AYOBANDUNG.ID - Bandung dinobatkan sebagai kota termacet di Indonesia versi TomTom Traffic Index 2024. Dalam laporan tersebut, rata-rata waktu tempuh di Kota Kembang mencapai 32 menit 37 detik per 10 kilometer, menjadikannya peringkat nomor 1 di Indonesia atau ke-12 di dunia dalam kategori waktu terlama yang hilang di jam sibuk.
Data ini mengundang reaksi dari Wali Kota Bandung, Muhammad Farhan. Ia mempertanyakan akurasi dan metodologi di balik pemeringkatan TomTom.
Untuk menjawab keraguan tersebut, AyoBandung.id menghubungi langsung pihak TomTom dan mendapat penjelasan dari Ralf-Peter Schaefer, VP Product Management Traffic and Travel Information, di TomTom.
Ralf, yang mengaku telah berkecimpung selama 25 tahun di bidang analisis kemacetan, menjelaskan bahwa TomTom mengumpulkan data lalu lintas berdasarkan lokasi kendaraan yang terhubung ke sistem navigasi dan peta digital TomTom.
“Kami melacak kecepatan dan titik-titik kemacetan berdasarkan data kendaraan yang bergerak di jalanan. Jika laju kendaraan melambat, rutenya akan ditandai merah,” ujarnya sambil memperlihatkan data penuh angka dan kotak yang berwarna-warni.
Data yang dikumpulkan tidak hanya berasal dari pengguna kendaraan pribadi, tetapi juga berbagai sumber lain termasuk transportasi umum dan perangkat ponsel. Dia mengatakan TomTom terhubung dengan sekitar 2050 sumber data di seluruh dunia untuk memetakan soal pergerakan kendaraan ini.
TomTom Traffic Index menghitung rata-rata waktu tempuh untuk perjalanan sejauh 10 km di masing-masing kota. Selain itu, juga dihitung total waktu yang hilang akibat kemacetan pada jam sibuk selama satu tahun. Di Bandung, -menurut TomTom- waktu yang hilang dalam setahun karea kemacetan mencapai 108 jam dalam setahun atau setara dengan empat setengah hari.

Dalam waktu tempuh perjalanan 10 kilometer, Bandung mengungguli Medan (32 menit 3 detik), Palembang (27 menit 55 detik), Surabaya (26 menit 59 detik), dan Jakarta (25 menit 31 detik). Kendati Jakarta memiliki tingkat kemacetan lebih tinggi (43%), waktu tempuhnya lebih singkat dari Bandung, menjadikan ibukota hanya berada di urutan ke-5 nasional.
“Pemeringkatan ini kami dasarkan pada durasi perjalanan, bukan semata-mata jumlah kendaraan,” jelas Ralf. Ia menambahkan, perbandingan dilakukan secara global untuk melihat efektivitas mobilitas perkotaan, khususnya saat jam sibuk ketika orang pergi atau pulang kerja.
Menurut Ralf, tidak ada solusi tunggal untuk setiap kota.
Salah satu pendekatan yang ditekankan Ralf adalah pentingnya membangun infrastruktur yang mendukung moda transportasi alternatif seperti sepeda dan angkutan umum. Meski memerlukan waktu dan investasi besar, ia menilai kebijakan ini mampu memberikan dampak jangka panjang terhadap pengurangan kemacetan maupun polusi udara.
"Kota yang berani bertransformasi akan menuai hasilnya, tapi tentu tidak bisa instan," ujarnya.
Ralf mencontohkan kota-kota di Eropa seperti Kopenhagen yang berhasil mengubah wajah lalu lintasnya dengan mendorong warganya menggunakan sepeda dan bus. Namun, ia juga mengakui bahwa kebijakan tersebut tidak selalu bisa langsung diterapkan di semua kota.
“Tiap kota harus menemukan resepnya sendiri. Apa yang berhasil di Kopenhagen belum tentu cocok di Bandung,” katanya.

Selain pembangunan infrastruktur, strategi pengendalian penggunaan kendaraan pribadi juga dianggap penting. Ralf menyebutkan contoh kebijakan seperti tarif parkir yang lebih tinggi di pusat kota, pembatasan kendaraan di jam sibuk, atau pemberian insentif bagi pengguna transportasi umum.
“Kalau tidak ada insentif dan disinsentif, sulit mengubah kebiasaan warga,” jelasnya.
TomTom sendiri siap mendukung kota-kota yang ingin merancang kebijakan transportasi berbasis data. Lewat platform dan fitur analisis mereka, pemerintah kota bisa mengetahui titik-titik paling rawan macet, waktu tempuh rata-rata, serta pola mobilitas warganya. “Kami bisa bantu tunjukkan area mana yang paling butuh intervensi,” kata Ralf.
Namun ia menegaskan, data hanyalah alat bantu. Keputusan akhir tetap berada di tangan pemerintah kota.
“Kami hanya bisa memberikan insight. Tapi strategi dan eksekusi harus disesuaikan dengan karakter, kebutuhan, dan visi kota masing-masing. Kuncinya ada di kemauan untuk berubah,” katanya.
Saat ditanya apakah TomTom terbuka untuk bekerja sama dengan pemerintah daerah di Indonesia, Ralf menjawab terbuka. “Data ini bisa digunakan untuk merancang strategi transportasi, menurunkan polusi, hingga menetapkan insentif seperti tarif parkir atau jalur khusus angkutan umum,” katanya.

Pernyataan Ralf-Peter Schaefer dari TomTom sejalan dengan upaya Farhan yang tengah mencari solusi kemacetan berbasis teknologi.
Farhan menyoroti pentingnya pengaturan waktu dan pemanfaatan sistem kendali lalu lintas seperti ATCS untuk mengatur durasi lampu merah secara real-time. Langkah-langkah ini diambil karena kemacetan masih menjadi persoalan utama di sejumlah titik persimpangan Kota Bandung.
Dengan tantangan mobilitas yang semakin kompleks, pemanfaatan data real-time menjadi kunci untuk merumuskan kebijakan berbasis bukti.(*)