Bayangkan skenario “kiamat iklim” atau climate apocalypse, peradaban manusia hancur akibat krisis. Serem?
Tapi sebenarnya, alam tidak pernah mengenal istilah bencana, wabah, atau sampah. Semua konsep itu lahir dari cara manusia memaknai hubungan mereka dengan alam. Kitalah yang memberi label “alami” atau “katastropik” pada fenomena lingkungan, padahal bagi alam, semua tetap mengalir sesuai caranya.
Ketika isu kerusakan lingkungan dibingkai dengan istilah “kiamat”, narasi ini sering membawa logika agama Abrahamik, agama-agama yang bersumber dari tradisi wahyu.
Dalam kosmologi ini ada awal, ada akhir, waktu yang berjalan lurus, dan manusia ditempatkan sebagai pemegang mandat Tuhan di bumi. Alam pun kerap dibaca sebagai benda mati yang bisa diatur dan dikendalikan, kadang bahkan dikaitkan dengan ide memperbanyak keturunan (prokreasi).
Cara berpikir ini membuat banyak orang fokus pada pertobatan pribadi atau moralitas ritual, sementara aspek ekologis yang lebih luas terabaikan. Dari sinilah lahir eko-teologi, upaya menafsir ulang ajaran agama supaya manusia bisa lebih ramah terhadap alam.
Banyak penganut Yahudi, Kristen, dan Islam mulai menata ulang gaya hidup mereka. Umat diajak buat mengurangi konsumsi, peduli pada limbah, hingga terlibat dalam advokasi agraria dan pelestarian lingkungan.
Namun sebetulnya langkah ini hanya sebagian kecil dari solusi. Karena masih banyak praktik keagamaan lain yang jarang dilibatkan. Jarang kita tengok kacamatanya.
Masalah besar adalah keterbatasan pandangan. Dialog lintas agama-iman dan advokasi lingkungan seringkali hanya menekankan posis dari sudut pandang agama Abrahamik. Sementara agama dan tradisi religius lain, dari ajaran ahimsa di India, konsep wu wei dan qi di Tiongkok, hingga ritual sesaji lokal, jarang diperhatikan.
Padahal tradisi-tradisi ini menawarkan cara pandang yang sejak awal sudah ramah terhadap bumi. Alam bukan hanya objek, tapi subjek yang layak dihormati. Narasi kosmik, energi alam yang ilahiah, dan komunikasi spiritual dengan lingkungan sudah berlangsung ribuan tahun, dan semuanya mengandung pesan ekologis yang unik. Sayangnya, kita sering melewatkan pelajaran ini karena kerangka berpikir kita terbatas pada teks-teks teologi dan aturan institusional.
Di sisi lain, persoalan kebebasan beragama juga terkait erat dengan isu lingkungan. Interpretasi agama yang pro-ekologi atau kritis bisa dianggap menodai ajaran resmi, terutama oleh ortodoksi yang kaku.
Bangunan rumah ibadah, hutan adat, dan praktik warga penghayat yang dekat dengan alam sering terhambat karena intoleransi atau konflik kepentingan ekonomi. Bahkan tidak jarang, eksploitasi sumber daya alam dibungkus dengan agenda keagamaan tertentu. Semua ini menunjukkan bahwa relasi antara manusia, agama, dan alam tidaklah sederhana.

Di sinilah konsep Int(Earth)Religious Dialogue menjadi penting. Dialog ini tidak hanya bicara manusia ke manusia, tetapi melibatkan bumi sebagai subjek yang berhak didengar. Tujuannya bukan hanya menjaga perdamaian antaragama, tetapi juga memaknai ulang relasi kita dengan alam.
Melalui pendekatan ini, bumi tidak lagi menjadi objek yang bisa dieksploitasi semaunya, melainkan partner yang aktif dalam dialog tentang kelestarian, keadilan sosial, dan kebinekaan.
Pendekatan ini juga menekankan keragaman praktik religius.. Bumi tidak hanya berbicara pada satu tradisi, satu interpretasi, atau satu institusi agama. Ia terlibat dalam praktik agama lokal, kultus, agama rakyat, atau agama nominal yang berbeda-beda. Setiap praktik mengandung cara unik dalam membaca hubungan manusia-alam. Dengan cara ini, kebinekaan tidak hanya berlaku di ruang sosial, tapi juga dalam cara kita memandang dan merawat lingkungan.
Ide Int(Earth)Religious Dialogue menunjukkan satu hal penting bahwa kelestarian lingkungan dan perdamaian antaragama tidak bisa dipisahkan. Jika kita gagal menghargai pluralitas praktik religius sekaligus menjaga bumi sebagai subjek, kita sebenarnya gagal merajut cita-cita kemanusiaan-kesemestaan yang lebih besar.
Sebaliknya, ketika kita menyadari bahwa manusia dan alam saling terkait, kita bisa membangun pendekatan yang inklusif, adaptif, dan bermakna. Sebuah dunia ketika agama dan bumi berjalan berdampingan.
Ini mungkin gagasan, tapi ia menuntut kesadaran, keberanian, dan kreativitas dari setiap orang yang terlibat dalam dialog. Dari ruang komunitas hingga hutan adat, dari ritual lokal hingga aktivitas sehari-hari, bumi harus diakui sebagai partisipan aktif.
Bumi yang hancur adalah keluputan kita dalam merajut keberagaman dan keberlanjutan.Dan sebaliknya, bumi yang dihargai, dirawat, dan diajak bicara, adalah tanda kita berhasil belajar dari semua tradisi agama.
Akhirnya, kita tiba pada satu hal penting bahwa dialog lintas agama-iman tidak cukup hanya antara manusia saja. Bumi juga punya suara, konteks, dan kebutuhan yang harus didengar. Itulah sebabnya istilah Interreligious Dialogue saja terasa kurang. Kita butuh Int(Earth)Religious Dialogue, dialog yang melibatkan bumi. (*)