Pasar Seni ITB sebagai Jembatan antara Dua Wajah Bandung

Djoko Subinarto
Ditulis oleh Djoko Subinarto diterbitkan Minggu 12 Okt 2025, 14:38 WIB
Konferensi Pers Pasar Seni ITB 2025 di International Relation Office (IRO) ITB, Jalan Ganesha, Kota Bandung, Selasa 7 Oktober 2025. (Sumber: ayobandung.id| Foto: Irfan Al-Farits)

Konferensi Pers Pasar Seni ITB 2025 di International Relation Office (IRO) ITB, Jalan Ganesha, Kota Bandung, Selasa 7 Oktober 2025. (Sumber: ayobandung.id| Foto: Irfan Al-Farits)

SETELAH 11 tahun vakum, Pasar Seni ITB kembali dihelat pada Sabtu dan Minggu (18- 19/10/2025) mendatang.  

Bagi banyak orang, Pasar Seni ITB bukan sekadar acara kampus, melainkan pula sebagai peristiwa emosional yang mungkin membangkitkan rasa nostalgia. Seperti lorong waktu, Pasar Seni ITB boleh jadi membawa kembali ingatan masa lalu tentang Bandung yang kreatif, terbuka, dan penuh semangat eksperimentasi.

Sepanjang sejarah penyelenggaraannya, Pasar Seni ITB dikenal sebagai ruang pertemuan lintas batas. Mahasiswa, seniman jalanan, keluarga, hingga masyarakat luas bisa saling berkumpul dan berinteraksi di satu halaman yang sama. 

Kini, ketika Bandung, bagi sebagian orang, lebih identik dengan kota kuliner dan fesyen, Pasar Seni ITB, yang kembali hadir, seperti pengingat yang menegaskan bahwa Bandung seharusnya bukan hanya tempat belanja, makan-makan atau berfoto, melainkan kota yang punya jiwa budaya.

Kota bisa lupa

Setiap kota punya ingatannya sendiri. Dan, seperti manusia, kota juga bisa lupa. Ia lupa pada akar sejarahnya dan lupa pada nilai-nilai yang membentuk identitasnya.

Realitanya, Bandung, yang dulu dikenal karena semangat intelektual dan seni, kini sering tenggelam di balik promosi pariwisata konsumtif -- pariwisata yang menjual citra visual kota tanpa banyak memberi ruang bagi kehidupan seni dan kebudayaan lokal.

Sosiolog Prancis, Maurice Halbwachs, pernah menulis bahwa memori kolektif tidak hidup di kepala individu, tapi di ruang sosial tempat orang berinteraksi. Nah, Pasar Seni ITB bisa dilihat sebagai ruang semacam itu. Ia menjadi tempat warga Bandung, maupun luar Bandung, berbagi ingatan, membangun makna bersama, dan menghidupkan kembali sejarah kota Bandung.

Dalam konteks itu, Pasar Seni ITB bukan lagi sekadar acara kampus ITB, melainkan peristiwa sosial. Ia menghadirkan kembali ruang publik yang kini semakin langka, sebuah ruang di mana orang bisa datang bukan untuk membeli sesuatu, tapi untuk mengalami sesuatu.

Bandung sendiri punya tradisi seni yang panjang. Dari era kolonial, kota ini sudah menjadi laboratorium eksperimentasi, baik di bidang arsitektur, desain, maupun musik. Dari studio kecil di Dago hingga gang-gang sempit di Cicadas, misalnya, imajinasi warga Bandung pernah tumbuh liar dan subur.

Namun, seiring urbanisasi dan komersialisasi kota, ruang-ruang bagi kreativitas sering kali terdesak. Banyak galeri kecil tutup, ruang alternatif hilang, dan seniman muda kesulitan mencari tempat untuk berkarya.

Pada titik inilah, Pasar Seni ITB menemukan relevansinya kembali. Ia bukan hanya sebatas ajang nostalgia, tapi juga bentuk perlawanan lembut terhadap kota yang makin didominasi beton, iklan, dan kesibukan konsumtif.

Ketika ribuan orang datang ke kampus ITB untuk menikmati beragam karya seni, sebenarnya mereka sedang mempraktikkan sesuatu yang lebih besar, yakni menghidupkan kembali memori kolektif Bandung sebagai kota seni.

Kreativitas tanpa hierarki

Konferensi Pers Pasar Seni ITB 2025 di International Relation Office (IRO) ITB, Jalan Ganesha, Kota Bandung, Selasa 7 Oktober 2025. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Irfan Al-Faritsi)
Konferensi Pers Pasar Seni ITB 2025 di International Relation Office (IRO) ITB, Jalan Ganesha, Kota Bandung, Selasa 7 Oktober 2025. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Irfan Al-Faritsi)

Bisa dibilang, kekuatan Pasar Seni ITB terletak pada keberagamannya. Tak ada batas tegas antara karya “tinggi” dan “populer.”

Di satu sisi, ada lukisan eksperimental, di sisi lain ada sablon kaos, instalasi, dan musik jalanan. Semua mendapat tempat, semua mendapat ruang. Dari sinilah Pasar Seni menegaskan diri sebagai perayaan kreativitas tanpa hierarki, tempat di mana gagasan bisa tumbuh bebas tanpa harus tunduk pada label seni murni atau komersial.

Semangat keterbukaan itu sejatinya bukan hal baru bagi Bandung. Kota ini pernah dikenal dengan kultur “ngoprek,” yaitu budaya otodidak yang gemar bereksperimen tanpa takut gagal. Spirit itu dulu hidup subur di kampus, di studio musik, hingga di bengkel-bengkel kreatif di sudut kota.

Pasar Seni, dengan atmosfernya yang cair dan egaliter, menjadi simbol kembalinya semangat itu -- sebuah ingatan kolektif bahwa kreativitas Bandung lahir dari keberanian mencoba hal baru.

Ketika sebuah kota kehilangan ruang untuk bereksperimen, ia akan kehilangan jiwanya. Kreativitas butuh risiko, dan risiko hanya mungkin tumbuh dalam ruang yang memberi kebebasan. Pasar Seni ITB hadir untuk mengingatkan bahwa kebebasan berekspresi bukan kemewahan, melainkan kebutuhan dasar bagi kota yang ingin tetap hidup dan bernafas dalam ruang kebudayaan.

Lebih jauh, Pasar Seni ITB juga memperlihatkan bahwa keberagaman bukan sekadar variasi bentuk, tetapi fondasi dari daya tahan budaya. Dalam perbedaan ide, teknik, dan latar belakang seniman, Bandung diharapkan menemukan kembali denyutnya sebagai kota yang tumbuh dari keberanian mencipta, bukan dari keseragaman.

Di tengah arus urbanisasi dan komersialisasi, Pasar Seni ITB menjadi oase kecil yang menegaskan bahwa seni adalah cara paling manusiawi untuk menjaga kewarasan kota.

Dalam banyak hal, Bandung kiwari seolah sedang berjuang melawan dirinya sendiri. Di satu sisi, kota ini ingin tampil modern, rapi, dan berkelas. Di sisi lain, ia hidup dari spontanitas, keunikan, dan energi warga yang tak bisa diseragamkan.

Maka, Pasar Seni ITB bisa menjadi jembatan antara dua wajah Bandung itu. Ia bisa memperlihatkan bahwa modernitas dan tradisi, keteraturan dan spontanitas, bisa berdampingan dalam satu nafas.

Para pengunjung sendiri yang datang ke Pasar Seni ITB bukan hanya melihat karya, tapi juga mungkin melihat diri mereka sendiri. Mereka melihat Bandung yang dulu dan mungkin Bandung yang mereka rindukan.

Dalam arus urbanisasi cepat, kota sering kehilangan kontinuitas sejarahnya. Bangunan diganti, jalan diperlebar, ruang hijau dikorbankan. Tapi ingatan warga bisa tetap hidup jika ada ruang yang memeliharanya.

Pasar Seni ITB bisa menjadi semacam “museum hidup” bagi Bandung. Tentu, ini bukan museum dalam arti benda mati, melainkan museum yang berdenyut, di mana karya, ide, dan interaksi menjadi bagian dari pengalaman nyata.

Menjadi latihan sosial

Bagi mahasiswa ITB, acara Pasar Seni dapat menjadi sarana latihan sosial. Mereka belajar bahwa seni tidak hidup dalam ruang steril, tapi dalam denyut masyarakat yang beragam. Banyak seniman besar Indonesia berakar dari pengalaman seperti ini. Mereka tidak hanya belajar teknik, tapi juga merasakan hubungan antara seni, masyarakat, dan ruang kota.

Dalam konteks Bandung yang kini menghadapi rundungan masalah kemacetan, polusi, dan gentrifikasi, Pasar Seni ITB menawarkan alternatif cara memandang kota. Ia mengingatkan bahwa keindahan tidak harus datang dari gedung tinggi, tapi dari interaksi manusia yang tulus.

Tentu, tidak semua orang yang menyambangi Pasar Seni ITB untuk benar-benar mengerti dan memahami seni. Banyak yang datang cuma untuk bersenang-senang, ketemuan dengan teman, berfoto, atau sekadar menikmati suasana kehebohan dan keramaiannya. Tapi, justru di situlah kekuatannya, di mana event ini menjadi inklusif.

Di Pasar Seni ITB, warga Bandung dan non-Bandung bisa merasa menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar. Mereka bukan sekadar penonton, tapi juga pelaku dari memori kolektif kota.

Mungkin di masa depan, mereka akan mengingat kembali momen ini sebagai titik balik, saat Bandung mulai menegaskan kembali dirinya sebagai kota seni, bukan hanya kota wisata konsumtif.

Sudah barang tentu, Pemerintah Kota Bandung dapat belajar dari semangat Pasar Seni ITB, bahwa menghidupkan kota tidak selalu berarti membangun infrastruktur besar, melainkan pula menciptakan ruang interaksi sosial yang bermakna.

Kebijakan publik yang memberi ruang bagi seniman, komunitas, dan warga untuk berkreasi justru dapat memperkuat identitas Bandung sebagai kota budaya yang hidup dan berpikir.

Dalam makna yang lebih dalam, Pasar Seni ITB bukan semata tentang karya dan estetika, melainkan juga tentang harapan, bahwa kota masih bisa menjadi rumah bagi kepekaan, imajinasi, dan kemanusiaan yang tumbuh dari warganya sendiri.

Dalam dunia yang makin cepat dan serba instan, acara seperti Pasar Seni ITB bisa memberi jeda bagi kita. Ia mengajak orang melambat sejenak, melihat warna, mendengar suara, dan merasakan keberadaan orang lain.

Karena pada akhirnya, yang membuat sebuah kota indah bukan cuma gedung-gedungnya yang megah dan mentereng, tapi hubungan antarmanusianya. Dan seni senantias punya cara untuk merajut hubungan itu kembali.

Pasar Seni ITB, dengan segala keberagaman, keunikan, dan kegembiraannya, sesungguhnya sedang membantu Bandung mengingat ihwal siapa dirinya -- sebuah kota yang lahir dari imajinasi, tumbuh dari eksperimen, dan hidup dari seni. (*)

Disclaimer

Tulisan ini merupakan artikel opini yang sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Pandangan yang disampaikan dalam artikel ini tidak mewakili pandangan atau kebijakan organisasi dan redaksi AyoBandung.id.

Djoko Subinarto
Penulis lepas, blogger
Nilai artikel ini
Klik bintang untuk menilai

Berita Terkait

News Update

Ayo Netizen 12 Okt 2025, 20:04 WIB

Canda, Hantu, dan 'Jorang' sebagai Makanan Pokok Orang Sunda

Menentang budaya wibawa yang selalu menjaga batas bercanda, menjaga nalar rasional, dan menegakkan “adab” sensual yang hipokrit.
Camilan di Atas Karpet, Ketika Orang Sunda Kumpul dan Ngobrol (Sumber: Dokumentasi Pribadi | Foto: Arfi Pandu Dinata)
Ayo Netizen 12 Okt 2025, 14:38 WIB

Pasar Seni ITB sebagai Jembatan antara Dua Wajah Bandung

Pasar Seni ITB bukan hanya sebatas ajang nostalgia, tapi juga bentuk perlawanan lembut,
Konferensi Pers Pasar Seni ITB 2025 di International Relation Office (IRO) ITB, Jalan Ganesha, Kota Bandung, Selasa 7 Oktober 2025. (Sumber: ayobandung.id| Foto: Irfan Al-Farits)
Ayo Netizen 12 Okt 2025, 11:06 WIB

Polemik Tanggal Lahir Persib dan Krisis Kepercayaan Publik terhadap Akademisi

Bagaimana jika sesuatu yang selama ini kita yakini sebagai kebenaran ternyata dianggap keliru oleh sebagian orang?
Pengukuhan Hari Jadi Persib Bandung pada akhir 2023 lalu. (Sumber: dok. Persib)
Ayo Jelajah 12 Okt 2025, 10:58 WIB

Jejak Sejarah Bandung Dijuluki Kota Kembang, Warisan Kongres Gula 1899

Tak cuma karena bunga, julukan Kota Kembang dipoles dengan kisah Kongres Gula 1899 dan para mojang Bandung yang memesona kaum meneer.
Mojang Belanda di Bandung tahun 1900-an. (Sumber: KITLV)
Ayo Netizen 12 Okt 2025, 10:32 WIB

Int(Earth)Religious Dialogue

Ide tentang melibatkan alam sebagai subjek aktif dalam dialog lintas agama-iman.
Pohon dan Langit Biru (Sumber: Dokumentasi Pribadi | Foto: Arfi Pandu Dinata)
Ayo Netizen 12 Okt 2025, 09:07 WIB

Mispersepsi Penggunaan Obat Amoxillin di Masyarakat

Amoxillin merupakan jenis antibiotik yang penggunaannya tidak pernah tepat guna dan sering menimbulkan resistensi antibiotik.
Amoxillin menjadi salah satu jenis antibiotik yang penggunannya sering mengundang miss persepsi di masyarakat. (Sumber: Freepik)
Ayo Biz 11 Okt 2025, 19:27 WIB

Bandung dan Denyut Motorcross Indonesia yang Kian Menggeliat

Di balik gemerlap urban dan sejuknya pegunungan, Bandung menyimpan potensi besar sebagai pusat olahraga motorcross di Indonesia.
Di balik gemerlap urban dan sejuknya pegunungan, Bandung menyimpan potensi besar sebagai pusat olahraga motorcross di Indonesia. (Sumber: Ist)
Ayo Biz 11 Okt 2025, 15:05 WIB

Ketika Mendaki Menjadi Gerakan Ekonomi dan Pelestarian: Menyatukan Langkah Menuju Pariwisata yang Berkelanjutan

Di balik geliat pariwisata, muncul tantangan besar, bagaimana menjaga kelestarian lingkungan sekaligus memberdayakan ekonomi lokal secara berkelanjutan?
Digagas oleh Mahameru, Inisiatif seperti Hiking Fest 2025 menjadi ilustrasi bagaimana kegiatan wisata bisa dirancang untuk membawa dampak positif. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Eneng Reni Nuraisyah Jamil)
Ayo Biz 11 Okt 2025, 13:45 WIB

Jejak Panjang Perjalanan Bisnis Opey: Membangun Dua Brand Lokal Ikonik Skaters dan Mahameru

Muchammad Thofan atau akrab disapa Opey telah menorehkan jejak panjang sebagai founder sekaligus owner dua brand yang kini menjadi ikon yakni Skaters dan Mahameru.
Muchammad Thofan atau akrab disapa Opey telah menorehkan jejak panjang sebagai founder sekaligus owner dua brand yang kini menjadi ikon yakni Skaters dan Mahameru. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Eneng Reni Nuraisyah Jamil)
Ayo Netizen 10 Okt 2025, 19:28 WIB

Program Makan Bergizi Gratis dan Ujian Tata Kelola Birokrasi

Insiden keracunan massal pelajar di Jawa Barat mengguncang kepercayaan publik terhadap program makan bergizi gratis.
Program Makan Bergizi Gratis (MBG). (Sumber: setneg.go.id)
Ayo Netizen 10 Okt 2025, 18:38 WIB

Bandung dalam Fiksi Sejarah

Boleh saja apabila tulisan ini diterima dengan rasa skeptis atau curiga. Karena pandangan dan pembacaan saya sangat mungkin terhalang bias selera.
Buku Melukis Jalan Astana. (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: Yogi Esa Sukma Nugraha)
Ayo Netizen 10 Okt 2025, 16:04 WIB

Mengamankan Momentum Akselerasi Manajemen Talenta ASN

Momentum akselerasi manajemen talenta ASN menjadi tonggak penting transformasi birokrasi Indonesia.
Aparatur Sipil Negara (ASN) sebagai roda penggerak jalannya pemerintahan diharuskan untuk memiliki kompetensi dan kinerja yang optimal. (Sumber: babelprov.go.id)
Ayo Biz 10 Okt 2025, 15:56 WIB

Energi Hijau dan Oligarki: Dilema Transisi di Negeri Kaya Sumber Daya

Banyak daerah di Indonesia memiliki potensi energi terbarukan seperti air, angin, dan biomassa, namun terhambat oleh birokrasi dan minimnya insentif fiskal.
Pengamat Kebijakan Publik Universitas Padjadjaran, Yogi Suprayogi menyoroti lanskap kebijakan energi nasional. (Sumber: dok. IWEB)
Ayo Biz 10 Okt 2025, 15:36 WIB

Membongkar Potensi Energi Terbarukan di Jawa Barat: Antara Regulasi dan Kesadaran Sosial

Dengan lanskap bergunung-gunung, aliran sungai yang deras, dan sumber daya biomassa melimpah, Jawa Barat memiliki peluang untuk menjadi pionir dalam kemandirian energi bersih.
Guru Besar Fakultas Teknik Mesin dan Dirgantara ITB, Tri Yuswidjajanto Zaenuri Mengupas potensi Jawa Barat sebagai provinsi dengan potensi besar dalam pengembangan energi terbarukan.
Ayo Biz 10 Okt 2025, 15:21 WIB

Setahun Pemerintahan Baru: Mampukah Indonesia Mandiri Energi?

Setahun setelah pemerintahan baru berjalan, isu kemandirian energi nasional kembali menjadi sorotan.
Diskusi bertajuk “Setahun Pemerintahan Baru, Bagaimana Kemandirian Energi Nasional?” yang diselenggarakan oleh Ikatan Wartawan Ekonomi Bisnis (IWEB) di Bandung, Jumat (10/10/2025). (Sumber: dok. IWEB)
Ayo Netizen 10 Okt 2025, 14:51 WIB

Islam Pemerintah: Menggeliat Berpotensi Mencederai Keragaman Umat

Inilah Islam Pemerintah selalu menjadi bahasa pengakuan tentang simbol muslim “sah” yang tidak radikal-teroris, tapi juga tidak liberal.
Berbagai Pakaian Muslimah, Pakaian Warga yang Jadi Penumpang Angkot (Sumber: Dokumentasi Pribadi | Foto: Arfi Pandu Dinata)
Ayo Netizen 10 Okt 2025, 13:45 WIB

Stop Membandingkan karena Setiap Anak Punya Keunikan

Film Taare Zameen Par menjadi kritikan pedas bagi dunia pendidikan dan guru yang sering mengistimewakan dan memprioritaskan anak tertentu.
Setiap anak itu istimewa dan memiliki bakat unik (Sumber: Wikipedia)
Ayo Jelajah 10 Okt 2025, 11:44 WIB

Jejak Pembunuhan Sadis Sisca Yofie, Tragedi Brutal yang Gegerkan Bandung

Kasus pembunuhan Sisca Yofie pada 2013 mengguncang publik karena kekejamannya. Dua pelaku menyeret dan membacok korban hingga tewas di Bandung.
Ilustrasi. (Sumber: Freepik)
Ayo Netizen 10 Okt 2025, 11:30 WIB

Sapoe Sarebu ala Dedi Mulyadi, Gotong-royong atau Kebijakan Publik yang Perlu Pengawasan?

Gerakan Sapoe Sarebu mengajak warga menyisihkan seribu rupiah sehari untuk membantu sesama.
Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Irfan Al-Faritsi)
Ayo Netizen 10 Okt 2025, 10:12 WIB

Jamet Tetaplah Menyala!

Lebay, tapi manusiawi. Eksplorasi dunia rakyat pinggiran sebagai ekspresi identitas dan kreativitas.
Pemandangan Rumah Rakyat dari Balik Jendela Kereta Lokal Bandung (Sumber: Dokumentasi Pribadi | Foto: Arfi Pandu Dinata)