AYOBANDUNG.ID - Di tikungan besar di Jalan Lembang, yang kini lebih dikenal sebagai kawasan Setiabudi, Bandung Utara, berdiri sebuah bangunan megah bergaya art deco yang tak lekang oleh waktu: Villa Isola. Ia tak sekadar rumah tinggal, bukan pula cuma simbol gaya hidup elite kolonial.
Bangunan ini adalah saksi bisu sejarah panjang Indonesia, dari era kejayaan pers Hindia Belanda hingga pertempuran revolusi kemerdekaan. Jejaknya membentang dari gemerlap pesta malam peresmian, dentuman meriam perang, hingga pekik semangat para guru masa depan.
Dalam risalahnya Villa Isola: Venesia Kecil di Bandung Utara, Rahmat Kurnia menyatakan villa Isola mulai dibangun pada Maret 1933 dan rampung pada Desember di tahun yang sama. Proyek ini melibatkan sekitar 700 pekerja dan berada di bawah supervisi biro konstruksi Algemeen Ingenieurs en Architecten (AIA). Sosok di balik desainnya adalah Prof. Charles Prosper Wolff Schoemaker, arsitek flamboyan kelahiran Banyubiru, Semarang, yang acap dibandingkan dengan Frank Lloyd Wright.
Bagi Schoemaker sendiri, Villa Isola bukan tugas mudah. "Villa Isola adalah salah satu penugasan arsitektur paling sulit yang pernah ditangani," tulis JC Van Dullemen dalam buku Arsitektur Tropis Modern yang dikutip Rahmat. Bangunan ini harus mengikuti kontur tanah, berpadu dengan lanskap Bandung utara yang berbukit, sekaligus tetap mempertahankan gaya tropis modern yang jadi ciri khas Schoemaker.
Tapi di balik tantangan arsitektural itu, berdiri seorang tokoh penting yang menjadi pemilik rumah: Dominique Willem Berretty, pendiri kantor berita ANETA (Algemeen Nieuws- en Telegraaf-Agentschap). Berretty memulai kariernya sebagai wartawan muda di Bataviaasch Nieuwsblad pada tahun 1910. Lewat ANETA yang didirikannya pada 1917, ia mengubah wajah jurnalistik di Hindia Belanda. Saat koran-koran masih mengandalkan telegram lamban dari Eropa, ANETA bisa menyampaikan berita secara cepat berkat jaringan koresponden global yang ia bangun sendiri.
Baca Juga: Salah Hari Ulang Tahun, Kota Bandung jadi Korban Prank Kolonial Terpanjang
Tak heran jika Berretty menjadi jurnalis paling berpengaruh di masa itu. Namun, kekuasaan membawa masalah. Pada 1930, ia diperiksa karena dituduh memonopoli informasi. Nama baiknya tercoreng. Dalam tekanan, Berretty memilih menjauh dari keramaian. Ia mencari pelarian di Bandung Utara. Maka lahirlah Isola. Nama yang diambil dari filosofi Berretty sendiri: M'isollo e vivo yang artinya "aku mengasingkan diri dan bertahan hidup".
Peresmian Villa Isola pada 21 Desember 1933 berlangsung megah. Surat kabar De Indische Courant melaporkan, "Pada Sabtu malam, vila Isola, rumah Bapak D. W. Berretty yang terletak di Lembangweg, diresmikan secara meriah." Tamu-tamu dari kalangan pers dan elite sosial memenuhi ruang biliar Isola. Mereka disambut dengan tur ke seluruh bagian rumah oleh Schoemaker: dari ruang tamu lapang, ruang kerja, kamar-kamar tamu, hingga taman atap yang diterangi dua obor besar.
Interiornya memukau: lampu gantung ala Venesia, perabot mahal, dan lukisan-lukisan karya seniman India dan Eropa. Salah satu lukisan besar menggambarkan lanskap dari sisi timur Isola. Dalam satu ruangan bawah tanah yang luas, diputar film dokumenter pembangunan vila ini. Ruang itu seolah berubah menjadi bioskop pribadi. Para tamu menonton dokumenter berjudul Isola, menyaksikan transformasi tanah kosong menjadi bangunan megah hanya dalam sembilan bulan.
Jamuan makan menyusul. Meja makan yang mampu menampung 60 orang penuh dengan perbincangan, tawa, dan toast bersulang. "Untuk Tuan Berretty, untuk Isola, untuk ANETA, dan untuk putri mereka," kata salah satu tamu. Perayaan berlangsung hingga dini hari, hingga ayam jantan berkokok.
Tetapi masa tinggal Berretty di rumah impiannya tidak panjang. Pada 20 Desember 1934, saat tengah menjalankan tugas ke Irak, pesawat yang ditumpanginya jatuh. Berretty tewas, dan jenazahnya dikebumikan di Baghdad. Villa Isola pun menjadi yatim.
Setahun berselang, vila itu disewa oleh P.J. van Es, Direktur Hotel Savoy Homann, dan dijadikan Hotel Isola. Namun saat Perang Dunia II pecah, bangunan ini disita oleh pemerintah Hindia Belanda dan dijadikan markas militer di bawah komando Mayjen J.J. Pesman. Tak lama kemudian, ketika Jepang merebut Jawa, bangunan ini berubah fungsi lagi. Sekitar tahun 1943 atau 1944, Villa Isola disulap menjadi museum perang oleh Jepang, bernama Djawa Sakusen Kinenkan. Jenderal Terauchi kabarnya turut hadir saat peresmiannya.
Baca Juga: Jejak Kapal Cicalengka di Front Eropa Perang Dunia II

Dari Pertempuran Hingga Jadi Kampus Guru
Saat Jepang kalah pada 1945, kekosongan kekuasaan dimanfaatkan oleh pejuang-pejuang muda. Villa Isola untuk pertama kalinya dikuasai pribumi. Bangunan itu dijadikan markas oleh Tentara Keamanan Rakyat (TKR) Batalyon Bandung Utara. Para pemuda mempertahankan Isola dalam sebuah pertempuran yang kemudian dikenal sebagai Battle of Tjigoledang.
Letupan di Istana Beretty ini juga terjadi kala Allied Forces Netherlands East Indies (AFNEI)—gabungan pasukan Sekutu Inggris dan Belanda—datang ke Indonesia. Tujuannya resmi: mengurus tawanan perang dan menjaga ketertiban. Tapi kenyataannya, mereka membantu Belanda untuk kembali menguasai Hindia. Di Bandung, AFNEI merebut kawasan Isola. Laporan De Volkskrant dan Het Dagblad menyebut bahwa Hotel Isola berhasil diduduki oleh pasukan Ghurka dari Resimen Ketiga.
"Pihak Indonesia menggunakan penghalangjalan dan senapan mesin sedang. Isola akhirnya diduduki oleh pasukan dari batalion ketiga resimen ketiga Senapan Ghurka," tulis Het Dagblad, 21 Desember 1945.
Selama bulan-bulan berikutnya, kawasan sekitar Isola jadi titik panas. Pada Januari 1946, terjadi kontak senjata di sepanjang Jalan Lembang. Ghurka diserang dari jarak 800 meter. Bulan Februari, sebanyak 40 pejuang bersenjata yang mengancam posisi Ghurka dibubarkan paksa dengan tembakan artileri. Operasi demi operasi dilakukan, dari pembenahan saluran air hingga pembersihan jalan menuju sumber mata air. Beberapa pemuda Indonesia ditangkap. Bahkan, 20 warga Myanmar yang ditemukan di sekitar kawasan Isola pun diangkut ke luar kota.
Pertempuran di kawasan ini menjadi bagian dari rangkaian ketegangan yang memuncak pada peristiwa Bandung Lautan Api, 24 Maret 1946, ketika rakyat Bandung memilih membumihanguskan kota ketimbang menyerah pada Belanda.
Selepas revolusi dan pergolakan, Villa Isola kembali sunyi. Ia sempat terlantar, hingga akhirnya pada awal 1950-an—sekitar 1951 hingga 1954—bangunan ini dibeli oleh pemerintah Indonesia dengan harga satu setengah juta rupiah. Proses jual-beli itu, menurut beberapa kabar, diwakili oleh Gerda Berretty, anak dari Aline Elodie Maria Berends, istri Berretty.
Baca Juga: Dari Gurun Pasir ke Kamp Konsentrasi, Kisah Tragis Keluarga Berretty Pemilik Vila Isola Bandung
Tahun 1955 menjadi penanda babak baru. Villa Isola secara resmi dijadikan kampus Perguruan Tinggi Pendidikan Guru (PTPG). Kampus ini kemudian berkembang dan berganti nama menjadi Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Bandung, dan sekarang dikenal sebagai Universitas Pendidikan Indonesia (UPI).
Bangunan yang dulu jadi tempat pengasingan diri seorang jurnalis kini menjadi pusat pendidikan guru. Dari tempat bersulang elite pers kolonial, menjadi tempat mahasiswa menimba ilmu. Di sanalah Isola menemukan bentuknya yang paling abadi: tempat belajar, bukan hanya mengenal huruf, tapi juga mengenang sejarah.
Dan begitulah, Isola bukan hanya bangunan art deco megah yang berdiri di utara Bandung. Ia adalah catatan sejarah Indonesia dalam bentuk arsitektur. Dari simbol kemewahan kolonial, saksi perang dan darah, hingga ruang bagi ilmu pengetahuan tumbuh. Ia memang tak banyak bicara, tapi dindingnya menyimpan cerita yang tak lekang oleh waktu.