Bobotoh, sebutan bagi pendukung setia Persib Bandung. Bukan hanya dikenal karena kehebatannya yang luar biasa di stadion, tapi juga karena fanatisme mereka yang terkadang melampaui batas waktu.
Nama Bobotoh sendiri berasal dari bahasa Sunda, yang berarti orang-orang yang mendorong semangat orang lain. Mereka menyatukan nyala dan cinta pada klub sepak bola kota.
Dalam komunitas ini terdapat beragam kelompok, mulai dari Viking Persib Club (VPC), The Bomber (Bobotoh Maung Bandung Bersatu), hingga Flowers City Casuals (FCC).
Namun unik, seluruhnya tetap dikenal sebagai Bobotoh. Mereka juga tidak hanya berasal dan berkumpul di Bandung. Bobotoh tersebar di seluruh Jawa Barat, bahkan dari luar provinsi, menjadikannya salah satu basis suporter sepak bola terbesar di Indonesia.
Pertandingan Persib selalu menjadi magnet, kalau ada big match lawan Persija atau Persebaya, tribun bisa saja membludak. Bobotoh rela datang jauh-jauh, bahkan sehari sebelum pertandingan, demi memastikan posisi terbaik di stadion. Melihat kesayangannya berlaga.
Mengulik Skripsi Unik
Nah, di sinilah keseruannya. Muncul drama “Solat vs Stadion”. Jadwal pertandingan seringkali berdekatan dengan waktu sembahyang Ashar atau Maghrib, menimbulkan tantangan tersendiri buat Bobotoh yang mayoritas muslim.
Saepudin Zuhri memutar ide dan menjadikannya sebuah kajian yang menarik. Salam skripsinya “Hukum Qadha Shalat Menurut Imam An-Nawawi dan Ibnu Taimiyah: Studi Kasus Pelaksanaan Qadha Shalat Bobotoh Persib” (2019), ditemukan bahwa sebagian besar Bobotoh mengaku sulit melaksanakan salat tepat waktu saat pertandingan berlangsung.
Dari wawancara dengan sepuluh orang Bobotoh, sekitar 70% mengaku kesulitan menunaikan salat saat pertandingan. Waktu kick-off sering bertepatan dengan waktu azan, sementara fasilitas di stadion seperti musala atau tempat wudu sangat terbatas. Hal ini membuat sebagian Bobotoh harus menunda salat atau mencari tempat seadanya di sekitar stadion.
Sisanya, sekitar 30%, mengaku terlalu asyik dan larut menonton pertandingan hingga lupa menunaikan salat. Suara yel-yel, sorakan, dan drum yang menggema di tribun sering menutupi azan. Meski ingin menepati kewajiban, mereka kadang terhanyut suasana, menunjukkan betapa kuatnya atmosfer pertandingan bagi Bobotoh.
Meski sebagian besar menggantinya dengan qada, pengalaman ini menunjukkan fleksibilitas praktik beragama di tengah kesibukan dan kegembiraan stadion.
Bobotoh belajar menyeimbangkan antara semangat mendukung Persib dan kewajiban salat. Qada dilakukan dengan tenang, sering sambil berbagi cerita pertandingan atau suasana tribun bersama keluarga di rumah.
Sementara itu, sekitar 10% yang tidak mengganti salat yang tertinggal mengaku merasa sulit atau lupa. Hal ini memberi gambaran bahwa tidak semua penggemar mampu menyesuaikan ritme pertandingan dengan praktik religius. Kondisi ini mencerminkan kompleksitas kehidupan sehari-hari, di mana gairah komunitas, tradisi, dan kewajiban agama terkadang saling bersinggungan, dan Bobotoh berusaha menemukan cara mereka sendiri agar keduanya tetap berjalan.

Agama Yang Hidup
Elizabeth Shakman Hurd dalam Beyond Religious Freedom: The New Global Politics of Religion, (2015), menamai fenomena ini dengan lived religion. Ia menunjukkan wajah agama yang berbeda, pengamalan dalam pengalaman. Cara orang menjalankan agama sehari-hari bisa berbeda dari aturan resmi. Dalam kenyataan, orang sering menyesuaikan sendiri cara beribadah, improvisasi, dan membuat praktiknya lebih fleksibel.
Mereka punya kemampuan sendiri untuk memahami dan menjalankan agama, meski tetap dipengaruhi oleh budaya dan aturan yang ada. Jadi, agama yang dijalani sehari-hari biasanya lebih hidup, cair, dan kreatif dibandingkan aturan resmi berdasarkan pedoman.
Nancy Ammerman lewat Everyday Religion: Observing Modern Religious Lives (2007) menyebutnya dengan konsep everyday religion. Ini lebih membantu kita dalam melihat agama dari perspektif orang biasa.
Agama bukan hanya ritual di rumah ibadah atau ajaran yang tertulis di pustaka suci. Ia hidup di meja makan, di kantor, di forum daring, bahkan dalam kebiasaan sehari-hari yang tampak sederhana. Termasuk stadion bahkan tribun.
Orang-orang selalu punya cara buat menyesuaikan praktik agama sesuai kebutuhan dan konteks hidup mereka. Dengan kata lain, mereka punya “agensi”, sebuah kemampuan aktif untuk membuat agama menjadi bagian dari kehidupan nyata, bukan sekadar aturan yang kaku. Konsep ini juga menunjukkan bahwa agama di dunia modern itu fleksibel dan adaptif.
Melihat Diri Sendiri
Melihat pengalaman Bobotoh ini, kita bisa menarik pelajaran yang lebih luas tentang arti kehidupan religius di dunia sekarang. Di luar stadion, banyak orang yang menghadapi dilema serupa. Antara kesibukan, hobi, pekerjaan, media sosial, nongkrong, atau kegiatan komunitas, dan kewajiban agama yang ingin dijalankan.
Sama seperti Bobotoh yang menyesuaikan salat dengan pertandingan, mereka sering kali mesti menemukan cara kreatif agar praktik agama tetap bisa hidup di tengah laju harian yang padat.
Fenomena ini riil sungguh terjadi, bahkan mungkin itu adalah kita, menunjukkan bahwa agama menjadi bagian dari keseharian. Ini juga potret dari cara kita yang kerap “men-cheat” agama dengan akal-akalan sendiri, kadang mencari dalihnya dengan serius bahan pembelaan, lucu memang, Kita boleh saja tidak setuju secara normatif, tapi begitulah fakta sosialnya yang direkam oleh studi agama hari ini. (*)