Sejarah Bandung Jadi Ibu Kota Hindia Belanda, Sebelum Jatuh ke Tangan Jepang

Hengky Sulaksono
Ditulis oleh Hengky Sulaksono diterbitkan Rabu 08 Okt 2025, 12:42 WIB
Jalan Raya Pos di Bandung tahun 1938 (Sumber: KITLV)

Jalan Raya Pos di Bandung tahun 1938 (Sumber: KITLV)

AYOBANDUNG.ID - Pada awal Maret 1942, Kota Bandung yang sejuk tiba-tiba berubah menjadi pusat kekuasaan terakhir Hindia Belanda. Di tengah kepanikan dan arus pengungsian, para pejabat tinggi kolonial meninggalkan Batavia yang saat itu sudah nyaris dikepung oleh pasukan Jepang dan berbondong menuju kota di kaki Tangkuban Parahu itu. Sejak itulah, Bandung menjadi ibu kota de facto Hindia Belanda, meski hanya dalam hitungan hari sebelum kekuasaan kolonial itu lenyap selamanya.

Tak banyak orang tahu, bahwa sebelum menyerah tanpa syarat kepada Jepang di Kalijati, Subang, pemerintah Hindia Belanda sempat menjadikan Bandung sebagai pusat administrasi darurat. Di sinilah Gubernur Jenderal Tjarda van Starkenborgh Stachouwer dan Panglima KNIL, Letnan Jenderal Hein ter Poorten, menandatangani akhir dari sebuah imperium yang sudah berabad-abad berkuasa di tanah nusantara.

Bandung, yang awalnya hanya sebuah kampung di pedalaman Priangan, telah disiapkan sejak lama untuk peran besar semacam itu. Bukan kebetulan jika kota ini pada akhirnya menjadi “ibu kota singkat” Hindia Belanda. Sejarahnya panjang, penuh ambisi, dan aroma modernitas yang khas kolonial.

Dari Kampung di Pedalaman ke Kota Impian Kolonial

Peneliti di Balai Arkeologi Bandung Iwan Hermawan dalam risalahnya Bandung Sebagai Ibukota Hindia Belanda mengurai pembangunan Bandung bermula dari ambisi besar Herman Willem Daendels, Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang terkenal dengan proyek Jalan Raya Pos (De Grote Postweg) yang membentang dari Anyer sampai Panarukan. Pada 25 Mei 1810, Daendels memerintahkan Bupati Bandung, R.A. Wiranatakusumah II, untuk memindahkan pusat kabupaten dari Krapyak (Dayeuhkolot) ke dekat jalur strategis jalan pos. Perintah itu sederhana, tapi dampaknya besar: lahirlah kota Bandung yang modern.

Pemindahan itu bukan hanya administratif. Bupati Wiranatakusumah II membangun pendopo di tepi Sungai Cikapundung, membuka lahan, dan menata ulang kampung di sekitarnya. Pada 25 September 1810, Bandung resmi menjadi ibu kota kabupaten yang baru. Sejak itu, arah sejarah kota ini berubah. Dari sebuah daerah pedalaman, Bandung pelan-pelan tumbuh menjadi pusat pemerintahan dan perdagangan di Priangan.

Baca Juga: Sejarah Bandung dari Paradise in Exile Sampai jadi Kota Impian Daendels

Periode abad ke-19 menjadi masa pertumbuhan penting. Setelah Inggris angkat kaki dari Jawa, Belanda kembali menata kekuasaannya. Priangan, dengan tanah subur dan produksi kopi yang melimpah, menjadi incaran. Pada 1819, Dr. Andries de Wilde mengusulkan agar Bandung dijadikan ibu kota Karesidenan Priangan menggantikan Cianjur. Butuh waktu hampir empat dekade sebelum usulan itu terlaksana: baru pada 1864, Residen Priangan Van der Moore resmi memindahkan pusat pemerintahan ke Bandung.

Kota itu makin bersolek. Jalan-jalan lurus, taman-taman tertata, dan bangunan Eropa berdiri di tengah hawa pegunungan yang sejuk. Tahun 1906, statusnya naik menjadi Gemeente (kotapraja), dan dua dekade kemudian menjadi Stadsgemeente, memberi otonomi luas bagi pemerintah kota. Bandung pun menjadi simbol kemajuan di pedalaman Jawa—sebuah kota kolonial dengan cita rasa modernitas Eropa.

Kota yang Disiapkan Jadi Ibu Kota Hindia Belanda

Gagasan menjadikan Bandung sebagai ibu kota Hindia Belanda sebenarnya sudah lama muncul, bahkan sebelum perang dunia pecah. Sekitar tahun 1916–1921, Gubernur Jenderal J.P. Graaf van Limburg Stirum mulai serius memikirkan pemindahan pusat pemerintahan dari Batavia yang lembab dan penuh malaria ke Bandung yang berhawa sejuk.

Gagasan itu mendapat dorongan dari seorang ahli kesehatan kota bernama H.F. Tillema. Ia meneliti berbagai kota pantai di Jawa dan menyimpulkan bahwa kota pelabuhan seperti Batavia, Semarang, dan Surabaya tidak sehat untuk menjadi pusat pemerintahan. Tillema menulis bahwa Bandung adalah alternatif ideal: tanahnya tinggi, udaranya bersih, dan jauh dari ancaman penyakit tropis.

Usul Tillema bukan sekadar wacana. Ia didukung oleh Prof. Ir. J. Klopper, rektor Technische Hoogeschool te Bandoeng (kini ITB). Pemerintah kolonial menindaklanjuti gagasan itu dengan mulai memindahkan berbagai kantor penting dari Batavia ke Bandung. Sejak 1920-an, deretan instansi pemerintah mulai berdatangan: Jawatan Kereta Api Negara (Staatsspoorwegen), Dinas Pos, Telepon, dan Telegraf (PTT), serta Departemen Pekerjaan Umum (BOW).

Kantor pusat Staatsspoorwegen Nederlandsch-Indië, di Bandung, tahun 1930.
Kantor pusat Staatsspoorwegen Nederlandsch-Indië, di Bandung, tahun 1930.

Simbol puncaknya adalah pembangunan Gedung Sate. Dirancang arsitek J. Gerber dan dibangun dengan biaya enam juta gulden, gedung megah ini dimaksudkan sebagai pusat pemerintahan Hindia Belanda yang baru. Dari sinilah, Bandung mulai dijuluki de tweede hoofdstad—ibu kota kedua Hindia Belanda.

Baca Juga: Sejarah Bandung, Kota Impian Koloni Eropa yang Dijegal Gubernur Jenderal

Selain itu, Belanda juga membangun berbagai fasilitas pelengkap: Museum Geologi (1929), Institut Pasteur, Museum Pos dan Telepon, serta lapangan terbang Andir yang mulai beroperasi pada 1925. Di lereng Gunung Malabar, stasiun radio raksasa dibangun dan mulai menghubungkan Bandung dengan Belanda lewat gelombang radio pada 1923. Semua itu menjadi penanda bahwa Bandung memang disiapkan untuk sesuatu yang lebih besar: menjadi pusat pemerintahan kolonial.

Tak heran jika ketika situasi perang makin genting, semua mata kembali tertuju ke kota ini.

Beberapa Hari Kala Bandung Jadi Ibu Kota Hindia Belanda

Perang Pasifik yang meledak akhir 1941 membawa kekacauan besar. Jepang melaju cepat, merebut Filipina, Malaya, hingga Kalimantan. Di Jawa, pasukan Sekutu yang terdiri dari Belanda, Inggris, Australia, dan Amerika tergabung dalam ABDA Command, tapi tak mampu menahan serangan udara dan pendaratan pasukan Jepang.

Pada akhir Februari 1942, Batavia (Jakarta) berada di ambang kehancuran. Pemerintah kolonial Hindia Belanda memutuskan untuk memindahkan pusat kekuasaan ke Bandung, yang dianggap lebih aman karena berada di pedalaman dan terlindungi pegunungan. Maka, rombongan pejabat tinggi kolonial bergerak cepat ke selatan.

Pada wal Maret 1942, Bandung resmi menjadi tempat bernaung terakhir pemerintahan Hindia Belanda. Gedung-gedung pemerintahan di sekitar Gedung Sate dan Balai Kota menjadi pusat komando darurat. Gubernur Jenderal Tjarda van Starkenborgh Stachouwer menetap di Bandung, didampingi Letnan Jenderal Ter Poorten yang memimpin pasukan KNIL.

Sayangnya harapan itu tak bertahan lama. Pasukan Jepang yang sudah menguasai Batavia bergerak cepat ke arah selatan. Pertahanan Belanda di Subang dan Purwakarta runtuh. Hanya beberapa hari setelah Bandung menjadi “ibu kota”, semuanya berakhir.

Pada 8 Maret 1942, di Kalijati, Subang, di sebuah lapangan terbang yang dikuasai Jepang, perjanjian penyerahan tanpa syarat ditandatangani. Belanda menyerah. Gubernur Jenderal Tjarda dan Ter Poorten terpaksa tunduk kepada Jenderal Hitoshi Imamura, panglima pasukan Jepang.

Baca Juga: Sejarah Pertempuran Perlintasan Ciater Subang, Gerbang Terakhir Pertahanan Sekutu di Bandung

Dua hari kemudian, 10 Maret 1942, di Balai Kota Bandung, dilakukan upacara resmi penyerahan kekuasaan Hindia Belanda kepada Jepang. Dari titik itulah, Bandung bukan lagi ibu kota kolonial—ia berubah menjadi kota pendudukan.

Ironisnya, justru di kota yang disiapkan untuk masa depan Hindia Belanda itu, imperium mereka berakhir. Setelah penyerahan, para pejabat tinggi Belanda ditawan dan dikirim ke Formosa (Taiwan), lalu ke Manchuria. Gedung-gedung megah yang dulu menjadi simbol kebanggaan kolonial pun diambil alih tentara Jepang.

Hampir Jadi Pusat Dunia Kolonial

Sedikit yang tahu bahwa sebelum semua itu terjadi, Bandung bahkan sempat dipertimbangkan untuk menjadi tempat pelarian kerajaan Belanda. Pada Mei 1940, ketika Nazi Jerman menduduki Belanda dan Ratu Wilhelmina mengungsi ke London, muncul gagasan agar pusat kerajaan dipindahkan ke Hindia Belanda—lebih tepatnya ke Bandung.

Usulan itu datang dari De Geer, salah satu anggota kabinet Belanda. Alasannya sederhana: Hindia Belanda masih aman, dan Bandung memiliki iklim terbaik di Asia tropis untuk pusat pemerintahan Eropa. Namun Ratu Wilhelmina menolak. Ia menilai berpindah ke daerah tropis dalam masa perang terlalu berisiko, dan secara politik, keberadaannya di London—dekat dengan sekutu Inggris—lebih strategis.

Baca Juga: Sejarah Lyceum Kristen Bandung, Sekolah Kolonial yang jadi Saksi Bisu Gemerlap Dago

Keputusan itu mungkin menyelamatkan wajah monarki Belanda, tapi membuat sejarah kolonial di Asia berakhir lebih cepat. Jika saja usul itu diterima, mungkin Bandung bukan hanya jadi ibu kota Hindia Belanda beberapa hari, tapi juga ibu kota kerajaan Belanda di pengasingan.

Bandung hari ini menyimpan jejak-jejak masa itu dalam diam. Gedung Sate masih berdiri tegak, Balai Kota tetap menjadi pusat pemerintahan daerah, dan di banyak sudut kota, arsitektur kolonial seolah masih berbisik tentang masa ketika Bandung sempat menjadi jantung kekuasaan kolonial.

Hanya beberapa hari memang. Tapi dalam sejarah, beberapa hari itu berarti banyak: saat Bandung menjadi saksi akhir kekuasaan Belanda di tanah jajahan yang dulu mereka sebut Nederlandsch-Indië.

Artikel Rekomendasi Untuk Anda

Nilai artikel ini
Klik bintang untuk menilai

News Update

Ayo Netizen 11 Des 2025, 20:00 WIB

Emas dari Bulu Tangkis Beregu Putra Sea Games 2025, Bungkam Kesombongan Malaysia

Alwi Farhan dkk. berhasil membungkam “kesombongan” Tim Malaysia dengan angka 3-0.
Alwi Farhan dkk. berhasil membungkam “kesombongan” Tim Malaysia dengan angka 3-0. (Sumber: Dok. PBSI)
Beranda 11 Des 2025, 18:37 WIB

Media Ditantang Lebih Berpihak pada Rakyat: Tanggapan Aktivis Atas Hasil Riset CMCI Unpad

Di tengah situasi dinamika sosial-politik, ia menilai media memegang peran penting untuk menguatkan suara warga,baik yang berada di ruang besar maupun komunitas kecil yang jarang mendapat sorotan.
Ayang dari Dago Melawan menanggapi hasil riset CMCI Unpad bersama peneliti Detta Rahmawan dan moderator Preciosa Alnashava Janitra. (Sumber: CMCI Unpad)
Ayo Netizen 11 Des 2025, 18:01 WIB

Nelangsa Bojongsoang Setiap Musim Hujan: Siapa Harus Bertanggung Jawab?

Banjir yang melanda Bojongsoang memicu kemacetan lalu lintas yang kian menggila. Lalu, pihak mana yang semestinya memikul tanggung jawab?
Kemacetan lalu lintas terjadi di Bojongsoang akibat banjir (04/12/2025). (Sumber: Khalidullah As Syauqi)
Ayo Netizen 11 Des 2025, 17:23 WIB

Hidup Lebih Bersih, Sungai Lebih Bernyawa

Kegiatan ini mengangkat isu berapa pentingnya menjaga kebersihan lingkungan dan sungai agar terhindar dari bencana alam serta penyakit.
Mahasiswa Universitas Sunan Gunung Djati Bandung anggota Komunitas River Cleanup. (Foto: Rizki Hidayat)
Ayo Netizen 11 Des 2025, 16:57 WIB

Sistem Pengelolaan Limbah di Bandung yang Berantakan: Sebaiknya Prioritaskan Langkah Inovatif Sungguhan

Sistem pengelolaan limbah di Bandung yang Berantakan, saran saya sebagai warga Bandung untuk M. Farhan prioritaskan langkah inovatif sungguhan.
Sistem pengelolaan limbah di Bandung yang Berantakan, saran saya sebagai warga Bandung untuk M. Farhan prioritaskan langkah inovatif sungguhan.
Ayo Netizen 11 Des 2025, 16:32 WIB

Masyarakat Kota Bandung Berharap Wali Kota Tindak Tegas Penanganan Kasus Begal

Maraknya tindak kriminalitas seperti begal di Kota Bandung meningkatkan keresahan warga untuk beaktivitas di luar.
Suasana jalan yang sepi pada malam hari di daerah Jalan Inhoftank, Kota Bandung. (Sumber: Nayla Aurelia) (Foto: Nayla Aurelia)
Ayo Netizen 11 Des 2025, 16:13 WIB

Gunung Api Palasari Purba

Adanya lava, batuan beku yang berasal dari letusan efusif Gunung Palasari Purba, meninggalkan jejak letusan yang sangat megah dan mengagumkan.
Lava raksasa kawasan Cibanteng – Panyandaan, Desa Mandalamekar, Kecamatan Cimenya. (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: Taufanny Nugraha)
Ayo Netizen 11 Des 2025, 15:39 WIB

Pengunjung Mengeluhkan Teras Cihampelas yang Semakin Kumuh

Mulai dari lantai yang tak terawat, fasilitas rusak, hingga area Teras Cihampelas yang tampak sepi dan tidak terurus.
Suasana Teras Cihampelas Menampakan suasana kosong pada Senin (1/12/2025). (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: Rafli Ashiddieq)
Ayo Jelajah 11 Des 2025, 15:36 WIB

Sejarah Kawasan Tamansari, Kampung Lama yang Tumbuh di Balik Taman Kolonial Bandung

Sejarah Tamansari Bandung sebagai kampung agraris yang tumbuh diam-diam di balik taman kolonial, dari desa adat hingga kampung kota padat.
Suasana pemukiman di kawasan Tamansari, Kota Bandung. (Sumber: Ayobandung | Foto: Irfan al Faritsi)
Ayo Netizen 11 Des 2025, 14:48 WIB

Mengeja Bandung Utama, Merawat Keragaman Agama

Menjaga dan memperkuat “benih-benih toleransi” baik melalui edukasi, kebijakan yang inklusif, maupun upaya nyata di tingkat komunitas, pemerintah.
Gang Ruhana, Kelurahan Paledang, berdiri Kampung Toleransi, ikon wisata religi yang diresmikan Pemerintah Kota Bandung. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Eneng Reni Nuraisyah Jamil)
Ayo Netizen 11 Des 2025, 13:37 WIB

Ini Titik-Titik Kemacetan di Kota Bandung menurut Wali Kota Farhan: Mana Tata Kelolanya?

Bandung didapuk sebagai “Kota Nomor 1 Termacet di Indonesia 2024” oleh TomTom Traffic Index.
Kemacetan di Jalan Dr. Djundjunan, Kota Bandung. (Sumber: Ayobandung.com | Foto: Irfan Al-Faritsi)
Ayo Netizen 11 Des 2025, 12:30 WIB

Saparua Ramai tapi Minim Penataan: Wali Kota Bandung Diharap Lebih Peduli

Taman Saparua selalu ramai, namun penataan dan fasilitasnya masih kurang memadai.
Track lari Saparua yang tampak teduh dari samping namun area sekitarnya masih perlu perbaikan dan penataan. Jumat siang, 28 November 2025. (Sumber: Dokumentasi penulis | Foto: Najmi Zahra A)
Ayo Jelajah 11 Des 2025, 11:01 WIB

Gunung Tangkubanparahu, Ikon Wisata Bandung Sejak Zaman Kolonial

Sejarah Tangkubanparahu sebagai destinasi klasik Bandung sejak masa kolonial, lengkap dengan rujukan Gids Bandoeng dan kisah perjalanan para pelancong Eropa.
Gunung Tangkubanparahu tahun 1910-an. (Sumber: Wikimedia)
Ayo Netizen 11 Des 2025, 10:48 WIB

Kenyaman Wisata Bandung Terancam oleh Pengamen Agresif

Warga mendesak Wali Kota M. Farhan bertindak tegas dan memberi solusi agar kota kembali aman dan nyaman.
Keramaian di kawasan wisata malam Bandung memperlihatkan interaksi tidak nyaman antara pengunjung dan pengamen memaksa, 02/12/2025. (Foto: Hakim)
Ayo Netizen 11 Des 2025, 10:25 WIB

Kenyamanan Taman Badak di Bandung Masih Menyisakan Kritikan

Taman Badak yang berpusat di tengah-tengah kota Bandung adalah salah satu tempat favorit di kalangan pengunjung.
Taman Badak Kota Bandung, Jawa Barat, Jumat 28 November 2025. (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: Wan Maulida Kusuma Syazci)
Ayo Netizen 11 Des 2025, 10:03 WIB

Lumpia Basah Katadji, Nikmatnya Sampai Suapan Terakhir

Kuliner viral di Banjaran, Kabupaten Bandung, yakni Lumpia Basah Katadji.
Seporsi lumpia basah katadji dengan bumbu dan topping yang melimpah. (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: Tantia Nurwina)
Ayo Netizen 11 Des 2025, 09:32 WIB

Mengapa Summarecon Bandung Kini Ramai Dijadikan Tempat Olahraga Warga?

Summarecon Bandung kini ramai dijadikan tempat olahraga warga, khususnya pada pagi dan sore hari.
Aktivitas olahraga di kawasan Summarecon Bandung terlihat meningkat terutama pada akhir pekan. (Dokumentasi Penulis)
Beranda 11 Des 2025, 05:16 WIB

Generation Girl Bandung Kikis Kesenjangan Gender di Bidang Teknologi

Mematahkan anggapan bahwa belajar STEM itu sulit. Selain itu, anggapan perempuan hanya bisa mengeksplorasi bidang non-tech adalah keliru.
Exploring Healthy Innovation at Nutrihub, salah satu aktivitas dari Generation Girl Bandung. (Sumber: Generation Girl Bandung)
Ayo Netizen 10 Des 2025, 21:09 WIB

Minat Baca Warga Bandung Masih Rendah meski Fasilitas Mencukupi, Catatan untuk Wali Kota

Menyoroti masalah rendahnya minat baca di Bandung meski fasilitas memadai.
Sebuah Street Library tampak lengang dengan buku-buku yang mulai berdebu di samping Gedung Merdeka, Jalan Asia-Afrika, Bandung, Jumat (05/12/2025). (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: Adellia Ramadhani)
Ayo Netizen 10 Des 2025, 20:16 WIB

Bubur Mang Amir, Bubur Ayam Termurah se-Dunia Seporsi Cuma Rp5.000

Pengakuan Mang Amir, ia sudah berjualan bubur ayama selama 25 tahun.
Pengakuan Mang Amir, penjual bubur seporsi Rp5.000, ia sudah berjualan bubur ayama selama 25 tahun. (Sumber: Dokumentasi Penulis)