Shinto, Sunda, dan Saikeirei: Sejarah Agama dan Kekuasaan

Arfi Pandu Dinata
Ditulis oleh Arfi Pandu Dinata diterbitkan Minggu 05 Okt 2025, 11:10 WIB
Sketsa Saikeirei (Sumber: Gambar Pribadi | Foto: Arfi Pandu Dinata)

Sketsa Saikeirei (Sumber: Gambar Pribadi | Foto: Arfi Pandu Dinata)

Singaparna tahun 1944, sinar matahari menyoroti Asia. Para ulama dan ratusan santri berdiri tegak di tengah lapangan dipaksa menundukkan kepala dan membungkuk ke arah Tokyo.

Di bawah todongan senjata, sebagian besar menurut dengan gerakan terpaksa. Tapi Sang Ajengan, pemimpin Pesantren Sukamanah, tetap berdiri tegak sebagaimana imannya. Dengan langkah pasti, ia membalikkan badan dan meninggalkan lapangan, meninggalkan bayang-bayang teror militer Jepang yang murka.  

Bagi K.H. Zainal Mustafa sikap ini adalah bentuk penyembahan. Penolakannya di Lapangan Singaparna bukanlah aksi yang spontan, melainkan puncak dari kebencian mendalam terhadap kolonialisme baru yang menginjak-injak hak beragamanya.  

Meski Rezim Militer Jepang tidak menyentuh pesantren secara langsung, namun aturan semacam ini yang diwajibkan kepada umat Islam di sekitar Singaparna termasuk Desa Cimerah tempat tinggalnya, hanya bisa memicu amarah. Apalagi saat ia melihat petani setempat menderita akibat perampasan padi yang menguras hasil bumi. Bagi Sang Ajengan, itu semua adalah penindasan yang nyata.

Ini adalah sikap simbolik K.H. Zainal Mustafa yang menolak tunduk pada ideologi Rezim Militer Jepang. Namun begitu ketika penjajahan beroperasi makin brutal, perlawanan seketika berevolusi menjadi pemberontakan yang terbuka. Perampasan ratusan pucuk senjata milik kekuasaan dan pengeroyokan terhadap militer yang menyiksa warga bersatu padu dan meletus melawan ketidakasilan. 

K.H. Zainal Mustafa telah membuktikan bahwa teladannya bukan sekadar protes ritualistik, melainkan bibit nasionalisme yang sejati. Begitulah catatan yang yang ditulis Laili Mardhatilah dalam "Perlindungan K.H. Zainal Mustafa Terhadap Pemerintahan Pendudukan Militer Jepang di Sukamanah Tahun 1944" (2019).

Dari Tasik ke Garut

Di bawah bayang-bayang bendera matahari terbit, Garut adalah saksi yang lain. Sejarah pernah memperlakukannya sebagai medan penindasan terhadap agama dan budaya rakyat. Salah satu instrumen represi paling menyakitkan yang diterapkan Rezim Militer Jepang kala itu adalah saikeirei, praktik penghormatan wajib kepada Kaisar Jepang, Tenno Heika, “Baginda Penguasa Surgawi”.

Setiap pagi, sebelum matahari mencapai puncaknya, para pelajar dan pegawai penyelenggaraan kekuasaan di Garut disuruh berdiri tegak di halaman sekolah atau kantor. Dengan gerakan terpaksa, mereka membungkukkan badan ke arah Tokyo, ibu kota Kekaisaran Jepang, sebagai simbol ketaatan mutlak.

Praktik ini bukan sekadar ritual, melainkan senjata yang berupaya menghapus identitas lokal dan menggantinya dengan kesetiaan kepada kaisar.

Bagi Rezim Militer Jepang, gerakan membungkuk adalah bukti penyerahan diri rakyat Indonesia kepada "Dewa Matahari". Namun bagi masyarakat Garut yang mayoritas muslim, saikeirei tak lain dengan aksi benturan antara politik dan iman. Para ulama setempat dengan lantang menolaknya,  memandang gerakan itu serupa dengan rukuk dalam salat, ibadah yang hanya ditujukan kepada Allah semata. Membungkuk kepada manusia, apalagi seorang kaisar, diyakini sebagai penyimpangan akidah yang tidak bisa diterima.

Penolakan mesti dibayar mahal. Mereka yang melawan saikeirei dihadapkan pada kekejaman Kempetai (polisi Rezim Militer Jepang). Pelajar yang lupa membungkuk, pegawai yang terlambat mengikuti upacara, atau warga yang menolak dengan dalih agama, akan dihukum di depan umum.

Tamparan di wajah hingga telinga berdenging, tendangan yang membuat tubuh terjengkang, atau penjemuran di bawah terik matahari yang menyengat. Bagi Rezim Militer Jepang, ini adalah disiplin. Bagi rakyat Garut, ini adalah penghinaan terhadap martabat kemanusiaan dan agama.  

Seperti diungkap Kunto Sofianto dalam “Garut Pada Masa Pemerintahan Pendudukan Jepang 1942–1945” (Sosiohumaniora, 2014), saikeirei menjadi titik balik persepsi masyarakat Garut terhadap Rezim Militer Jepang. Klaim "saudara tua" pembebas dari Rezim Kolonial Hindia Belanda adalah penindas baru yang lebih bengis daripada era sebelumnya. 

Harry J. Benda dalam “Bulan Sabit dan Matahari Terbit: Islam Indonesia pada Masa Pendudukan Jepang 1942–1945” (1980) menyoroti resistensi umat muslim tersebut sebagai bukti ketahanan religius. Saikeirei merupakan pertarungan antara ketaatan kepada Tuhan dan ketaatan kepada tirani. Fenomena ini jelas mencederai praktik kebebasan beragama kala itu.

Saikeirei di Antara Propaganda 

Miftachul Amri dalam “Ojigi: The Ethics of Japanese Community’s Nonverbal Language (Atlantis Press, 2019) menerangkan bahwa saikeirei adalah bentuk ojigi (membungkuk) yang paling dalam dan penuh rasa hormat dalam budaya Jepang. Gerakan ini melibatkan gestur membungkuk sekitar 45° atau lebih, dan digunakan untuk menunjukkan penghormatan tertinggi, baik kepada individu dengan posisi sangat tinggi, seperti kaisar atau pejabat tinggi, maupun dalam situasi permintaan maaf yang serius.

Selain itu, saikeirei juga digunakan dalam konteks ritual keagamaan, misalnya saat berdoa di kuil. Sebab awalnya penghormatan ini hanya diberikan kepada para dewa atau kaisar.

Dalam skema tingkatan ojigi, saikeirei menempati posisi yang paling tinggi. Ia berada di atas eshaku (membungkuk ringan sekitar 15° untuk teman atau kenalan) dan futsuu no ojigi (membungkuk formal sekitar 30° untuk permintaan maaf atau salam formal). Saikeirei menekankan kedalaman dan kesungguhan gerakan, sehingga berfungsi sebagai simbol penghormatan dan kesopanan tertinggi dalam interaksi sosial maupun upacara resmi.

Namun demikian, di tengah bayang-bayang pendudukan, Saiful Umam dalam “Historiography of Japanese “Islamic Policy” in Indonesia” (Islamika Indonesiana, 2014) memandang saikeirei bukan sebagai gerak ritus yang netral. Ia adalah aturan yang menyasar umat Islam di Jawa, strategi gagal Rezim Militer Jepang yang penuh kontradiksi. Kekuasaan yang berniat meraih loyalitas umat muslim, justru menimbulkan kegelisahan hati dan rasa sensitif yang tak terduga. Dalam ketegangan propaganda, saikeirei menjadi cermin dari kesalahan awal Jepang.

Shinto pada Masa Perang Dunia II

Qin Lianxing dalam “The Rethinking of “State Shinto” in Japanese Academia After World War II (Cultural and Religious Studies, 2023) melihat bahwa sepanjang Perang Dunia II Shinto berfungsi sebagai desain kekuasaan Rezim Militer Jepang, bukan sekadar praktik keagamaan lokal.

State Shinto dijadikan alat untuk menanamkan loyalitas mutlak terhadap kaisar dan negara, serta membentuk kesetiaan pada ideologi ultranasionalisme dan militerisme. Ritual, upacara persembahan, dan pendidikan moral dipaksakan, mengubah spiritualitas menjadi propaganda perang yang membungkus doktrin kekaisaran.

Kuil-kuil Shinto dan pemujaan kaisar menjadi simbol dominasi negara, menuntut rakyat tunduk sepenuhnya pada wacana nasional, dan setiap tindakan keagamaan diarahkan untuk mendukung kepentingan militer. Dengan demikian, Shinto selama perang bukan lagi sekadar agama atau tradisi, melainkan arsitektur ideologis rezim, memperkuat militerisme, menormalisasi ultranasionalisme, dan menjustifikasi kekerasan sebagai kehendak yang dipandang ilahian dari kaisar.

Helen Hardacre dalam “Shinto: A History” (2017) mencatat narasi transformasi Shinto menjadi alat politik nasionalisme Jepang dan perannya selama Perang Dunia II melalui pola keterhubungan simbolis yang mendalam.

Sampul Buku “Shinto: A History” Karya Helen Hardacre (2017). (Sumber: Dokumentasi Pribadi | Foto: Arfi Pandu Dinata)
Sampul Buku “Shinto: A History” Karya Helen Hardacre (2017). (Sumber: Dokumentasi Pribadi | Foto: Arfi Pandu Dinata)

Setelah Restorasi Meiji 1868, kekuasaan memisahkan Shinto dari Buddha (Shinbutsu Bunri) dan membentuk “State Shinto” (Shinto Negara) sebagai sistem ritual resmi yang mengaitkan Dewa Matahari Amaterasu, kaisar, bendera Hinomaru, nama Jepang (Nippon/Nihon), dan lagu kebangsaan Kimigayo dalam satu ideologi tunggal.

Amaterasu, sebagai leluhur wangsa kekaisaran, menjadi fondasi mitos bahwa kaisar adalah Arahitogami (dewa yang menjelma sebagai manusia), pemegang mandat ilahi untuk memimpin. Bendera Hinomaru (matahari merah di latar putih) melambangkan kekuasaan Amaterasu, sementara nama Nippon (asal matahari) menegaskan Jepang sebagai shinkoku (tanah suci) yang sakral. Lagu Kimigayo memuja keabadian kekuasaan kaisar sebagai penerus tak terputus dari Amaterasu.  

Selama Perang Dunia II, “State Shinto” digunakan untuk melegitimasi ekspansi militer Jepang di Asia. Kaisar Hirohito diposisikan sebagai pemimpin spiritual dan politik, sementara doktrin Hakko Ich'u (Delapan Pojok Dunia di Bawah Satu Atap) menyatakan misi suci Jepang memimpin Asia.

Kuil Yasukuni didedikasikan untuk menghormati arwah prajurit, termasuk yang gugur saat menjajah Asia, sebagai pahlawan yang mengorbankan diri untuk kaisar dan negara. Shinto juga diintegrasikan ke dalam pendidikan. Buku teks seperti Kokutai no Hongi mengajarkan bahwa penjajahan Asia adalah tugas suci untuk menyebarkan peradaban ilahi Jepang di bawah naungan Amaterasu

Dan di tengah-tengah inilah, ritual saikeirei berada.

Pasca-1945, Sekutu membongkar “State Shinto” melalui Dekrit Kekaisaran yang menyangkal status keilahian kaisar, kemudian serta memisahkan agama dari negara. Namun, warisan simbolis ini tetap mempengaruhi politik Jepang modern, seperti kontroversi kunjungan pejabat ke Kuil Yasukuni yang masih memicu protes internasional.

Hardacre menyoroti kisah Shinto, yang awalnya merupakan religiusitas lokal dan pemujaan terhadap Kami, diubah menjadi mesin politik yang mengikat identitas kebangsaan pada narasi kesucian dan superioritas ilahi. Sebuah pola yang memperlihatkan bahaya ketika agama disatukan dengan ambisi kekuasaan.

Catatan Akhir

Saikeirei selama pendudukan Rezim Militer Jepang menyingkap benturan antara iman, kekuasaan, dan identitas lokal. Dari Singaparna hingga Garut, umat Islam di Tanah Sunda dihadapkan pada dilema yang tak ringan, tunduk pada ritual yang dipaksakan, yang bertentangan dengan nilai-nilai keagamaan dan adat istiadat mereka.

Sikap K.H. Zainal Mustafa yang tetap tegak di tengah tekanan militer bukan sekadar penolakan fisik, tetapi simbol keteguhan iman sekaligus refleksi masyarakat Sunda. Dalam pikiran seorang Sunda kala itu, kehormatan, martabat, dan prinsip religius harus dipegang teguh, sehingga menolak saikeirei berarti mempertahankan identitas spiritual dan sosial yang telah diwariskan turun-temurun.

Lebih dari sekedar gerakan membungkuk, saikeirei menjadi alat propaganda yang menguji loyalitas dan kesetiaan, sekaligus mengungkap cara kekuasaan bisa merusak tradisi sakral. Fragmen sejarah ini mengingatkan bahwa ketika agama dan adat dipaksa melayani politik, ia bisa menjadi medan perlawanan, simbol ketahanan komunitas, dan cermin harga diri masyarakat Sunda yang tak tergoyahkan. (*)

Disclaimer

Tulisan ini merupakan artikel opini yang sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Pandangan yang disampaikan dalam artikel ini tidak mewakili pandangan atau kebijakan organisasi dan redaksi AyoBandung.id.

Arfi Pandu Dinata
Menulis tentang agama, budaya, dan kehidupan orang Sunda
Nilai artikel ini
Klik bintang untuk menilai

Berita Terkait

News Update

Ayo Biz 06 Okt 2025, 20:33 WIB

Bandros Bandung, Wisata Kota yang Menghidupkan Cerita dan Ekonomi Lokal

Bandros bukan hanya kendaraan, tapi juga simbol kreativitas dan keramahan Bandung sebagai kota wisata.
Bandros, bus wisata keliling kota yang sejak pertama kali hadir, selalu membawa cerita dan keceriaan. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Eneng Reni Nuraisyah Jamil)
Ayo Biz 06 Okt 2025, 19:18 WIB

Bandung, Futsal, dan Masa Depan Sport Tourism Nasional

Di tengah geliat komunitas dan kampus, futsal bukan sekadar olahraga, tapi sudah menjelma jadi gerakan sosial dan peluang ekonomi baru.
Di tengah geliat komunitas dan kampus, futsal bukan sekadar olahraga, tapi sudah menjelma jadi gerakan sosial dan peluang ekonomi baru. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Eneng Reni Nuraisyah Jamil)
Ayo Biz 06 Okt 2025, 18:36 WIB

Pasar Properti Bandung 2025: Celah Investasi di Tengah Lonjakan Permintaan

Kombinasi antara pertumbuhan ekonomi lokal, pembangunan infrastruktur, dan migrasi urban menjadikan Bandung sebagai magnet baru bagi bisnis hunian.
Kombinasi antara pertumbuhan ekonomi lokal, pembangunan infrastruktur, dan migrasi urban dari kota-kota sekitar menjadikan Bandung sebagai magnet baru bagi bisnis hunian. (Sumber: dok. Summarecon)
Ayo Netizen 06 Okt 2025, 18:18 WIB

Partisipasi Publik yang Hilang dalam Proses Kebijakan

Partisipasi publik adalah ruh demokrasi.
Pekerja Pariwisata Unjukrasa di Gedung Sate Tuntut Cabut Larangan Study Tour. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Irfan Al-Faritsi)
Ayo Netizen 06 Okt 2025, 17:02 WIB

10 Netizen Terpilih September 2025: Karya Berkualitas tentang Bandung

Hari ini Ayobandung.id merilis daftar 10 penulis terpilih yang memberikan kontribusi luar biasa di kanal AYO NETIZEN selama September 2025.
AYO NETIZEN merupakan kanal yang menampung tulisan para pembaca Ayobandung.id. (Sumber: Lisa from Pexels)
Ayo Netizen 06 Okt 2025, 15:42 WIB

12 Agama yang Membentuk Hidup Kita

Agama membantu kita untuk berpikir ulang tentang eksistensi.
Menerima Kitab Yang Empat Konghucu (Sumber: Dokumentasi Pribadi | Foto: Salah Seorang Kawan Penulis)
Ayo Jelajah 06 Okt 2025, 14:18 WIB

Sejarah Julukan Bandung Parijs van Java, dari Sindiran Jadi Kebanggaan

Iklan seorang pedagang Belanda tahun 1920 melahirkan julukan “Parijs van Java”. Kini, Bandung dikenal sebagai kota fesyen dan kreatif.
Persimpangan Jalan Braga dan Jalan Naripan tahun 1910-an. (Sumber: kitlv)
Ayo Jelajah 06 Okt 2025, 13:15 WIB

Hikayat Urban Legend Rumah Gurita Bandung, Geger Disebut Tempat Pemujaan Setan?

Urban legend Rumah Gurita bukan hanya cerita horor, tapi cermin budaya urban Bandung yang kaya imajinasi dan sejarah arsitektur kreatif.
Potret Rumah Gurita di kawasan Sukajadi, Kota Bandung.
Beranda 06 Okt 2025, 10:50 WIB

Jejak Panjang Harry Suliztiarto Merintis Panjat Tebing Indonesia

Sebagai seorang perupa, ia terbiasa menciptakan sesuatu dari keterbatasan. Maka ketika belum ada peralatan panjat di Indonesia, Harry membuat semuanya sendiri.
Harry Suliztiarto orang yang pertama kali memperkenalkan olah raga panjat
tebing ke Indonesia. (Sumber: IG sultan_tanah_tinggi)
Ayo Netizen 06 Okt 2025, 10:12 WIB

Pangsi, Iket, dan Ki Sunda

Inilah salah satu cara kita untuk ngamumule budaya Sunda. Jika bukan kita yang melakukannya, lalu siapa lagi?
Pesilat dari Paguron Gajah Putih Baleendah menampilkan gerakan pencak silat pada gelaran Bandung Lautan Pangsi, Selasa 11 Juli 2023. (Sumber: Ayobandung.com | Foto: Irfan Al-Faritsi)
Ayo Netizen 06 Okt 2025, 07:51 WIB

Pelukan Metodologi Pembelajaran yang tidak Bersentuhan dengan Realitas

Fakta pendidikan di Indonesia, salah satunya metodologi pembelajaran yang tidak dekat dengan realitas.
Buku Orang Miskin Dilarang Sekolah karya Eko Prasetyo Milik Perpustakaan Salman ITB (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: Dias Ashari)
Ayo Netizen 05 Okt 2025, 20:20 WIB

Suara Pembebasan dan Agama-Agama yang Jarang Diceritakan

Di balik agama-agama mapan, banyak tradisi yang lahir dari keresahan sosial dan keberanian menantang ketidakadilan.
Toko Bernama "Religion" (Sumber: Dokumentasi Pribadi | Foto: Arfi Pandu Dinata)
Ayo Netizen 05 Okt 2025, 15:01 WIB

Jain dan Sunda di Restoran 'Hijau' Bandung

Di Kota Bandung, ada restoran bernama Kehidupan Tidak Pernah Berakhir yang unik.
Salah Satu Sudut di Restoran "Kehidupan Tidak Pernah Berakhir" di Bandung (Sumber: Dokumentasi Pribadi | Foto: Arfi Pandu Dinata)
Ayo Netizen 05 Okt 2025, 13:26 WIB

Mitigasi Gempa Bumi bila Patahan Baribis Bergoyang

Memahami pentingnya mitigasi dalam segala hal, bukan sekedar apel kesiagaan.
Singkapan patahan di Desa Cibuluh, Kecamatan Ujungjaya, Kabupaten Sumedang. (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: T Bachtiar)
Ayo Netizen 05 Okt 2025, 12:00 WIB

HAM Omong Kosong di Kota Kreatif: Kasus Bandung Zoo dan Hak Masyarakat atas Ruang Publik

Bandung Zoo bukan hanya tempat rekreasi murah meriah. Ia adalah ruang edukasi lingkungan bagi sekolah, mahasiswa, dan keluarga.
Suasana Kebun Seni saat ini yang satu amparan dengan Kebun Binatang (Foto: Dokumen pribadi)
Ayo Netizen 05 Okt 2025, 11:10 WIB

Shinto, Sunda, dan Saikeirei: Sejarah Agama dan Kekuasaan

Saikeirei selama pendudukan Rezim Militer Jepang menyingkap benturan antara iman, kekuasaan, dan identitas lokal.
Sketsa Saikeirei (Sumber: Gambar Pribadi | Foto: Arfi Pandu Dinata)
Ayo Netizen 05 Okt 2025, 10:03 WIB

Berkelana sembari Membangun Rumah Belajar bersama Bookstagram Alwi

Perjalanan seorang pegiat literasi bernama Alwi Johan Yogatama.
Perjalanan Alwijo Nebeng ke NTT untuk Bangun Rumah Belajar (Sumber: Instagram | alwijo)
Ayo Jelajah 05 Okt 2025, 08:05 WIB

Sejarah Proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung, Wariskan Beban Gunungan Utang ke China

Jepang bawa Shinkansen, Tiongkok bawa pinjaman. Sejarah proyek kereta cepat Jakarta–Bandung sarat persaingan dan beban utang.
Proses pembangunan jalur Kereta Cepat Whoosh yang juga berdampak terhadap sejumlah lahan warga. (Sumber: Ayobandung | Foto: Kavin Faza)
Ayo Biz 04 Okt 2025, 17:34 WIB

Bisnis Sport Tourism di Bandung Makin Bergairah Berkat Tren Padel

Olahraga padel muncul sebagai magnet baru yang menjanjikan, bukan hanya bagi penggiat olahraga, tapi juga bagi pelaku bisnis dan investor.
Olahraga padel muncul sebagai magnet baru yang menjanjikan, bukan hanya bagi penggiat olahraga, tapi juga bagi pelaku bisnis dan investor. (Sumber: The Grand Central Court)
Ayo Biz 04 Okt 2025, 15:37 WIB

Harga Tiket Masuk dan Wahana di Skyward Project: Wisata Tematik Baru di Bandung

Berlokasi di kawasan Pasir Kaliki, Skyward Project bukan sekadar tempat bermain tapi juga ruang belajar, eksplorasi, dan nostalgia yang dirancang untuk semua kalangan.
Mengusung konsep edutainment, Skyward Project membangun narasi dari sejarah lokal yang nyaris terlupakan. (Sumber: dok. Skyward Project)