraad alias dewan kota hendak membongkarnya demi membuka jalan baru.
Tentu saja masyarakat Muslim tak terima. Mereka protes. Kepala Penghulu Bandung dan tokoh masyarakat menyuarakan keberatan. Surat kabar zaman itu pun ramai memberitakan keberisikan kaum pribumi yang ingin mempertahankan masjidnya.
Pada akhirnya, pemerintah kolonial mengalah dengan catatan: masjid boleh tetap ada, tapi harus dibangun permanen. Tidak boleh dari bambu atau bilik lagi, karena akan bersebelahan langsung dengan vila-vila Eropa. Dengan kata lain: masjid boleh eksis, asal bergaya dan elok dipandang.

Lantas dimulailah pembangunan ulang masjid ini, di atas tanah wakaf yang sama. Tapi dengan arsitektur yang lebih modern. Dan di sinilah muncul nama Wolff Schoemaker.
Wolff Schoemaker, Tokoh Kolonial yang Tak Biasa
Wolff Schoemaker lahir di Banyubiru, Ambarawa, Jawa Tengah, pada 25 Juli 1882. Ia menempuh pendidikan arsitektur di Breda, Belanda. Tapi jangan bayangkan ia hidup dengan gaya aristokrat yang kalem dan terukur. Ia lebih cocok disebut flamboyan, kalau bukan eksentrik.
Dalam buku Tropical Modernity: Life and Work of C.P. Wolff Schoemaker karya C.J. van Dullemen, Schoemaker digambarkan sebagai arsitek yang nyentrik dan sulit ditebak. Ia punya kebiasaan aneh: memelihara macan kumbang dan ular di rumahnya di Bandung. Ia menikah lima kali, dan dua dari pernikahan itu berlangsung singkat sekali—sampai anak dari istri keempat lahir sebelum anak terakhir dari istri ketiga.
Tak cuma itu. Schoemaker juga dikenal sebagai guru dari Soekarno di Technische Hoogeschool te Bandoeng, yang kelak jadi ITB. Hubungan keduanya sangat dekat, dan saking dekatnya, Schoemaker dikabarkan kurang disukai oleh komunitas Eropa sendiri. Bisa jadi karena gaya hidupnya. Bisa jadi karena kedekatannya dengan muridnya yang sangat pro-pribumi. Atau mungkin juga karena rumor lain: bahwa ia masuk Islam.
Baca Juga: Kisah Sumur Bandung, Lidi Bertuah Bupati yang Jadi Penanda Kota
Sebelum rumor itu muncul, Schoemaker sudah lebih dulu merancang Masjid Cipaganti. Prasasti di masjid mencatat bahwa pembangunan dimulai pada 11 Syawal 1351 H atau 7 Februari 1933. Peletakan batu pertama dilakukan oleh Bupati Bandung saat itu, R.T. Hassan Soemadipradja, bersama Patih Wirijadinata dan Kepala Penghulu Raden Haji Abdoel Kadir.
Bangunan ini dikerjakan oleh pemborong bernama Anggadibrata dengan bantuan Balai Keramik, dulu dikenal sebagai Keramisch Laboratorium.
Bangunan masjid selesai dibangun pada 27 Januari 1934. Dan secara tak sengaja, hanya dua pekan sebelumnya, sebuah kabar cukup heboh beredar: sang arsitek, Wolff Schoemaker, masuk Islam.
Versi yang paling dipercaya menyebut bahwa Schoemaker mengucap syahadat pada Januari 1934. Dalam salat Jumat perdananya sebagai Muslim, ia datang ke Masjid Agung bersama dua Eropa lain: Dr. Khalid Scheldrake dan Mr. Simson. Ketiganya memakai celana panjang (pantolan), dan kehadiran mereka tentu saja mengundang sensasi. "Orang bule masuk masjid? Salat Jumat pula?" begitu kira-kira gumaman jamaah yang hadir hari itu.
Sejak saat itu, Schoemaker mulai menggunakan nama “Kemal Wolff Schoemaker”. Konon, nama “Kemal” itu ia ambil dari Mustafa Kemal Atatürk, tokoh sekuler Turki yang jadi idola modernis Muslim saat itu.
Dengan begitu, jadilah Masjid Cipaganti satu-satunya masjid di Bandung yang dirancang oleh non-Muslim yang baru masuk Islam tepat di masa peresmiannya.
Schoemaker Dimakamkan di Pemakaman Kristen
Sejak masuk Islam, kabar tentang Schoemaker agak mengendap. Ia tak lantas jadi ustaz atau ikut pengajian RT. Malah, beberapa bulan kemudian, muncul tulisan menyindir di koran De Tribune, bertajuk Is dit ook Politiek? (Apakah Ini Juga Politik?). Koran itu menyindir bahwa masuknya Schoemaker ke Islam hanyalah strategi politik agar lebih diterima kaum pribumi.
Tuduhan itu tak sepenuhnya mengada-ada. Sebab, sejarah kolonialisme penuh dengan konversi oportunis. Contoh paling terkenal tentu Christiaan Snouck Hurgronje, orientalis Belanda yang pura-pura masuk Islam demi menembus perlawanan Aceh.

Tapi apakah Schoemaker betul-betul mualaf sejati atau sekadar diplomatis spiritual, tak ada yang bisa memastikan. Yang jelas, makamnya sekarang berada di Blok CB Pemakaman Kristen Pandu, Bandung. Van Dullemen menulis bahwa Schoemaker kembali menjadi Katolik sebelum wafat pada 22 Mei 1949, saat menjadi tahanan Jepang.
Seperti banyak tokoh besar, kisah hidup Schoemaker ditutup dengan jalan pulang yang berbeda dari jalan tengahnya.
Masjid Cipaganti hari ini masih berdiri kokoh. Masih jadi tempat salat lima waktu, tarawih, bahkan akad nikah. Tak banyak yang tahu bahwa masjid ini pernah digambar oleh tangan seorang kolonial yang pelihara macan, jadi Muslim, lalu dimakamkan di kompleks Kristen. Tapi sejarah memang tak selalu lurus seperti jalan protokol. Kadang belok ke arah yang mengejutkan, seperti nasib Schoemaker sendiri.
Masjid Cipaganti bukan cuma rumah ibadah. Ia juga monumen yang menyimpan jejak aneh dari zaman yang tak biasa: ketika seorang arsitek Belanda membantu membangun masjid, lalu sempat jadi Muslim, lalu berpulang ke agamanya semula.
Dan seperti itu pulalah sejarah: membingungkan, tapi tak bisa dipisahkan dari yang kita pijak hari ini.