Sejarah Lyceum Kristen Bandung, Sekolah Kolonial yang jadi Saksi Bisu Gemerlap Dago

Hengky Sulaksono
Ditulis oleh Hengky Sulaksono diterbitkan Jumat 01 Agu 2025, 14:19 WIB
Foto siswa Het Christelijk Lyceum Bandung di Dago 1951/52 (Sumber: javapost.nl)

Foto siswa Het Christelijk Lyceum Bandung di Dago 1951/52 (Sumber: javapost.nl)

AYOBANDUNG.ID - Di sebuah tikungan jalan Dago yang dahulu sunyi dan dinaungi rimbun pohon, berdiri sebuah bangunan bergaya kolonial yang pernah menjadi saksi bisu geliat pendidikan zaman Hindia Belanda. Het Christelijk Lyceum (HCL), demikian namanya. Sekolah ini bukan hanya tempat anak-anak Belanda dan kalangan elite bumiputera menimba ilmu, melainkan juga sebuah institusi yang menyimpan jejak panjang peradaban kolonial yang mencoba memahat modernitas di jantung Priangan.

Lyceum Kristen Bandung menyimpan kisah tentang bagaimana sistem pendidikan kolonial dibentuk bukan hanya untuk mencerdaskan, tapi juga untuk membentuk kelas. Di sinilah, di ruang-ruang kelas beraroma kayu tua, sejarah pendidikan modern mulai diguratkan di atas papan tulis, dengan kapur putih yang kini telah lenyap, tapi memorinya tetap membayang.

Peneliti Frans Ari Prasetyo dalam Bandung dan Pemaknaan Dago dalam Sejarah: Masa Lalu, Masa Kini yang terbit di Jurnal Lembar Sejarah 2019 mencatat bangunan Lyceum awalnya merupakan vila milik seorang keturunan Tionghoa bermarga Tan yang berdiri sejak tahun 1910. Lokasinya berada di kawasan Dago, yang kala itu mulai tumbuh menjadi kawasan permukiman elite Eropa setelah dibukanya Jalan Dago dan pembangunan reservoir air di Bukit Dago oleh pemerintah kota.

Pada tahun 1927, vila ini beralih fungsi menjadi sekolah menengah dengan nama Het Christelijk Lyceum. Nama “Lyceum” sendiri berasal dari lembaga pendidikan yang didirikan oleh Aristoteles di Athena pada 335 SM. Pendirian sekolah ini mencerminkan proyek kolonial untuk membangun sistem pendidikan modern bagi kalangan atas Eropa dan Indo-Eropa di Hindia Belanda.

Bangunannya kemudian direnovasi dua kali. Renovasi pertama dilakukan pada 1939 oleh arsitek J.S. Duyvis. Renovasi kedua sekaligus perluasan ke utara dikerjakan pada 1941 oleh A.W. Gmelig Meijling. Sejak saat itu, Lyceum menjadi salah satu institusi pendidikan menengah paling prestisius di Bandung.

Tapi, bangunan ini sempat tidak berfungsi sebagai sekolah pada masa pendudukan Jepang. Lyceum Dago pernah didiami Jepang pada 30 September 1945, dan dijadikan kamp penampungan bagi perempuan dan anak-anak yang sakit. "Lalu, pada Januari 1946 ketika Bandung Utara menjadi kawasan Sekutu, bangunan ini dijadikan rumah sakit," tulis Frans Ari.

Setelah Indonesia merdeka, Het Christelijk Lyceum tetap digunakan sebagai sekolah hingga kemudian dinasionalisasi pada tahun 1958. Aset sekolah ini dibagi menjadi beberapa sekolah baru: SMAK Dago, SMAN 1 Bandung, SMA Nasional, dan SMA Pembangunan. Namun hanya SMAK Dago yang terus menggunakan bangunan Lyceum sampai gedung itu dirubuhkan.

Lyceum tak hanya mencetak pelajar cerdas dari kalangan elite, tapi juga menjadi pusat pertunjukan musik di Bandung. Aula utamanya dirancang dengan standar akustik tinggi, membuatnya cocok digunakan untuk konser musik klasik dan jazz kelas dunia. Bahkan, fungsi ini tetap dijaga hingga dekade 1980-an.

“Setelah era kolonial berakhir, Lyceum ini dipergunakan untuk sekolah, tapi aulanya tetap dijadikan tempat konser musik yang prestisius dan berkelas karena desain interiornya memang diciptakan untuk standar konser musik level internasional,” tulis Frans Ari.

Sejumlah musisi besar pernah tampil di sana, di antaranya Elfa Secioria dan Bubi Chen. Aula itu menjadi ikon budaya yang sulit digantikan. Sampai akhir hayatnya, bangunan ini menyimpan memori musikal kota Bandung, yang tak lagi bisa jumpai dalam bentuk ruang fisik. Menurut Frans Ari, Lyceum mencapai puncak kejayaannya pada dekade 1960–1970-an.

Baca Juga: Sejarah Dago, Hutan Bandung yang Berubah jadi Kawasan Elit Belanda Era Kolonial

"Pada era tahun 1970 sampai 1980-an, Dago mulai menjadi pusat aktivitas anak muda dan kegiatan malam hari. Mulai dari acara malam takbiran menjelang hari raya Idulfitri sampai acara balapan liar. Jalan yang lurus di Dago, yang biasa digunakan sekitar 2,5 km antara perempatan Pasar Simpang Dago sampai perempatan Cikapayang, sering dijadikan arena balapan motor dan mobil, atau menjadi jalan wajib konvoi klub kendaraan bermotor pada saat itu."

Pangeran Bernhard Leopold Frederik Everhard Julius Coert Karel Godfried Pieter zur Lippe-Biesterfeld dari Belanda menghadiri reuni 50 tahun Het Christelijk Lyceum di Bandung pada 1976. (Sumber: Wikimedia)
Pangeran Bernhard Leopold Frederik Everhard Julius Coert Karel Godfried Pieter zur Lippe-Biesterfeld dari Belanda menghadiri reuni 50 tahun Het Christelijk Lyceum di Bandung pada 1976. (Sumber: Wikimedia)

Setelah memasuki dekade 2000-an, aula dan bangunan Lyceum mulai terbengkalai. Pada 2011, sebagian besar bangunan sudah rusak dan tidak dipergunakan lagi. Hanya beberapa ruang kelas yang masih digunakan oleh SMAK Dago. Konflik aset yang muncul sejak 1980-an antara Yayasan Badan Perguruan Sekolah Menengah Kristen Jawa Barat dan Perkumpulan Lyceum Kristen ikut memperkeruh kondisi.

Kasus tersebut berujung ke meja hijau. Dalam keputusan Mahkamah Agung tanggal 30 Juni 1994, dinyatakan bahwa Perkumpulan Lyceum Kristen (PLK) bukan kelanjutan dari Het Christelijk Lyceum karena telah dibubarkan oleh UU No. 50 Prp Tahun 1960. Maka, gugatan atas aset tersebut tidak dapat diterima. Meski begitu, konflik internal dan birokrasi tetap membayangi nasib gedung Lyceum.

PLK kembali naik panggung. Pada 4 November 2024, mereka resmi mendaftarkan gugatan ke PTUN Bandung dengan nomor perkara 164/G/2024/PTUN.BDG. Butuh waktu lima bulan lebih sampai akhirnya, pada 17 April 2025, hakim menggedok palu: PLK menang. Tapi pertarungan belum selesai. Pemerintah Provinsi Jawa Barat, yang jadi pihak tergugat, langsung mengajukan banding.

Baca Juga: Salah Hari Ulang Tahun, Kota Bandung jadi Korban Prank Kolonial Terpanjang

Lyceum dalam Kenangan Para Siswa

Terselip di balik sejarahnya yang penuh aral melintang, sekolah Kristen ini menyimpan banyak cerita, lebih dari sekadar kurikulum, nilai ulangan, atau bel peralihan jam pelajaran. Di balik tembok-temboknya, generasi demi generasi menimba ilmu, dan kenangan.

Sebuah memoar di majalah bertema Indonesia Belanda, Moesson, memuat kepingan kenangan salah satu alumni bernama Katie Heyting. Dalam catatannya, Katie masuk Lyceum saat umurnya masih tiga belas tahun. Tahun itu 1939, sebelum perang dunia meletus di Eropa. Ia pindahan dari Surabaya, sudah menyelesaikan kelas enam dan tujuh, dan lulus ujian masuk HBS.

Setiap hari, kegiatan sekolah dimulai dengan doa pagi dan ditutup dengan doa sore. “Setiap kelas punya ruang sendiri, dan para guru yang berpindah-pindah,” tulis Katie. “Ada sekitar 25 murid per kelas, laki-laki dan perempuan. Sebagian besar murid adalah orang Eropa, tapi juga ada beberapa murid Jawa. Semua bergaul satu sama lain.”

Pelajarannya lengkap dan serius: bahasa Belanda, Jerman, Inggris, Prancis, ditambah matematika, geografi, sejarah, fisika, kimia, dan tentu saja olahraga. Tapi yang paling mencolok dari sekolah ini adalah semangat etnosentris yang masih lekat. “Namun, semuanya berpusat pada Belanda, dan sebenarnya sangat sedikit perhatian terhadap Hindia. Tidak di pelajaran sejarah, tidak juga di geografi. Kini jika saya melihat ke belakang, itu terasa sangat aneh.”

Di luar jam pelajaran, ada juga kegiatan hiburan. Berenang di Tjihampelas atau kolam renang ’t Centrum jadi kesenangan murid-murid kala itu. Tapi jangan bayangkan ada dansa-dansi. “Pesta sekolah diadakan sekitar dua kali setahun, tapi tidak ada dansa karena ini sekolah Kristen,” kenang Katie. Tapi ia masih ingat betul sebuah peristiwa yang kemudian jadi legenda kecil di sekolah itu: “Saya ingat betul penampilan dari Wim Kan dan Corry Vonk di sekolah kami.” Dua komedian dari Belanda itu sedang tur di Hindia Belanda, tapi tidak bisa pulang karena perang revolusi telah meletus.

Kelas tahun 1941 (Sumber: javapost.nl)
Kelas tahun 1941 (Sumber: javapost.nl)

Ketika Jepang datang dan gedung sekolah disita, pelajaran tak serta-merta berhenti. Kegiatan belajar masih berlanjut, berpindah dari gedung sekolah Katolik ke rumah-rumah guru. Katie akhirnya mendapat sertifikat bahwa ia telah menyelesaikan kelas tiga. Setelah itu, ia belajar di kamp interniran, kadang dari guru, kadang dari teman sekelas.

Catatan kenangan lain muncul di laman Chinese Indonesia Heritage Center. memoer itu dibagikan sosok bernama Hans Go. Bagi Hans Go, dunia Lyceum punya dinamika yang lebih rumit. Ia adalah satu-satunya murid keturunan Tionghoa di kelas tahun 1941. “Di bawah pemerintahan Belanda, masyarakat diklasifikasikan sebagai Eropa, Timur Asing, dan Pribumi. Saya termasuk dalam kelompok Timur Asing,” tulisnya. “Sebagai satu-satunya Timur Asing di kelas, saya tetap saja mengalami pergumulan identitas. Saya tidak tahu pasti di mana saya termasuk.”

Ketika Jepang datang, pendidikan terhenti. Tapi setelah Jepang kalah, Lyceum kembali jadi harapan. Murid diberi kesempatan mempercepat menyelesaikan HBS--setara SMP dan SMA--hanya dalam tiga tahun. Hans Go memilih masuk langsung ke tahun ketiga karena selama masa pendudukan, ia mencuri waktu untuk belajar diam-diam. Usahanya berhasil. Ia lulus bersama sejumlah teman Tionghoa lain. Bertahun-tahun kemudian, saat menerima foto kelas dari Australia, ia penasaran apa kabar teman-temannya.

Ia menelusuri jejak mereka, dan ternyata banyak dari mereka berhasil. Ada Lioe King Djoe, pemilik perusahaan teknik listrik besar. Harry Kho jadi direktur Coca-Cola Jakarta dan pemilik perusahaan makanan bayi terbesar. Lionel Tan jadi pengacara di Shell, dan Hans Go sendiri menjadi CEO perusahaan petrokimia di New York.

“Saya mungkin contoh dari ‘Manusia Marginal’, seseorang yang hanya sedikit ikut serta dalam kehidupan dua kelompok budaya tanpa merasa menjadi bagian dari salah satunya,” tulisnya kemudian. Tapi justru dari posisi marginal itu, ia dan teman-temannya membangun karier yang tak bisa diremehkan. Dunia meminggirkan mereka, dan mereka membalasnya dengan menjadi luar biasa.

Tapi Lyceum bukan hanya tempat untuk pelajaran dan status sosial. Ia juga panggung kecil bagi kenangan yang lembut ala romansa remaja yang ringan dan jujur. Seorang alumni yang menulis dengan inisial HES di blog Indisch4ever mengenang hari-harinya di Lyceum setelah perang.

Baca Juga: Sejarah Vila Isola Bandung, Istana Kolonial Basis Pasukan Sekutu hingga jadi Gedung Rektorat UPI

Ia masuk kelas 1A, kemudian lanjut ke 2B dan 3A. Sekolah dipadatkan menjadi sistem akselerasi. Kurikulum HBS yang diringkas membuatnya harus meguras otak. “Saya harus belajar keras,” tulisnya. Tapi bukan hanya pelajaran yang ia kenang. Nama-nama teman sekelas mulai pudar, tapi dua wajah perempuan masih melekat dalam benaknya.

“Dua nama gadis yang membekas di ingatan saya: Yvonne dengan rambut hitam keriting, dan Sylvia yang ramping. Ia duduk di depan saya, dan saya kadang-kadang memainkan rambutnya. Betapa manisnya saat itu!”

Artikel Rekomendasi Untuk Anda

Nilai artikel ini
Klik bintang untuk menilai

News Update

Ayo Netizen 06 Nov 2025, 12:09 WIB

Perjuangan Seorang Santri Menebarkan Ilmu Melalui Kitab Kuning

Di balik kesederhanaan seorang santri di Madrasah Aliyah Sukamiskin, tersimpan kisah yang begitu hangat dan menginspirasi.
Defan, seorang pemuda asal Bandung yang menjadikan kitab kuning bukan sekadar bacaan, tetapi jalan untuk menempa karakter dan memperkuat keyakinan hidupnya. (Sumber: Dokumentasi Penulis)
Ayo Netizen 06 Nov 2025, 09:12 WIB

Mimpi UMKM Lokal di Panggung Livin’ Fest 2025

Livin’ Fest 2025 jadi panggung bagi UMKM muda menunjukkan karya dan cerita mereka.
Antusias Pengunjung Livin' Market 2025 (Sumber: Dokumentasi Penulis| Foto: Firqotu Naajiyah)
Ayo Netizen 06 Nov 2025, 07:42 WIB

Perspektif Lain Sejarah Indonesia lewat Buku Dalih Pembunuhan Massal Karya Jhon Roosa

Buku Pembunuhan Massal Karya Jhon Roosa merupakan buku yang menyajikan perspektif lain dari sejarah yang selama ini kita yakini.
Buku Dalih Pembunuhan Massal Karya Jhon Roosa (Sumber: Instagram | Katalisbook)
Ayo Netizen 05 Nov 2025, 20:12 WIB

Keringat yang Bercerita, Potret Gaya Hidup Sehat di Perkotaan

Melalui feature ini pembaca diajak menyelami suasana pagi yang penuh semangat di tengah denyut kehidupan masyarakat perkotaan.
Ilustrasi olahraga lari. (Sumber: Pexels/Ketut Subiyanto)
Mayantara 05 Nov 2025, 19:29 WIB

Budaya Scrolling: Cermin dari Logika Zaman

Di banyak ruang sunyi hari ini, kita melihat pemandangan yang sama, seseorang menunduk menatap layar, menggulir tanpa henti.
Kita menyebutnya scrolling, para peneliti menyebutnya sebagai ritual baru zaman digital. (Sumber: Pexels/cottonbro studio)
Ayo Biz 05 Nov 2025, 18:38 WIB

Deteksi Dini Anak Berkebutuhan Khusus, antara Keresahan Orang Tua dan Tantangan Penerimaan

Selain faktor akses, stigma sosial menjadi penghalang besar. Tidak sedikit orang tua yang enggan memeriksakan anak karena takut dicap atau dikucilkan.
Ilustrasi. Deteksi dini anak berkebutuhan khusus masih menjadi isu mendesak di Indonesia. (Sumber: Freepik)
Ayo Netizen 05 Nov 2025, 17:21 WIB

10 Penulis Terpilih Oktober 2025: Kritik Tajam untuk Bandung yang 'Tidak Hijau'

Inilah 10 penulis terbaik yang berhasil menorehkan karya-karya berkualitas di kanal AYO NETIZEN sepanjang Oktober 2025.
Banjir di Kampung Bojong Asih, Kecamatan Dayeuhkolot, Kabupaten Bandung, pada Minggu, 9 Maret 2025. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Kavin Faza)
Ayo Biz 05 Nov 2025, 14:48 WIB

Cibunut Berwarna Ceminan Semangat Ekonomi Kreatif dan Pemberdayaan Pemuda di Gang-gang Kota Bandung

Kampung Cibunut menjelma menjadi simbol pemberdayaan ekonomi wilayah dan pemuda melalui semangat ekonomi kreatif yang tumbuh dari akar komunitas.
Kampung Cibunut menjelma menjadi simbol pemberdayaan ekonomi wilayah dan pemuda melalui semangat ekonomi kreatif yang tumbuh dari akar komunitas. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Eneng Reni Nuraisyah Jamil)
Ayo Jelajah 05 Nov 2025, 12:49 WIB

Hikayat Pelarian Eddy Tansil, Koruptor Legendaris Paling Diburu di Indonesia

Kisah dramatis pelarian Eddy Tansil, koruptor legendaris yang lolos dari LP Cipinang tahun 1996 dan tak tertangkap hingga kini, jadi simbol abadi rapuhnya hukum di Indonesia.
Eddy Tansil saat sidang korupsi Bapindo. (Sumber: Panji Masyarakat Agustus 1994)
Ayo Netizen 05 Nov 2025, 11:49 WIB

Garis Merah di Atas Kepala Kita

Refleksi Moral atas Fenomena S-Line dan Krisis Rasa Malu di Era Digital
poster film S-Line (Sumber: Video.com)
Ayo Netizen 05 Nov 2025, 10:55 WIB

Bergadang dan Tugas, Dilema Wajar di Kalangan Mahasiswa?

Feature ini menyoroti kebiasaan bergadang mahasiswa yang dianggap wajar demi tugas dan fokus malam hari.
Ilustrasi mengerjakan tugas di waktu malam hari (Sumber: Pribadi | Foto: Muhamad Alan Azizal)
Ayo Netizen 05 Nov 2025, 09:26 WIB

Bicara tentang Ramuan Khusus Seorang Pemimpin Muda

4 ramuan khusus atau four action yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin muda.
Muhammad Fatahillah, Ketua OSIS (Organisasi Intra Siswa Sekolah) MAN 2 Kota Bandung (Sumber: Highcall Ziqrul | Foto: Highcall Ziqrul)
Ayo Netizen 05 Nov 2025, 08:48 WIB

Menyemai Minat Baca Mahasiswa di Tengah Dunia Digital

Fenomena pergeseran bentuk literasi di kalangan civitas akademika, terutama dunia kampus
Kegiatan literasi mahasiswa di perpustakaan UIN Sunan Gunung Djati Bandung (Sumber: Dokumentasi Pribadi Penulis | Foto: Salsabiil Firdaus)
Ayo Netizen 05 Nov 2025, 07:57 WIB

Bystander Effect yang Dialami Perempuan dalam Film Shutter (2025)

Film horor di Indonesia tidak lepas mengangkat tokoh perempuan sebagai korban kekerasan atau pelecehan seksual hingga mengalami Bystander Effect.
Isu Byestander Effect dalam Film Shutter (Sumber: Instagram | Falconpicture)
Ayo Netizen 04 Nov 2025, 20:02 WIB

Teja Paku Alam Bermain Gemilang, ’Sudahlah Persib Tak Butuh Kiper Asing’

Siapa pun tahu penjaga gawang nomor satu Persib bukanlah Teja Paku Alam, tapi Adam Przybek, pemain asing berkebangsaan Polandia.
Penjaga gawang Persib Teja Paku Alam (kanan), dan Adam Przybek (tengah) pemain asing berkebangsaan Polandia. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Irfan Al-Faritsi)
Ayo Biz 04 Nov 2025, 19:33 WIB

Menanam Harapan di Tengah Krisis Hijau, Membangun Semangat Pelestarian Hutan Lewat Edutourism

Edutourism menawarkan pengalaman wisata yang tidak hanya menyenangkan, tetapi juga membangun kesadaran ekologis.
Contoh nyata praktik edutourism adalah Orchid Forest Cikole. Tidak hanya menawarkan keindahan lanskap, tetapi juga jadi ruang belajar tentang pentingnya pelestarian hutan dan tanaman anggrek. (Sumber: dok Orchid Forest Cikole)
Ayo Jelajah 04 Nov 2025, 18:27 WIB

Sejarah Kopo Bandung, Berawal dari Hikayat Sesepuh hingga Jadi Distrik Ikon Kemacetan

Dulu dibangun dengan darah dan keringat Eyang Jawi, kini Jalan Kopo jadi ikon kemacetan Bandung. Inilah sejarah panjangnya dari masa kolonial hingga modern.
Jalan di antara Cisondari dan Kopo zaman baheula. (Sumber: KITLV)
Ayo Netizen 04 Nov 2025, 17:49 WIB

Suatu Malam yang Syahdu Menikmati ‘Sate Sadu’ Soreang yang Legendaris

Dalam sekejap, makanan habis. Keempukan daging, kegurihan rasa, menyatu. Sate Sadu memang legendaris.
Sate Sadu di Soreang, Kabupaten Bandung. (Sumber: Ulasan Pengguna Google)
Ayo Biz 04 Nov 2025, 17:29 WIB

Mengubah Cokelat Jadi Gerakan, Sinergi UMKM dan Petani dalam Rantai Pangan

Di tengah tren urbanisasi, muncul kesadaran baru bahwa produk pangan berbasis bahan baku lokal memiliki nilai lebih. Bukan hanya dari sisi rasa, tetapi juga dari dampak sosial yang ditimbulkan.
Battenberg3, sebuah UMKM yang menjadikan kolaborasi dengan petani sebagai inti bisnisnya. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Eneng Reni Nuraisyah Jamil)
Ayo Netizen 04 Nov 2025, 17:00 WIB

Sosok yang Menyemai Harapan Hijau di Padatnya Kota Bandung

Di bawah kepemimpinannya, program Buruan SAE meraih berbagai penghargaan nasional dan internasional.
Gin Gin Ginanjar. Di bawah kepemimpinannya, program Buruan SAE meraih berbagai penghargaan nasional dan internasional. (Sumber: Humas DKPP Bandung | Foto: Humas DKPP Bandung)