AYOBANDUNG.ID - Pada awal Maret 1942, Kota Bandung yang sejuk tiba-tiba berubah menjadi pusat kekuasaan terakhir Hindia Belanda. Di tengah kepanikan dan arus pengungsian, para pejabat tinggi kolonial meninggalkan Batavia yang saat itu sudah nyaris dikepung oleh pasukan Jepang dan berbondong menuju kota di kaki Tangkuban Parahu itu. Sejak itulah, Bandung menjadi ibu kota de facto Hindia Belanda, meski hanya dalam hitungan hari sebelum kekuasaan kolonial itu lenyap selamanya.
Tak banyak orang tahu, bahwa sebelum menyerah tanpa syarat kepada Jepang di Kalijati, Subang, pemerintah Hindia Belanda sempat menjadikan Bandung sebagai pusat administrasi darurat. Di sinilah Gubernur Jenderal Tjarda van Starkenborgh Stachouwer dan Panglima KNIL, Letnan Jenderal Hein ter Poorten, menandatangani akhir dari sebuah imperium yang sudah berabad-abad berkuasa di tanah nusantara.
Bandung, yang awalnya hanya sebuah kampung di pedalaman Priangan, telah disiapkan sejak lama untuk peran besar semacam itu. Bukan kebetulan jika kota ini pada akhirnya menjadi âibu kota singkatâ Hindia Belanda. Sejarahnya panjang, penuh ambisi, dan aroma modernitas yang khas kolonial.
Dari Kampung di Pedalaman ke Kota Impian Kolonial
Peneliti di Balai Arkeologi Bandung Iwan Hermawan dalam risalahnya Bandung Sebagai Ibukota Hindia Belanda mengurai pembangunan Bandung bermula dari ambisi besar Herman Willem Daendels, Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang terkenal dengan proyek Jalan Raya Pos (De Grote Postweg) yang membentang dari Anyer sampai Panarukan. Pada 25 Mei 1810, Daendels memerintahkan Bupati Bandung, R.A. Wiranatakusumah II, untuk memindahkan pusat kabupaten dari Krapyak (Dayeuhkolot) ke dekat jalur strategis jalan pos. Perintah itu sederhana, tapi dampaknya besar: lahirlah kota Bandung yang modern.
Pemindahan itu bukan hanya administratif. Bupati Wiranatakusumah II membangun pendopo di tepi Sungai Cikapundung, membuka lahan, dan menata ulang kampung di sekitarnya. Pada 25 September 1810, Bandung resmi menjadi ibu kota kabupaten yang baru. Sejak itu, arah sejarah kota ini berubah. Dari sebuah daerah pedalaman, Bandung pelan-pelan tumbuh menjadi pusat pemerintahan dan perdagangan di Priangan.
Baca Juga: Sejarah Bandung dari Paradise in Exile Sampai jadi Kota Impian Daendels
Periode abad ke-19 menjadi masa pertumbuhan penting. Setelah Inggris angkat kaki dari Jawa, Belanda kembali menata kekuasaannya. Priangan, dengan tanah subur dan produksi kopi yang melimpah, menjadi incaran. Pada 1819, Dr. Andries de Wilde mengusulkan agar Bandung dijadikan ibu kota Karesidenan Priangan menggantikan Cianjur. Butuh waktu hampir empat dekade sebelum usulan itu terlaksana: baru pada 1864, Residen Priangan Van der Moore resmi memindahkan pusat pemerintahan ke Bandung.
Kota itu makin bersolek. Jalan-jalan lurus, taman-taman tertata, dan bangunan Eropa berdiri di tengah hawa pegunungan yang sejuk. Tahun 1906, statusnya naik menjadi Gemeente (kotapraja), dan dua dekade kemudian menjadi Stadsgemeente, memberi otonomi luas bagi pemerintah kota. Bandung pun menjadi simbol kemajuan di pedalaman Jawaâsebuah kota kolonial dengan cita rasa modernitas Eropa.
Kota yang Disiapkan Jadi Ibu Kota Hindia Belanda
Gagasan menjadikan Bandung sebagai ibu kota Hindia Belanda sebenarnya sudah lama muncul, bahkan sebelum perang dunia pecah. Sekitar tahun 1916â1921, Gubernur Jenderal J.P. Graaf van Limburg Stirum mulai serius memikirkan pemindahan pusat pemerintahan dari Batavia yang lembab dan penuh malaria ke Bandung yang berhawa sejuk.
Gagasan itu mendapat dorongan dari seorang ahli kesehatan kota bernama H.F. Tillema. Ia meneliti berbagai kota pantai di Jawa dan menyimpulkan bahwa kota pelabuhan seperti Batavia, Semarang, dan Surabaya tidak sehat untuk menjadi pusat pemerintahan. Tillema menulis bahwa Bandung adalah alternatif ideal: tanahnya tinggi, udaranya bersih, dan jauh dari ancaman penyakit tropis.
Usul Tillema bukan sekadar wacana. Ia didukung oleh Prof. Ir. J. Klopper, rektor Technische Hoogeschool te Bandoeng (kini ITB). Pemerintah kolonial menindaklanjuti gagasan itu dengan mulai memindahkan berbagai kantor penting dari Batavia ke Bandung. Sejak 1920-an, deretan instansi pemerintah mulai berdatangan: Jawatan Kereta Api Negara (Staatsspoorwegen), Dinas Pos, Telepon, dan Telegraf (PTT), serta Departemen Pekerjaan Umum (BOW).

Simbol puncaknya adalah pembangunan Gedung Sate. Dirancang arsitek J. Gerber dan dibangun dengan biaya enam juta gulden, gedung megah ini dimaksudkan sebagai pusat pemerintahan Hindia Belanda yang baru. Dari sinilah, Bandung mulai dijuluki de tweede hoofdstadâibu kota kedua Hindia Belanda.
Baca Juga: Sejarah Bandung, Kota Impian Koloni Eropa yang Dijegal Gubernur Jenderal
Selain itu, Belanda juga membangun berbagai fasilitas pelengkap: Museum Geologi (1929), Institut Pasteur, Museum Pos dan Telepon, serta lapangan terbang Andir yang mulai beroperasi pada 1925. Di lereng Gunung Malabar, stasiun radio raksasa dibangun dan mulai menghubungkan Bandung dengan Belanda lewat gelombang radio pada 1923. Semua itu menjadi penanda bahwa Bandung memang disiapkan untuk sesuatu yang lebih besar: menjadi pusat pemerintahan kolonial.
Tak heran jika ketika situasi perang makin genting, semua mata kembali tertuju ke kota ini.
Beberapa Hari Kala Bandung Jadi Ibu Kota Hindia Belanda
Perang Pasifik yang meledak akhir 1941 membawa kekacauan besar. Jepang melaju cepat, merebut Filipina, Malaya, hingga Kalimantan. Di Jawa, pasukan Sekutu yang terdiri dari Belanda, Inggris, Australia, dan Amerika tergabung dalam ABDA Command, tapi tak mampu menahan serangan udara dan pendaratan pasukan Jepang.
Pada akhir Februari 1942, Batavia (Jakarta) berada di ambang kehancuran. Pemerintah kolonial Hindia Belanda memutuskan untuk memindahkan pusat kekuasaan ke Bandung, yang dianggap lebih aman karena berada di pedalaman dan terlindungi pegunungan. Maka, rombongan pejabat tinggi kolonial bergerak cepat ke selatan.
Pada wal Maret 1942, Bandung resmi menjadi tempat bernaung terakhir pemerintahan Hindia Belanda. Gedung-gedung pemerintahan di sekitar Gedung Sate dan Balai Kota menjadi pusat komando darurat. Gubernur Jenderal Tjarda van Starkenborgh Stachouwer menetap di Bandung, didampingi Letnan Jenderal Ter Poorten yang memimpin pasukan KNIL.
Sayangnya harapan itu tak bertahan lama. Pasukan Jepang yang sudah menguasai Batavia bergerak cepat ke arah selatan. Pertahanan Belanda di Subang dan Purwakarta runtuh. Hanya beberapa hari setelah Bandung menjadi âibu kotaâ, semuanya berakhir.
Pada 8 Maret 1942, di Kalijati, Subang, di sebuah lapangan terbang yang dikuasai Jepang, perjanjian penyerahan tanpa syarat ditandatangani. Belanda menyerah. Gubernur Jenderal Tjarda dan Ter Poorten terpaksa tunduk kepada Jenderal Hitoshi Imamura, panglima pasukan Jepang.
Baca Juga: Sejarah Pertempuran Perlintasan Ciater Subang, Gerbang Terakhir Pertahanan Sekutu di Bandung
Dua hari kemudian, 10 Maret 1942, di Balai Kota Bandung, dilakukan upacara resmi penyerahan kekuasaan Hindia Belanda kepada Jepang. Dari titik itulah, Bandung bukan lagi ibu kota kolonialâia berubah menjadi kota pendudukan.
Ironisnya, justru di kota yang disiapkan untuk masa depan Hindia Belanda itu, imperium mereka berakhir. Setelah penyerahan, para pejabat tinggi Belanda ditawan dan dikirim ke Formosa (Taiwan), lalu ke Manchuria. Gedung-gedung megah yang dulu menjadi simbol kebanggaan kolonial pun diambil alih tentara Jepang.
Hampir Jadi Pusat Dunia Kolonial
Sedikit yang tahu bahwa sebelum semua itu terjadi, Bandung bahkan sempat dipertimbangkan untuk menjadi tempat pelarian kerajaan Belanda. Pada Mei 1940, ketika Nazi Jerman menduduki Belanda dan Ratu Wilhelmina mengungsi ke London, muncul gagasan agar pusat kerajaan dipindahkan ke Hindia Belandaâlebih tepatnya ke Bandung.
Usulan itu datang dari De Geer, salah satu anggota kabinet Belanda. Alasannya sederhana: Hindia Belanda masih aman, dan Bandung memiliki iklim terbaik di Asia tropis untuk pusat pemerintahan Eropa. Namun Ratu Wilhelmina menolak. Ia menilai berpindah ke daerah tropis dalam masa perang terlalu berisiko, dan secara politik, keberadaannya di Londonâdekat dengan sekutu Inggrisâlebih strategis.
Baca Juga: Sejarah Lyceum Kristen Bandung, Sekolah Kolonial yang jadi Saksi Bisu Gemerlap Dago
Keputusan itu mungkin menyelamatkan wajah monarki Belanda, tapi membuat sejarah kolonial di Asia berakhir lebih cepat. Jika saja usul itu diterima, mungkin Bandung bukan hanya jadi ibu kota Hindia Belanda beberapa hari, tapi juga ibu kota kerajaan Belanda di pengasingan.
Bandung hari ini menyimpan jejak-jejak masa itu dalam diam. Gedung Sate masih berdiri tegak, Balai Kota tetap menjadi pusat pemerintahan daerah, dan di banyak sudut kota, arsitektur kolonial seolah masih berbisik tentang masa ketika Bandung sempat menjadi jantung kekuasaan kolonial.
Hanya beberapa hari memang. Tapi dalam sejarah, beberapa hari itu berarti banyak: saat Bandung menjadi saksi akhir kekuasaan Belanda di tanah jajahan yang dulu mereka sebut Nederlandsch-Indië.