Bila pemuka agama dan umatnya menjalankan hidup penuh dengan cinta, kasih sayang, damai, toleran dan saling menghormati segala perbedaan yang bersumber dari ajaran agama (kepercayaan) yang luhur, niscaya tak ada lagi insiden kekerasan dan intoleransi di bumi Nusantara ini.
Pasalnya, tidak ada perintah dalam ajaran agama kepada umatnya untuk berbuat jahat, saling membenci, memaki, mehakimi, hingga membuhun. Justru setiap agama mengajarkan untuk berbuat baik, mencintai, mengasihi, damai, persatuan dan persaudaraan.

Sumber Toleransi
Ahmad Syafii Maarif dalam Pengantar buku Al-Quran kitab toleransi: tafsir tematik Islam rahmatan lil'âlamîn menjelaskan Alquran merupakan fundamen toleransi. Artinya, umat Islam adalah umat terpilih Tuhan yang diperintahkan agar menjadikan toleransi sebagai nilai fundamental.
Bila umat Islam berhasil membangun toleransi, maka akan mempu membangun peradaban kemanusiaan yang berdasarkan dialog dan saling pengertian. Sebaliknya, bilamana umat Islam menebarkan kekerasan, maka yang akan terjadi adalah kehancuran dan kegagalan. Karena itu, menjadi toleran adalah pilihan yang harus diutamakan oleh setiap muslim.
Ibn Khaldun dalam magnum opusnya, Muqaddimah, memberikan pernyataan menarik perihal pentingnya toleransi, bahwa manusia pada hakikatnya adalah makhluk yang bersosial (madaniyyun bil thab'i). Karena itu, interaksi sosial dan akulturasi budaya merupakan sebuah keniscayaan.Pandangan Ibn Khaldun, bahwa bangsa-bangsa terdahulu yang mengalami kemajuan budaya, seperti Qairawan dan Cordova dalah bangsa-bangsa yang mempu membangun budaya toleransi dan interaksi sosial.
Kehidupan damai yang hampir tidak ada konflik sosial telah membuka kesempatan yang lebih luas bagi kedua bangsa itu untuk menjadi bangsa yang maju dari pelbagai sektor kehidupan, baik politik, ekonomi maupun sosial-budaya. Dalam sejarah Islam, Cordova menjadi kota ideal kedua setelah kota Madinah yang dibangun Rasulullah swt berdasarkan prinsip toleransi di tengah keragaman agama dan etnis.
Membangun toleransi pada hakikatnya adalah membangun peradaban. Dulu, pada zaman Nabi, sahabat, tabiin dan ulama abad pertengahan, toleransi merupakan salah satu nilai yang dijunjung tinggi. Mereka telah melaksanakan apa yang diperintahkan Tuhan di dalam Al-Quran dan mereka pun berhasil dalam menjalankan misinya.
Dalam Al-Quran tercatat setidaknya terdapat 300 ayat yang secara eksplisit berisi pesan tentang toleransi. Untuk mengembalikan pada paradigma "Al-Quran sebagai fundamen toleransi". Artinya, tidak mungkin Quran menganjurkan umatnya pada kekerasan, karena fundamen Al-Quran adalah toleransi, kerukunan dan perdamaian. (Zuhairi Misrawi,2010:xxviii-xxx).

Menebar Perdamaian
Perjuangan Gus Dur yang bersifat beyond symbol pada dasarnya bersumber dari pemikiran keislaman yang universal dan toleran. Nilai-nilai universal dan toleran dalam Islam bagi Gus Dur adalah muatan dari ajaran Islam yang mengedepankan kepedulian terhadap nilia-nilai kemanusiaan dan keterbukaan.
Yakni suatu keterbukaan yang membuat kaum muslim mampu menyerap berbagai nilai budaya dan wawasan keilmuan yang beragam dari berbagai peradaban yang saling bersinggungan sebagai akibat dari semakin meluasnya pergaulan dunia. (MN Ibad & Akhmad Fikri AF, 2012:3-4)
Muhaimin Iskandar menjelaskan sikap toleransi Gus Dur ini diistilahkan dengan sebutan “toleransi plus”, toleransi yang tidak hanya sekedar menghormati dan menghargai keyakinan (pendirian orang lain) dari agama yang berbeda, tetapi juga disertai kesediaannya untuk menerima ajaran-ajaran yang baik dari agama dan peradaban lain itu sendiri. Gus Dur sendiri menyatakan bahwa ia akan menerima dan menyampaikan kebenaran yang dating dari mana pun, apakah itu datang dari injil, bhagawad gita atau yang lainnya. (Muhaimin Iskandar, 2010:17)
Bagi Daisaku Ikeda menguraikan toleransi sesungguhnya adalah satu kesatuan yang dengan tegas tanpa mengampuni perbuatan kekerasan (ketidakbenaran) yang mengintimidasi martabat manusia. Toleransi sesungguhnya terdapat dalam jalan hidup mengarungi kebahagiaan bersama tanpa menutup mata pada penderitaan dan kesulitan orang lain.
Gus Dur telah mempraktikkan jiwa toleran yang sesungguhnya dan berkaitan pada dialog antara agama dengan aktif. Peran dan misi para pemuka agama semakin besar dan penting untuk terciptanya perdamaian dunia dan kebahagiaan umat manusia.
Fuad Hasan mencatatnya, “penciptaan perdamaian harus menjadi tujuan kita bersama lewat dialog antar budaya yang sungguh-sungguh dan bebas dari prasangka dan stereotip. Keragaman budaya sebagai cirri yang tetap dari masyarakat dimana upaya tersebut pada akhirnya harus berkembang sebagai sebuah fenomena keragaman kreatif. Upaya ini akan dapat meraih peningkatan kualitas hidup.
Sejarah toleransi unggul yang bernafaskan agama dan budaya di Indonesia ini merupakan pusaka terdalam bagi umat manusia." (Abdurrahman Wahid & Daisaku Ikeda, 2010:119-121 & 138)

Dengan demikian, keteladanan Gus Dur, Daisaku Ikeda dalam menyebarluaskan sikap toleran dan menebar kedamaian ini akan sangat diharapkan hadir dan diikuti oleh elit-elit agama, politik, birokrat, hingga dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari oleh umatnya. Jika elit agama dan umat beragam tidak mempu hadir untuk menjadi teladan di tengah hilangnya suri teladan maka saat itu pula kepercayaan masyarakat atas agama menjadi memudar.
Mari kita jadikan Pameran Dialog Peradaban ini sebagai momentum untuk meneladani nilai-nilai yang diperjuangkan oleh Gus Dur dan Daisaku Ikeda, khususnya mengenai pentingnya sikap toleransi dan perdamaian.
Terwujudnya masyarakat yang adil, sejahtera, damai, terbuka, dan toleran menjadi cita-cita bersama yang tak bisa ditawar-tawar lagi. Salah satu upaya untuk mencapainya dengan menghadirkan ruang kolaboratif antar komunitas lintas agama, budaya, dan generasi.
Pasalnya, pameran ini bertujuan memperkuat semangat toleransi dan membangun perdamaian melalui kegiatan pameran dan diskusi terbuka yang mengangkat tema harmoni dan kemanusiaan. (*)