AYOBANDUNG.ID - Hotel Savoy Homann berdiri anggun di Jalan Asia Afrika, Bandung—sebuah kawasan yang menjadi saksi sejarah panjang kota ini sejak masa kolonial. Di kiri depan Gedung Merdeka, bangunan hotel ini berdiri tegak seolah menjaga alun-alun kota. Ia berbatasan di utara dengan Jalan Asia Afrika, di timur dengan Kantor Keuangan, di selatan dengan gang kecil, dan di barat dengan Jalan Homann. Kawasan itu kini padat dengan kantor dan pusat perdagangan, mudah dijangkau dari Stasiun Hall, Terminal Leuwipanjang, maupun Cicaheum—tapi lebih dari seabad lalu, wilayah ini hanyalah bagian sunyi dari jalan besar bernama Grote Postweg.
Kisahnya dimulai pada tahun 1880. Seorang warga negara Jerman bernama A. Homann membangun sebuah penginapan sederhana di jalur strategis yang menghubungkan Batavia hingga Cirebon. Namanya kala itu Hotel Pos Road, sesuai dengan letaknya di tepi jalan pos yang dibangun Daendels. Hotel ini menjadi tempat singgah para pejabat dan pengusaha Eropa yang sedang melakukan perjalanan dinas atau inspeksi ke wilayah Priangan. Tak lama berselang, bangunan bergaya Baroque itu menjadi buah bibir di kalangan bangsawan kolonial.
Tiga tahun kemudian, pada 1883, Homann melakukan renovasi besar. Gaya bangunan berganti menjadi Gothic Revival, dengan menara dan jendela tinggi yang khas. Hotel ini semakin terkenal di kalangan pejabat Belanda, pedagang kaya, dan wisatawan asing yang ingin menikmati udara sejuk pegunungan Bandung. Tahun 1910, Homann memperluas bangunan hotelnya untuk menampung tamu yang makin ramai seiring naiknya nama Bandung sebagai kota wisata baru di Hindia Belanda.
Baca Juga: Warga Bandung Kena Kibul Charlie Chaplin: Si Eon Hollywood dari Loteng Hotel
Keberadaan Hotel Pos Road menjadi bagian dari awal pembangunan kota kolonial Bandung. Setelah Residen Priangan Van der Moore memindahkan pusat pemerintahan dari Cianjur ke Bandung pada 1864, kawasan sekitar alun-alun mulai berkembang. Puncaknya terjadi pada 1899, ketika Bandung ditunjuk menjadi tuan rumah Kongres Perkumpulan Pengusaha Perkebunan Gula se-Hindia Belanda. Sejak itu, hotel-hotel, vila, dan gedung-gedung pemerintahan bermunculan. Bandung mulai dikenal sebagai kota bergengsi kaum meneer.
Tahun 1906, Bandung resmi berstatus Gemeente atau kotapraja. Dua dekade kemudian, statusnya naik menjadi Stadsgemeente. Pada 1916, ahli kesehatan H.F. Tillema menggagas pemindahan ibu kota Hindia Belanda dari Batavia ke Bandung karena dinilai lebih sehat dan sejuk. Gagasan itu diamini banyak pejabat, termasuk Prof. Ir. J. Klopper, rektor Technische Hoogeschool te Bandoeng (kini ITB). Sejak 1920-an, kantor-kantor penting pemerintah kolonial mulai bermunculan di Bandung. Suasana kota makin ramai, dan permintaan tempat penginapan pun meningkat pesat.
Pada tahun 1938, bangunan lama Hotel Homann yang bergaya Gothic akhirnya dibongkar. Dua arsitek asal Belanda, A.F. Aalbers dan R.A. de Waal, ditunjuk untuk merancang ulang bangunan baru bergaya International Style—yang kelak menjadi ikon arsitektur Bandung. Aalbers kemudian mempercantik bangunan itu dengan sentuhan Streamline Moderne, sejenis gaya Art Deco yang menonjolkan garis lengkung dan aerodinamis seperti gelombang samudra. Hasilnya, Hotel Homann berubah menjadi bangunan bergaya modern fungsional yang mewah dan elegan.
Renovasi besar-besaran yang dimulai pada Februari 1937 itu melibatkan banyak pekerja dan pengrajin. Bagian depan hotel diperluas hingga menjorok ke tepi Grote Postweg. Aalbers memanfaatkan garis horizontal panjang berulang untuk menciptakan kesan ritme dan keluwesan visual. Ketika rampung pada 1939, bangunan baru itu diberi nama “Savoy” untuk menegaskan citra kemewahannya. Sejak itu, hotel tersebut dikenal sebagai Savoy Homann.

Baca Juga: Dari Gurun Pasir ke Kamp Konsentrasi, Kisah Tragis Keluarga Berretty Pemilik Vila Isola Bandung
Interior hotel pun dibuat semewah mungkin. Kaca patri, lampu gantung besar, dan furnitur berdesain Art Deco menghiasi ruang-ruang tamu. Lobi yang luas dengan lantai marmer dan tangga melingkar menjadi simbol prestise. Fr. J.A. van Es, pengelola hotel saat itu, dikenal piawai mengelola perhotelan. Ia pernah memimpin Hotel Des Indes di Batavia, dan di tangannya, Savoy Homann menjelma menjadi salah satu hotel terbaik di Asia Tenggara.
Tapi, masa keemasan itu tidak berlangsung lama. Ketika Perang Dunia II pecah, bisnis perhotelan menurun drastis. Pada 1942, pasukan Jepang menduduki Bandung dan menjadikan Savoy Homann sebagai Wisma Jepang. Hotel megah itu kehilangan kemewahannya dan berubah menjadi tempat administrasi militer. Setelah Jepang menyerah pada 1945, bangunan ini sempat dijadikan kantor Palang Merah Internasional di bawah pimpinan Kapten Gray.
Tahun 1946, hotel dikembalikan kepada pemiliknya, Van Es, yang kemudian mengelolanya hingga 1952. Setelah Van Es meninggal, sang istri, Nyonya Van Es de Brink, memutuskan menjual hotel itu kepada pengusaha lokal, R.H.M. Saddak. Di tangan Saddak, Savoy Homann kembali hidup. Hotel ini menjadi saksi penting sejarah Indonesia modern ketika digunakan sebagai tempat menginap para delegasi Konferensi Asia Afrika tahun 1955. Di sinilah tokoh-tokoh besar dunia seperti Soekarno, Jawaharlal Nehru, Chou En Lai, dan Muhammad Nasser pernah beristirahat dan berbincang. Bandung kala itu menjadi pusat perhatian dunia, dan Savoy Homann menjadi salah satu simbol kejayaan kota itu.
Jadi Hotel KAA dan Berganti Pemilik
Sekitar tahun 1960 hingga 1970, reputasi Hotel Savoy Homann menjulang tinggi. Hotel ini menjadi tempat pelatihan bagi pegawai hotel dari seluruh Indonesia. Arsitekturnya yang megah dengan lengkungan khas di sudut Jalan Braga dan Jalan Asia Afrika menjadikannya penanda visual kota. Di atas lahan seluas 10.074 meter persegi, bangunan seluas 11.185 meter persegi itu memadukan gaya plastis kurva linier dengan menara tunggal menjulang tinggi di salah satu sudutnya.
Savoy Homann juga dikenal memiliki pekarangan dalam yang jauh dari jalan raya. Di sanalah para tamu menikmati sarapan pagi dengan udara segar Bandung yang sejuk. Tidak heran bila sejak masa kolonial hingga pascakemerdekaan, hotel ini selalu menjadi tempat menginap favorit bagi tamu-tamu penting, dari diplomat asing hingga seniman.
Baca Juga: Sejarah Gelap KAA Bandung, Konspirasi CIA Bunuh Zhou Enlai via Bom Kashmir Princess
Pada 1980-an, kepemilikan hotel berpindah tangan. Setelah melalui negosiasi panjang, R.M. Saddak menjual hotel kepada H.E.K. Ruchiyat dari PT Panghegar Group pada 1987. Renovasi besar kembali dilakukan. Area belakang hotel diubah menjadi tempat parkir dan kolam renang, sedangkan bagian depan tetap dipertahankan agar arsitektur aslinya tidak hilang. Lobi dan ballroom diperluas, namun sentuhan Art Deco tetap dijaga agar karakter historisnya tetap hidup.
Pada 14 Oktober 1989, setelah renovasi rampung, hotel ini diresmikan oleh Menteri Pariwisata, Pos, dan Telekomunikasi, Soesilo Sudarman. Namanya berubah menjadi Savoy Homann Panghegar Heritage Hotel, dengan 153 kamar dan fasilitas modern.
Tapi, badai krisis ekonomi Asia tahun 1997 mengguncang sektor pariwisata. Banyak hotel kehilangan tamu, dan bisnis perhotelan terpuruk. Ruchiyat akhirnya memutuskan untuk fokus pada satu merek, yaitu Panghegar Hotel, dan menjual saham Savoy Homann kepada investor baru. Pada Januari 2000, hotel bersejarah itu akhirnya diambil alih oleh Yayasan Bidakara dan resmi bergabung dalam jaringan Bidakara Group. Namanya kembali disederhanakan menjadi Hotel Savoy Homann.
Kini, lebih dari satu abad sejak didirikan oleh A. Homann, hotel ini tetap berdiri megah di jantung Bandung. Setiap lekuk lengkung bangunannya masih menyimpan kisah masa kolonial, kemerdekaan, hingga Konferensi Asia Afrika. Dari jendela kamar-kamarnya, tamu bisa menyaksikan denyut nadi Jalan Asia Afrika—tempat di mana sejarah Indonesia dan dunia pernah bertemu.
Savoy Homann bukan sekadar hotel. Ia adalah potongan sejarah yang hidup, saksi bisu perjalanan Bandung dari kota kolonial kecil menjadi kota kosmopolitan yang penuh kenangan. Arsitekturnya tetap menjadi penanda penting dalam lanskap kota, mengingatkan siapa pun bahwa kemewahan sejati tak pernah lekang oleh waktu.