Pernah kan kita jalan-jalan di kampung atau pinggiran kota, lalu entah pikiran mulai mengoceh sendiri, serasa jijik dan ingin menyingkir. Ada yang janggal, nggak srek.
Lampu warna-warni berkedip, knalpot menggelegar, body kit dicat menyala. Motor bukan lagi sekadar kendaraan. Ia cermin ekspresi diri, cara pemiliknya menegaskan keberadaan.
Sama halnya dengan pakaian yang dikenakan. Baju yang mencolok, aksesoris yang penuh, kadang KW, dan warna yang kontras. Tampak berlebihan bagi mata orang luar, tapi bagi pemiliknya itu adalah visual yang menunjukkan identitas, keberanian, bahkan otonomi atas tubuh.
Di sinilah kita melihat rakyat tidak hanya “menghias” diri, tapi menciptakan citra yang menandai eksistensi mereka, berbeda dari orang lain, dan menuntut pengakuan yang menarik.
Kadang semua ini bukan tentang mereka, tapi soal keluarga, saudara, tetangga, dan orang-orang sekitar.
Semua sangat jelas dan akrab. Tapi tetap selera kita seolah-olah yang paling estetik. Gengsi!

Ruang sekitar juga ikut berbicara. Gang sempit yang dihiasi LED, pagar rumah dicat dengan warna silau, mural kecil di tembok. Orang-orang mengambil alih ruang yang mereka punya, mengubahnya dengan sengaja menjadi profil yang nyentrik. Kita boleh saja tidak suka, tapi di matanya, ini seni yang menyenangkan. Menolak definisi populer tentang “kumuh”.
Musik dan hiburan pun sama. Di tengah jalan hidup yang berat, utang, dan rutinitas yang melelahkan, rakyat mencari kesenangan instan. Remix lagu dangdut, karaoke yang jedag-jedug, atau suara speaker yang keras, semua cocok untuk melepaskan tekanan dan beban. Berisik adalah bahasa pikiran, sarana menambah energi, dan interupsi bagi dunia yang mengekang.
Begitu juga dengan jajanan yang disajikan. Gorengan berminyak, seblak super pedas, minuman manis giung, jajanan yang dihias penuh warna. Gurih-gurih imitasi, semua tampak tidak sehat bagi pengamat luar yang banyak duit, tapi bagi warga itu adalah sensasi sensorik sosial. Setiap rasa yang menggigit, pedas, manis, atau tampilan yang mencolok adalah cara hadiah buat lidah dan mata. Kenikmatan hidup yang masih mungkin dijangkau.
Obrolan dan bercanda kesannya menjengkelkan. Bahasa kadang campur aduk, Sunda, Indonesia, Inggris. Belum lagi typo, huruf besar kecil tak jelas, emoji menumpuk, tanda baca berantakan. Kata-kata kasar vulgar bisa meluncur tiba-tiba, tapi selalu dibungkus tawa atau plesetan. Dari gosip, olok-olok, sampai komentar nyeleneh tentang kehidupan sehari-hari, semua mengalir bebas, absurd dan lucu.
Kalau diperhatikan secara menyeluruh, semua tindakan ini punya pola yang sama. Rakyat ingin tampil menonjol, ingin dikenal dan diakui, tapi sayangnya akses terhadap simbol kelas atas sangat terbatas.
Modifikasi yang hurung (menyala) adalah cara mengambil kontrol atas diri, benda, dan ruang yang mereka miliki, sekaligus meluapkan kreativitas yang tidak bisa disalurkan di ruang formal atau elit.
Ini adalah bentuk ekspresi simbolik. Mereka menandai eksistensi dan menentang norma estetika kelas atas. Meski murahan dan rendahan melanggeng jadi stigma yang melekat pada rakyat.
Kebudayaan mereka adalah tidak pernah mau dimengerti sebagai proyeksi diri, medium untuk mengekspresikan hasrat, dan keinginan yang tidak bisa dipenuhi secara langsung. Kita mestinya sadar bahwa modifikasi ini adalah strategi kala ketimpangan jelas terjadi, cara meniru simbol elite dengan sumber daya terbatas menghasilkan dunia yang nyentrik.
Apa yang bagi orang luar tampak lebay, norak, atau kampungan, bagi mereka adalah siasat kecil yang menjadikan kehidupan sehari-hari lebih bermakna, berani, dan manusiawi. Jamet tetaplah menyala!
Satu hal yang bisa kita pelajari, jangan terlalu memaksakan diri untuk berlaga jadi orang ‘ada’. Membumilah, sebab rakyat sudah lama lepas dari jerat busuk itu. (*)