Sore yang mendung menggantung di langit. Saat tengah asyik membaca Pikiran Rakyat. Tiba-tiba istriku berseru dari dalam kamar, “Bah, pangsi jeung iket di mana?”
Ku menjawab santai, tanpa mengalihkan pandangan dari bacaan urang Jabar: “Eta di lomari!”
Perempuan yang menginjak kepala empat itu kembali menyahut, “Itu mah nu heubeul, lain nu anyar dibeli!
Setiap hari Rabu, kita menyaksikan para siswa mengenakan pakaian adat, pangsi lengkap dengan iket Sunda bagi laki-laki, kebaya bagi perempuan. Ini merujuk pada Peraturan Daerah (Perda) tentang Kebudayaan Sunda dan penggunaan bahasa ibu (bahasa Sunda) setiap hari Rabu.
Semua itu merupakan bukti nyata dari upaya menjaga, memelihara, dan melestarikan khazanah budaya Ki Sunda yang berakar pada kearifan lokal.
Pasalnya, seluruh khazanah kearifan lokal merupakan bagian tak terpisahkan dari konstruksi kebudayaan dan suatu bangsa dianggap besar apabila turut memelihara, melestarikan, dan merasa bangga atas jati dirinya.

Merawat Kearifan Lokal
Dalam pandangan Jonh Haba kearifan lokal mengacu kepada berbagai kekayaan budaya yang tumbuh dan berkembang dalam sebuah masyarakat dikenal, dipercayai dan diakui sebagai elemen-elemen penting yang mampu mempertebal kohesi sosial, diantar warga masyarakat.
Jika kita menginventarisasi definisi Haba setidaknya ada enam signifikansi, fungsi sebuah kearifan lokal bila hendak dimanfaatkan sebagai salah satu bentuk pendekatan dalam konflik; Pertama, sebagai penanda sebuah identitas. Kedua, elemen perekat (aspek kohesif) lintas warga, kepercayaan, keagamaan. Ketiga, kearifan lokal tidak memaksa (top down) tetapi sebuah unsur kultural yang ada dan hidup dalam masyarakat karena itu daya ikatnya lebih mengena dan bertahan.
Keempat, kearifan lokal memberikan kebersamaan bagi sebuah komunitas. Kelima, lokal wisdom akan mengubah pola pikir dan hubungan timbal balik individu dan kelompok, dengan meletakkannya di atas coom ground (kebudayaan yang dimiliki). Keenam, kearifan lokal dapat berfungsi mendorongnya kebersamaan, apresiasi sekaligus sebagai sebuah mekanisme bersama untuk menepis berbagai kemungkinan yang mereduksi, bahkan merusak solidaritas komunal yang dipercaya berasal dan tumbuh di atas kesadaran bersama, dari sebuah komunitas terintegrasi.
Untuk itu, keenam fungsi kearifan lokal yang diuraikan menjadikan pentingnya nilai-nilai kearifan lokal (local wisdom) sebagai sumber-sumber budaya sekaligus menjadi penanda identitas bagi kelangsungan hidup, sebuah kelompok maupun aliran kepercayaan. (Haba, 2007: 11 dan 34-35, Irwan Abdullah, Ibnu Mujib dan M. Iqbal Ahnaf, 2008:7-8)

Ngamumule Budaya Sunda
Salah satu usaha melestarikan identitas lokal itu dengan memakai iket, menggunakan kebaya dan bahasa Sunda. Bagi Mochhamad Asep Hadian Adipradja, Pimpinan Komunitas Pulasara iket menjelaskan Iket (totopong) merupakan kekayaan budaya tutup kepala paling tua di tatar Sunda.
Secara bahasa iket berasal dari kata saiket (satu ikatan), sauyunan dalam satu kesatuan (perkumpulan) hidup. Ibarat lidi, jika sehelai tidak mempunyai fungsi apa-apa, tapi bila dibentuk menjadi satu ikatan sapu, maka akan mampu membersihkan apapun. Begitu pula dengan manusia yang hidup sendiri, tentu berat menghadapi suatu masalah. Berbeda jika dilakukan bersama. Iket juga menandakan agar pemakainya tidak ingkah (lepas) dari jati diri Kasundaan.
Kepala merupakan subjek yang diikatnya, dan persoalan yang datang dari luar dan dalam dirinya merupakan objek yang harus dihadapi. Agar hidup senantiasa siap menghadapi segala situasi dan kondisi (caringcing pegeuh kancing, saringset pageuh iket).
Iket dibagi menjadi tiga bagian, yakni bahan, model (motif) dan bentuk iket. Lebih bagus bahan dan bergam motif batik dari satu iket, lebih mahal harganya. Biasanya yang punya kalangan menak, sebagai contoh motif rereng dan gamir saketi. Sebaliknya, bila iketnya polos--bagai wulung di Kampung Dukuh dan putih di Baduy Dalam--atau jika hanya ada motif batik pinggirnya semata (iket sisina), harganya lebih murah dan yang menggunakannya pun berasal dari golonga rakyat kecil. Sedangkan bentuk iket ada dua bagian, yaitu persegi dan segitiga. Sebernarnya semua bentuk iket persegi, menjadi segitiga karena dilipat atau dipotong dari bentuk asli untuk mempermudah pemakaian.
Motif dalam iket dibagi menjadi empat bagian, yaitu pager, modang, waruga, dan juru. Pager adalah motif yang ada di sekeliling iket. Modang, bentuk kotak pada bagian tengah iket. Waruga, bagian tengah iket yang polos. Serta juru merupakan motif yang ada di setiap sudut iket. Sedangkan bentuk iket ada dua bagian, yaitu persegi dan segitiga. Sebenarnya semua bentuk iket persegi, menjadi segitiga karena dilipat atau dipotong dari bentuk asli untuk mempermudah pemakaian.
Dua bentuk ini mempunyai falsafah hidup. Bentuk persegi menunjukkan hidup masagi/sempurna dalam arti pemikiran, dengan siloka opat kalima pancer atau opat pancer kalima diri urang. Pancer menunjukkan empat madhab/arah (utara, selatan, timur, barat) dan bahan yang menjadi dasar kehidupan (tanah, air, angin, api).
Bentuk persegi juga terdapat di tengah motif (modang), yang selalu berlawanan dengan bentuk iket (diagonal), untuk membedakan dengan kain lain yang sejenis. Jika iket dilipat jadi segitiga, bentuk modang ini akan lurus (horizontal). Hal ini menunjukkan kapancegan (konsistensi) pandangan hidup. Dan bentuk segitiga sendiri adalah kesamaan konsep tritangtu (ratu, rama, resi) yang harus dimaknai secara luas.
Rupa iket awalnya hanya dikenal tujuh bentuk pemakaian. Tapi, seiring dengan kreatifitas masyarakatnya, rupa iket semakin bervariasi, antaranya barangbang semplak, parékos/paros (parékos/paros nangka, jéngkol, gedang), koncér/paitén, julang ngapak, lohén, ki parana, udeng, pa tua, kolé nyangsang, porténg, dll.

Melihat fenomena yang muncul kini, iket semakin tren di kalangan anak muda. Dengan berbagai motif dan gaya pemakaian. Bisa jadi dilatarbelakangi oleh kerinduan terhadap nilai tradisional yang semakin tergerus oleh modernisasi. Atau hanya sekedar pencitraan identitas tanpa pemaknaan. Meskipun demikian, harus jadi kebanggaan bersama dengan diarahkan pertanggungjawabannya. Bahwa mengenal dan memaknai kembali kebudayaan Sunda tidak harus secara paksa. Tapi, diawali dengan kesadaran kecintaan melalui iket. (Cupumanik No 91 Tahun VIII No. 7 Pebruari 2011:32-35 dan Galamedia, 28/3/2013).
Di mata Ahmad Gibson Al-Bustomi, dosen Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Gunung Djati Bandung, persoalan iket yang gemar dipakai anak muda biarkan saja. Pasalnya, mereka tengah mencari hal-hal yang baru dan pencarian jati diri. Sedangkan jika di antara para pejabat ada yang mau memakai, maka pakailah iket, tidak usah menakan urang lain dengan aturan supaya memakai iket. Jangan-jangan jika sekarang memaki iket sering dianggap aneh ini dikarenakan kita sering dilabeli istilah "miara jeung ngamumule budaya Sunda". (Cupumanik No 91 Tahun VIII No. 7 Pebruari 2011:38).
Pangsi, iket, dan figur Ki Sunda bukan sekadar simbol, melainkan bagian penting dari upaya ngamumule (melestarikan) budaya Sunda. Ketiganya mencerminkan identitas, nilai, dan kearifan lokal yang diwariskan dari generasi ke generasi. Melalui pelestarian unsur-unsur budaya ini, kita tidak hanya menjaga warisan leluhur, justru ingin menanamkan rasa bangga terhadap jati diri sebagai urang Sunda.
Tentunya, dalam melestarikan khazanah kesundaan, perlu diberikan ruang yang lebih luas, misalnya melalui pengayaan mata kuliah Bahasa Sunda, penggunaan bahasa lokal dalam dakwah, penelitian terhadap naskah-naskah kuna yang kini keberadaannya sangat mengkhawatirkan.
Dengan demikian, keterlibatan semua unsur sangat dinantikan. Peradaban, kebudayaan suatu bangsa akan terus tumbuh dan berkembang, tetap terpelihara, lestari, dan menjadi sumber kebanggaan apabila kita semua ikut menjaga dan melestarikannya. Inilah salah satu cara kita untuk ngamumule budaya Sunda. Jika bukan kita yang melakukannya, lalu siapa lagi? (*)