Orang-Orang yang Beragama tapi Menyebalkan

Arfi Pandu Dinata
Ditulis oleh Arfi Pandu Dinata diterbitkan Kamis 09 Okt 2025, 13:32 WIB
Bayangan Orang-Orang Nongkrong di Kafe (Sumber: Dokumentasi Pribadi | Foto: Arfi Pandu Dinata)

Bayangan Orang-Orang Nongkrong di Kafe (Sumber: Dokumentasi Pribadi | Foto: Arfi Pandu Dinata)

Pasti pernah ketemu teman atau saudara yang gayanya suka ceramah. Ceramah bukan sembarang ceramah, ceramah “korektif” yang suka usil membetulkan cara hidup orang. Mungkin baik sih niatnya, tapi sikap arogansinya dan petangtang-petengtengnya si paling bener, bikin kita muak.

Kalau dia nimbrung bukan bikin kita segan, malah bikin males. Apalagi kalau wujudnya mulai jadi “polisi moral”. Setiap ucapan atau tindakan kita pasti dikritik pakai standar versi dia, padahal kita lagi enggak sengaja malah punya pandangan yang berbeda. Cuma enggak dikoar-koar aja kan ya.

Ada juga orang yang kelakuannya sendiri enggak banget deh, tapi paling sensi kalau bahas agama, kepribadian, dan cara hidup orang lain. Mereka bawel, cerewet, kadang judes, seolah-olah kebenaran berputar di dunianya aja.

Mereka pengen dimengerti sama banyak orang, tapi anehnya mereka sendiri enggak menunjukkan niat mau memahami kehidupan orang lain. Dan semua itu, entah kenapa, sering dibungkus atas nama agama.

Di keseharian, orang-orang begitu pede-nya menasihati soal alfa padahal sehari-hari ia sendiri nggak jauh beda. Bahkan sampai merugikan orang lain. Saudara yang selalu mengingatkan “kamu harus begini, harus begitu” tapi jarang memberi ruang buat kita berpikir sendiri. Buat kita mengungkapkan alasannya, buat kasih tau kalau hidup kita sama rumitnya.

Di tengah dunia yang jadi rumit ini, jujur, kadang bikin kita pengen kabur. Pengen cari orang-orang yang bijak dalam keteladanan, yang asik bisa menerima semua orang.

Bukan pada mereka yang menegaskan diri sebagai “saleh” lewat kritik, pengawasan, atau sensitivitas berlebihan terhadap orang lain. Bukan pada mereka yang menyebalkan dan kadang cuma tampil karena gengsi, yang takut dicap kurang agamis.

Religiusitas Performatif, Pseudomoralitas, dan Yang Lebih Gelap dari Itu

Indonesia dikenal sebagai negara yang religius. Nyaris setiap sudutnya menyimpan simbol keagamaan. Azan dengan bebas berkumandang lima kali sehari, parkiran dan tukang dagang penuh di depan gereja tiap minggu. Tanggal-tanggal merah tanda hari raya, festival dan arak-arakan selalu berlangsung sepanjang tahun. 

Namun, di tengah hiruk-pikuk kesalehan yang tampak itu, sebuah riset menunjukkan sesuatu yang janggal di balik layar.

Dalam tulisan berjudul “Hipokrit Indonesia? Sebuah Kajian Perbandingan Sifat Manusia Indonesia terhadap Keagamaan” yang dimuat di jurnal RISOMA (2024), Fadhilah Sabrina dan tim menelusuri fenomena yang mereka sebut sebagai kemunafikan sosial-keagamaan. Melalui wawancara dan studi pustaka, mereka menemukan empat bentuk pelanggaran moral paling menonjol di masyarakat Indonesia. Ialah korupsi, konsumsi pornografi, ketidaksopanan di media sosial, dan kecanduan judi online.

Keempat hal ini menunjukkan betapa kesalehan simbolik tidak selalu sejalan dengan moralitas hidup. Banyak orang mengaku taat dan percaya Tuhan, namun dengan enteng memberi “uang rokok” pada birokrat, menikmati tontonan 17+, menghina orang lain di kolom komentar, atau berjudi demi kesenangan sesaat.

Di sinilah para peneliti melihat wajah agama yang paradoksal. Agama yang hidup di bibir, bukan di laku.

Tim peneliti membingkainya dengan istilah “religiusitas performatif” dan “pseudomoralitas”. Religiusitas performatif merujuk pada kecenderungan menampilkan diri sebagai orang beriman demi pengakuan sosial, sementara pseudomoralitas menggambarkan perilaku seolah bermoral tanpa dasar keyakinan etis yang sungguh-sungguh. Agama di sini bukan lagi ruang refleksi batin, melainkan panggung penampilan.

Para peneliti menelusuri akar sosiologisnya. Dua hal utama yang paling berpengaruh adalah rasa tidak aman (insecure) dan pemisahan antara ajaran dengan penerapannya. Orang beragama sering takut dicap “kurang beriman,” sehingga berlomba menampilkan citra kesalehan, bukan menghidupi nilai-nilainya. Ajaran moral diketahui, tapi tidak dijalankan. Doa-doa dihafal, tapi tidak diarahkan buat mengubah watak.

Di tengah kesalehan yang tampak di permukaan ini, ada fenomena lain yang lebih gelap dan menakutkan. Ialah manipulasi agama demi keuntungan pribadi atau kelompok sendiri. Lewat tulisan "Manipulasi Religiusitas: Analisis Kritis Terhadap Fenomena Pendistorsian Nilai-Nilai Sakral Agama di Indonesia" (al-Afkar, 2023), Ali Ridho dan kawan-kawan menelusuri soal nilai-nilai sakral agama yang dieksploitasi di Indonesia, terutama melalui narasi religius-spiritual yang memikat di media online.

Baca Juga: Dialog Lintas Iman, Dialog Rakyat

Kasus-kasus yang ditemukan begitu nyata dan membuat miris. Misalnya, penyelewengan dana sosial-keagamaan yang seharusnya untuk umat, tapi digunakan untuk fasilitas mewah atau bahkan diduga mendukung aksi teror.

Ada juga penipuan berkedok syariah, seperti kasus First Travel yang menipu 63.000 jamaah umrah dengan kerugian mencapai Rp 1 triliun, atau Kampung Kurma yang memanipulasi investor dengan bungkus agama. Bahkan praktik perdukunan berbalut agama muncul, seseorang mengaku kyai dan menawarkan kesembuhan batin. Tidak ketinggalan, penyalahgunaan kotak amal untuk kepentingan terorisme, seperti kasus di Lampung yang melibatkan 800 kotak amal.

Bener-bener bikin geleng kepala. Terus kenapa semua ini bisa terjadi? Para peneliti menemukan beberapa faktor.

Pertama, karakteristik masyarakat Indonesia yang sangat religius, tapi kurang kritis terhadap narasi agama. Budaya gotong royong dan kedermawanan sering dieksploitasi melalui janji pahala dan surga. Fatalisme yang dominan membuat banyak orang mudah menerima narasi agama tanpa mempertanyakan logika atau fakta.

Kedua, faktor eksternal juga besar perannya. Agama dikomodifikasi sebagai alat bisnis, media dan tokoh publik terkadang melegitimasi praktik manipulatif, dan ketidakstabilan sosial-ekonomi membuat masyarakat rentan terhadap janji instan seperti kekayaan atau kesembuhan.

Jadi Kita Kudu Gimana?

Jadi, kalau besok-besok kita ketemu teman atau saudara yang tiba-tiba jadi “polisi moral”, atau orang-orang yang rajin menghakimi tapi kelakuannya sendiri enggak jauh beda, ingat saja ini bukan cuma soal mereka. Ini soal kita menanggapi agama, moral, dan hidup sehari-hari.

Agama kadang se-disfungsi itu jadi panduan hidup, jadi alat pamer atau panggung moral. Lucu kan ya. Belajar dari semua ini, kita bisa pilih. Hidup dengan bijak, hormati orang lain, dan tetap kritis tanpa harus menghakimi. Jadilah teladan itu kalau kita tidak menemukannya.

Pilihan ada di tangan kita.

Sekarang mari kita minggir ke tepian. Menonton drama over-religious, 24/7, Agama Mode Combo Maksimal, Hiperreligius. Mari kita membetah-betahkan diri.

Dan jujur, kadang cuma dengan mengamati ini, sambil tertawa, dan enggak ikut ribut, kita sudah lebih dewasa daripada mereka yang sibuk menghakimi. (*)

Artikel Rekomendasi Untuk Anda

Disclaimer

Tulisan ini merupakan artikel opini yang sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Pandangan yang disampaikan dalam artikel ini tidak mewakili pandangan atau kebijakan organisasi dan redaksi AyoBandung.id.

Arfi Pandu Dinata
Menulis tentang agama, budaya, dan kehidupan orang Sunda
Nilai artikel ini
Klik bintang untuk menilai

Berita Terkait

MAMPUS (Malam Minggu Puisi)

Ayo Netizen 09 Okt 2025, 11:58 WIB
MAMPUS (Malam Minggu Puisi)

News Update

Ayo Netizen 10 Okt 2025, 10:12 WIB

Jamet Tetaplah Menyala!

Lebay, tapi manusiawi. Eksplorasi dunia rakyat pinggiran sebagai ekspresi identitas dan kreativitas.
Pemandangan Rumah Rakyat dari Balik Jendela Kereta Lokal Bandung (Sumber: Dokumentasi Pribadi | Foto: Arfi Pandu Dinata)
Ayo Netizen 10 Okt 2025, 09:26 WIB

Buku dan Segala Kebermanfaatannya

Membaca adalah jendela dunia, Menulis adalah jalan untuk mengubahnya.
Membaca adalah Jendela Dunia, Menulis adalah jalan untuk mengubahnya. Dan Bangsa yang rendah dalam literasi akan selalu rendah dalam peradaban. Pramoedya Ananta Toer (Sumber: Freepik)
Beranda 10 Okt 2025, 08:17 WIB

Gerakan Warga Kota Bandung Mengubah Kebiasaan Buang Jelantah Sembarangan

Minyak yang telah berubah warna menjadi pekat itu dikenal sebagai jelantah. Banyak orang membuangnya begitu saja, tanpa menyadari dampaknya bagi tanah dan air.
Warga membuang minyak goreng bekas atau jelantah ke dalam tabung UCOllet di Gereja Katolik Hati Tak Bernoda Santa Perawan Maria, Buahbatu, Kota Bandung. (Sumber: ayobandung.id | Foto: Ikbal Tawakal)
Ayo Biz 09 Okt 2025, 18:55 WIB

Menjaga Napas Bisnis Wisata Alam Lewat Inovasi dan Strategi Berkelanjutan

Ketika industri pariwisata bergerak cepat mengikuti selera pasar, bisnis wisata alam menghadapi tantangan tak kalah kompleks untuk tetap relevan tanpa kehilangan esensi.
Ketika industri pariwisata bergerak cepat mengikuti selera pasar, bisnis wisata alam menghadapi tantangan tak kalah kompleks untuk tetap relevan tanpa kehilangan esensi. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Kavin Faza)
Ayo Netizen 09 Okt 2025, 18:31 WIB

Belajar dari Nurhayati & Subakat, Bisnis bukan Tentang Viral tapi Sustainable

Bisnis bukan sekedar viral. Apalagi jika tidak memedulikan aspek keamanan pada konsumen demi kapitalisme semata.
Belajar Bisnis dari Nurhayati & Subakat (Sumber: Screenshoot | Youtube Wardah)
Ayo Biz 09 Okt 2025, 17:19 WIB

UMKM Bangkit, Ekonomi Bergerak: Festival sebagai Motor Perubahan

Bukan sekadar penggerak sektor informal, UMKM dan pelaku ekonomi kreatif adalah pionir inovasi, penjaga warisan budaya, dan pencipta lapangan kerja yang adaptif.
Bukan sekadar penggerak sektor informal, UMKM dan pelaku ekonomi kreatif adalah pionir inovasi, penjaga warisan budaya, dan pencipta lapangan kerja yang adaptif. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Eneng Reni Nuraisyah Jamil)
Ayo Jelajah 09 Okt 2025, 17:18 WIB

Jejak Sejarah Cimahi jadi Pusat Tentara Hindia Belanda Sejak 1896

Cimahi dikenal sebagai kota tentara sejak masa kolonial Belanda. Sejak 1896, kota ini jadi pusat militer Hindia Belanda yang strategis.
Garinsun KNIL di Cimahi tahun 1920-an. (Sumber: KITLV)
Ayo Netizen 09 Okt 2025, 15:50 WIB

Betulkah Gunung Sunda Terlihat dari Pesisir Koromandel India?

Tentang Gunung Sunda yang ditutupi salju abadi dan terlihat dari Koromandel, India. Apa iya? 
Keadaan ronabumi seperti inilah yang dilihat oleh masyarakat, bukan Gunung Sunda yang menjulang  tinggi. (Sumber: Istimewa)
Ayo Biz 09 Okt 2025, 14:45 WIB

Bobotoh Unyu-unyu, Komunitas Perempuan yang Menyimpan Peluang Ekonomi di Dunia Suporter

Jadi warna lain yang menyapa di laga Persib, Bobotoh Unyu-unyu bukan sekadar pendukung tapi wajah baru dalam dinamika suporter sepak bola Indonesia.
Jadi warna lain yang menyapa di laga Persib, Bobotoh Unyu-unyu bukan sekadar pendukung tapi wajah baru dalam dinamika suporter sepak bola Indonesia. (Sumber: dok. Bobotoh Unyu-unyu)
Ayo Jelajah 09 Okt 2025, 13:40 WIB

Gaduh Kisah Vina Garut, Skandal Video Syur yang Bikin Geger

Kasus Vina Garut bukan sekadar skandal video mesum. Ia adalah kisah kelam tentang eksploitasi, kemiskinan, dan nafsu yang dijadikan komoditas.
Ilustrasi (Sumber: Freepik)
Ayo Netizen 09 Okt 2025, 13:32 WIB

Orang-Orang yang Beragama tapi Menyebalkan

Melihat praktik menjalankan agama di jalan yang merugikan orang lain.
Bayangan Orang-Orang Nongkrong di Kafe (Sumber: Dokumentasi Pribadi | Foto: Arfi Pandu Dinata)
Ayo Netizen 09 Okt 2025, 11:58 WIB

MAMPUS (Malam Minggu Puisi)

Puisi bukan hanya menciptakan kata-kata untuk bisa dibaca, namun ia bisa menjadi deskripsi, lagu, bahkan bisa masuk ke ranah yang lebih universal.
MAMPUS (Malam Minggu Puisi) (Foto: Ayu Maimun)
Ayo Netizen 09 Okt 2025, 09:55 WIB

'Nebeng Hotspot' saat Pembayaran Digital

Nebeng hotspot saat kondisi darurat memang tidak masalah. Namun jika kamu melakukan secara terus-menerus, ya jadi ribet.
Nebeng hotspot disaat kondisi darurat memang tidak masalah. Namun jika kamu melakukan secara terus-menerus dengan berharap orang lain memaklumi dan terus membantu kamu itu namanya tidak tahu diri. (Sumber: Freepik)
Ayo Netizen 09 Okt 2025, 08:43 WIB

Dialog Lintas Iman, Dialog Rakyat

Ia berpihak pada mereka yang selama ini dipinggirkan oleh negara dan institusi agama formal, pada mereka yang beragama tanpa nama.
Petani di Kebun (Sumber: Dokumentasi Pribadi | Foto: Arfi Pandu Dinata)
Ayo Netizen 08 Okt 2025, 20:03 WIB

Kolaborasi Widyaiswara, Praktisi, dan Teknologi sebagai Resep Jitu Mencetak Birokrasi Kelas Dunia

Sinergi ini mengubah pelatihan konvensional menjadi ekosistem belajar dinamis menuju birokrasi kelas dunia
Pelantikan Jabatan Fungsional Widyaiswara Ahli Pertama. (Sumber: setneg.go.id)
Ayo Netizen 08 Okt 2025, 18:33 WIB

Belajar Mengenal Obat Anti Nyeri yang Aman untuk Ibu Hamil

Ibu hamil adalah kelompok yang tidak boleh sembarang dalam memilih obat ketika terdapat keluhan.
Dalam beberapa kondisi, ibu hamil juga sering mengeluhkan sakit kepala, sakit gigi atau demam. (Sumber: Pexels/Ahmed akacha)
Ayo Netizen 08 Okt 2025, 16:15 WIB

Studi Agama di Dunia Sunda

Sunda terbuka dan plural, tempat berbagai agama hidup berdampingan.
Pojok Barang-Barang Antik di Pasar Cikapundung, Kota Bandung (Sumber: Dokumentasi Pribadi | Foto: Arfi Pandu Dinata)
Ayo Netizen 08 Okt 2025, 15:03 WIB

Oleh-Oleh dari Bengkel Rancage 'Ngarang Carita Pondok'

Acara ini merupakan rangkaian atau kelanjutan dari Pasanggiri Ngarang Carpon 2025 (Sayembara Menulis Cerpen 2025).
Pasanggiri Ngarang Carpon 2025. (Sumber: Youtube/SundaDigi)
Ayo Netizen 08 Okt 2025, 13:27 WIB

Memberikan Bantuan Cuma-Cuma malah Membentuk Mental 'Effortless'

Memberikan bantuan cuma-cuma akan membentuk mental effortless pada masyarakat.
Masyarakat mengunjungi KDM untuk meminta bantuan dan menyampaikan keluhan. (Sumber: Tiktok | Kang Dedi Mulyadi)
Ayo Jelajah 08 Okt 2025, 12:42 WIB

Sejarah Bandung Jadi Ibu Kota Hindia Belanda, Sebelum Jatuh ke Tangan Jepang

Di awal Maret 1942, Bandung berubah jadi ibu kota darurat Hindia Belanda. Tapi hanya empat hari, sebelum Jepang menutup kisah kolonial itu selamanya.
Jalan Raya Pos di Bandung tahun 1938 (Sumber: KITLV)