Ngawangkong ngalér ngidul, di masa ketika nenek dan kakek masih bersama kita. Masa ketika listrik sering padam, saat segala hal masih terasa bersahaja. Jauh di sana kita masih akrab dengan sepupu dan tetangga. Di sebuah zaman, orang-orang belum terlalu biasa dan lumrah sekolah ataupun kerja jauh ke luar kota.
Bersama kehangatan itu, selalu ada saja yang bisa diceritakan. Pasti ada sesuatu yang menarik untuk disimak dengan antusias. Kita berdongeng sambil menyaksikan hujan turun di pekarangan rumah.
Kala kopi hitam, rokok kretek, rujak, dan opak, masih dipandang sebagai kemewahan. Meski yang datang hanya tiga orang, kadang ramai sampai berdelapan. Habis magrib, tengah malam, kapanpun juga. Suasananya selalu sama, santai dan seru. Orang Sunda tak pernah kehabisan topik obrolan. Selalu ada isinya receh tak apa-apa, kadang dalam yang bikin pusing, intinya pasti memikat.
Psikolog Hanna Djumhana Bastaman menuturkann dalam acara Keurseus Budaya Sunda: Humor jeung Guyonan Sunda Sawangan Psikologi yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Budaya Sunda Universitas Padjadjaran, bahwa ada tiga tema obrolan yang paling disukai oleh orang Sunda. Ialah sesuatu yang pikaseurieun, pikasieuneun, dan pipanasaraneun.
Tiga topik ini, memang selalu nongol di setiap tongkrongan, riungan, bahkan cukup dalam percakapan di antara dua orang saja. Kita ketawa, takut, dan penasaran bersama-sama. Semuanya diramu jadi satu dalam percakapan yang cair. Entah dalam obrolan singkat sambil lalu, atau malah sering juga terlena hingga tak tahu waktu.
Obrolan adalah cermin dari cara orang Sunda melihat dunia. Ia menerabas ketidaktahuan, menegosiasikan perkara. Dari tawa, kita belajar tentang sisi lain berbagai fenomena yang ternyata tak seserius yang kita kira. Dari rasa takut, kita belajar santun pada hal-hal yang tak biasa. Begitu juga dari rasa penasaran, kita belajar menyalurkan hasrat sebagai kodrat kehidupan yang alami.
Dan mungkin itu sebabnya kita betah berlama-lama sahut-sahutan, meski cuma di bangku kayu atau tikar tipis. Karena di situ kita tumbuh, mengenal banyak kejadian dan pengetahuan, dibentuk menjadi bagian dari manusia Sunda.
Ini Poinnya
Bercanda adalah hal yang paling mudah dikenali. Orang Sunda punya cara sendiri untuk menertawakan hidup. Kadang lewat sisindiran, wawangsalan (pantun), atau tatarucingan (teka-teki), kadang spontan saja dalam percakapan sehari-hari. Dari landian (panggilan nama), borokokok sampai plesetan lagu.
...és krim énak, sarébu salétak, ngoloan budak.
Dari bobodoran cangéhgar di radio sampai cerita Si Kabayan di buku-buku ajar, atau Si Cepot dalam pagelaran wayang golek yang berani mengolok menak dengan jenaka tanpa kehilangan daya kritisnya. Inilah yang disebut pikaseurieun, yang membuat kita tertawa.
Dari masa ke masa, selalu ada tokoh lucu yang jadi legenda. Kang Ibing dengan gaya santainya yang filosofis, Mang Ohang yang ceplas-ceplos. Mereka bukan sekadar pelawak, tapi penjaga kewarasan masyarakat Sunda. Karena bagi kita, tawa adalah katarsis, cara untuk melepaskan tekanan hidup. Bahkan dalam lulucon, banyol, heureuy, gonjak, léléjég, ocon, bojég dan seterusnya, orang bisa menyindir yang berkuasa tanpa membuat suasana tegang.
Tapi obrolan orang Sunda tak berhenti di sana. Kadang setelah tawa mereda, suasana berubah pelan-pelan. Salah seorang dari kita membuka cerita tentang jurig, dedemit, ririwa, atau siluman kajajadén. Kisah sasakala (legenda asal usul) turut disampaikan dengan suara yang dalam dan nada yang menurun.
Di sini kita masuk pada babak yang pikasieuneun, yang membuat takut. Obrolan berubah jadi simak menyimak soal kesaksian kawénéhan (melihat hantu bergentayangan), dari lulun samak sampai jurig jarian. Meski tuturan penuh cenah dan cenah (katanya), tetap saja semua ini terasa nyata di depan mata. Jurnalrisa dan Ardan Radio paling jago mengudarakan soal ini. Apalagi kalau sudah menyenggol gosip warga sebelah yang diduga munjung (pesugihan) dan sering kesurupan, tampak bukan bualan omong kosong.
Abdi téh ayeuna gaduh hiji bonéka
Teu kinten saéna sareng lucuna
Ku abdi di erokan, erokna saé pisan
Cing mangga tingali bonéka abdi
Narasi ini adalah cara kita berbagi rasa takut, mengenang hal-hal yang diwariskan dari orang tua, sekaligus menegaskan bahwa dunia tak sepenuhnya bisa dikuasai akal. Dalam alurnya, banyak ajaran moral dan tabu yang tersembunyi dari pamali, cadu, dan buyut. Bahkan pada masalah soal lingkungan hidup.
Ketegangan bisa saja cepat beralih. Tawa kecil kembali muncul, tapi kali ini kita mulai 'bersemangat'. Pipanasaraneun, yang membuat penasaran dan rasa ingin tahu menggoda membawa obrolan pada bahasan yang tipis-tipis membanyol seksualitas.
Dalam dunia Sunda muncul dua narasi yang khas tentang hal tersebut, jorang dan cawokah.
Jorang adalah ungkapan yang lepas tanpa saringan, bisa bikin kikuk dan rasa malu. Sebaliknya, cawokah membungkus topik yang sama dengan halus. Ia seni yang tidak lahir dari nafsu. Sering kali masuk ke ranah peribahasa.
Heunceut ucingeun, maksudnya kan perempuan yang gampang hamil dan punya anak. Begitu juga ungkapan kanjutna tarang, artinya pemalu.
Di Priangan Timur ada kuliner dari olahan kelapa dan gula merah, namanya éwé déét. Ada juga kontol sapi (Banten) dan heunceut rubak (Purwakarta).
Semua sebutan itu adalah kearifan lokal, bukan porno.
Dalam banyak hal, pembahasan tentang tubuh tak sedangkal vulgar. Ia sering kali berhubungan dengan kosmologi dan tradisi. Banyak unsur seksualitas yang tersirat dalam estetika, etika, dan logika khas Sunda, menghadirkan sisi epik kehidupan Sunda. Misal, tampak jelas pada berbagai rangkaian upacara adat jatukrami, simbol-simbol falus dan vulva seiring sejalan.
Tantangan Ke Depan

Tapi sekarang, semua itu perlahan memudar. Obrolan panjang dan lebar kini disibukkan oleh tenggat kerja, zoom meeting yang tak berujung, dan target produksi yang menekan. Tidak ada lagi waktu untuk leha-leha. Orang makin canggung bercanda, mudah tersinggung, dan takut salah ngomong. Yang tersisa cuma “ketawa karier”.
Cerita horor pun pelan-pelan ditinggalkan. Jurig serta merta dianggap mitos, nalar leluhur dianggap tak ilmiah. Tapi sayang, dunia yang sepenuhnya rasional malah membuat kita makin cemas. Memang tak lagi takut pada makhluk halus, sekarang lebih takut gagal, takut miskin, takut disingkirkan dari FOMO dan tren.
Begitu juga dengan jorang dan cawokah. Rasa ingin tahu tentang tubuh dan seksualitas, kini dibungkam moralitas dangkal. Hal-hal yang dulu dibicarakan dengan penuh kesegaran kini dianggap aib atau topik yang murahan. Seolah-olah semua harus diungkap lewat “kedok” sains yang satu arah. Kita dituntut menjaga marwah.
Jujur saat, kita pasti kangen dengan obrolan daging model ini. Tapi kembali ke masa lalu bukan solusi dan tak perlu juga.
Sebab kalau saja kita peka sisa-sisa tongkrongan itu sebenarnya masih ada. Di kedai kecil, kontrakan “kumuh”, pangkalan, atau angkot malam, percayalah masih banyak percakapan hidup yang berdenyut. Termasuk pada konten-konten orang Sunda di TikTok, kita boleh berkunjung, melepaskan rindu dan menghidupkan kembali topik-topik itu.
Kita bisa membawanya jadi oleh-oleh buat sekitar yang tampak kering dan gersang. Bercanda sambil mengerjakan tugas atau membuat laporan. Berbisik-bisik tentang bayangan hitam di meja kerja, atau membiasakan diri terbuka pada literasi seksualitas yang sehat sekaligus membumi di malam-malam keakraban. Bisa kan?
Meski dunia Sunda pelan-pelan kehilangan kelenturannya, masih ada jalan untuk interupsi. Tiga bentuk obrolan itu harus kita kembalikan sebagai makanan pokok dan cara hidup khas Sunda yang bermartabat, bukan sekadar hiburan yang dicap murahan.
Mereka adalah jantung dari kebijaksanaan Sunda. Ia menentang budaya wibawa para menak kontemporer yang selalu menjaga batas bercanda, menjaga nalar rasional, dan menegakkan “adab” sensual yang hipokrit. Ayo, bawa budaya rakyat ini ke pusat kekuasaan, percaya diri, dan jangan biarkan ia tersisa hanya sebagai gagasan masa lalu yang antik atau pesona nostalgia semata. (*)