Kemunafikan Struktural di Balik Menurunnya Angka Pernikahan

Yaser Fahrizal Damar Utama , S.I.Kom
Ditulis oleh Yaser Fahrizal Damar Utama , S.I.Kom diterbitkan Kamis 24 Jul 2025, 15:01 WIB
Angka pernikahan di Indonesia menurun, sedangkan praktik kohabitasi meningkat. (Sumber: Pexels/Arbiansyah Sulud)

Angka pernikahan di Indonesia menurun, sedangkan praktik kohabitasi meningkat. (Sumber: Pexels/Arbiansyah Sulud)

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa pada tahun 2023, jumlah pernikahan yang tercatat di Indonesia mencapai titik terendah dalam satu dekade terakhir, dengan penurunan sebesar 128.000 pernikahan dibandingkan tahun sebelumnya.

Ini adalah puncak dari tren penurunan yang telah berlangsung selama satu dekade terakhir, di mana angka pernikahan telah merosot hingga 28,63%.

Laporan Statistik Pemuda Indonesia 2023 dari BPS juga menyoroti bahwa mayoritas pemuda Indonesia (WNI berusia 16 hingga 30 tahun) berstatus belum menikah.

Pada Maret 2023, persentase pemuda yang belum menikah mencapai 68,29%, sementara yang berstatus menikah hanya 30,61%, angka terendah dalam sepuluh tahun terakhir.

Ini menunjukan adanya pergeseran usia pernikahan yang masif. Dua data diatas ini menunjukkan adanya krisis legitimasi terhadap institusi pernikahan di mata generasi muda.

Fenomena ini adalah cerminan dari problematika yang dihadapi generasi muda Indonesia. Generasi ini dihadapkan dengan tekanan ekonomi yang berat, pergeseran paradigma dalam memaknai komitmen, dan realitas sosial yang seringkali membebani. 

Mahalnya Biaya Pernikahan

Peraturan Pemerintah No. 48 Tahun 2014 menetapkan tarif sebesar Rp600.000 jika dilakukan di luar Kantor Urusan Agama (KUA).

Sedangkan bagi yang menikah di KUA pada hari dan jam kerja, maka tidak ada pungutan tarif alias gratis. Jika dilihat dari regulasi ini tentu saja bukan hal ini yang disebut “mahal”.

Keluhan tentang mahalnya biaya pernikahan seyogyanya bukan merujuk pada tarif pengurusan administrasi, melainkan pada "pesta pernikahan” yang berlaku berbeda-beda sesuai dengan adat dan budaya yang berlaku di masing-masing daerah.   

Di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya dan Bandung, biaya untuk sebuah perayaan pernikahan yang dianggap "layak" bisa mencapai puluhan hingga ratusan juta rupiah. Biaya ini seringkali tidak masuk akal ketika harus disandingkan dengan rata-rata penghasilan di wilayah tersebut.

Para pejabat dan selebritis turut serta dalam menguatkan pandangan bahwa pernikahan harus dibuat semegah dan semahal mungkin. Beberapa dari mereka membuat acara berkedok “pesta rakyat” berhari-hari.

Bahkan beberapa diantara mereka menyiarkannya secara langsung di media massa dan mengomersialisasikannya.

Beban ini diperparah oleh tuntutan adat yang telah terkomodifikasi. Meski tradisi-tradisi ini pada awalnya dibuat untuk berbagai alasan seperti meninggikan derajat wanita, menjaga nama baik keluarga, mewarisi nilai-nilai luhur dari para leluhur dan lain-lain.

Namun tradisi-tradisi ini seringkali menjadi batu sandungan baru bagi mereka yang ini memasuki jenjang pernikahan.

Tradisi Uang Panai dalam adat Bugis, misalnya, bisa mencapai ratusan juta rupiah tergantung status sosial dan pendidikan calon mempelai wanita. Demikian pula tradisi Sinamot pada adat Batak atau prosesi adat di Minangkabau, Jawa, dan Sunda yang juga memakan biaya besar.

Tekanan sosial untuk menggelar pesta mewah demi gengsi dan validasi sosial atas nama keluarga telah mengubah pernikahan menjadi sebuah "panggung pertunjukan".

Akibatnya, banyak pasangan muda yang secara finansial belum mapan terpaksa menunda pernikahan. Keterpaksaan ini membuat mereka menjadi justifikasi-justifikasi baru untuk membenarkan alasan mereka untuk menunda pernikahan.

Pergeseran Paradigma

Laporan Statistik Pemuda Indonesia 2023 dari BPS juga menyoroti bahwa mayoritas pemuda Indonesia (WNI berusia 16 hingga 30 tahun) berstatus belum menikah. (Sumber: Pexels/Ihsan Adityawarman)
Laporan Statistik Pemuda Indonesia 2023 dari BPS juga menyoroti bahwa mayoritas pemuda Indonesia (WNI berusia 16 hingga 30 tahun) berstatus belum menikah. (Sumber: Pexels/Ihsan Adityawarman)

Di luar faktor ekonomi, penundaan pernikahan juga didorong oleh pergeseran paradigma generasi muda, khususnya Gen Z dalam memaknai pernikahan itu sendiri.

Institusi pernikahan tidak lagi dipandang sebagai satu-satunya tujuan hidup yang harus dicapai secepat mungkin. Sebaliknya, pernikahan kini dilihat sebagai salah satu pilihan di antara banyak jalan hidup lainnya, yang harus dipertimbangkan dengan matang.

Fenomena "Marriage is Scary" yang meluas di media sosial adalah cerminan dari kecemasan ini. Ketakutan ini cukup beralasan bagi pada Gen Z yang tumbuh dengan kesadaran lebih tinggi akan kesehatan mental, lebih takut terjebak dalam hubungan yang toxic atau pernikahan yang tidak bahagia.

Paparan konstan terhadap gambaran pernikahan "sempurna" yang seringkali membanjiri media sosial atau sering disederhanakan menjadi “standar TikTok” juga menciptakan ekspektasi yang tidak realistis dan tekanan psikologis yang besar.   

Akibatnya, banyak anak muda kini memprioritaskan pengembangan diri, pendidikan, dan stabilitas karier sebelum memutuskan menikah. Pernikahan kini dipandang sebagai keputusan yang kompleks dan tidak pasti, alih-alih kewajiban sosial yang mutlak.

Kohabitasi Jadi Solusi?

Ketika pilihan untuk melangsungkan pernikahan terasa sangat berat dan penuh rintangan, banyak pasangan mencari jalan alternatif yang lebih pragmatis yaitu kohabitasi alias "kumpul kebo" alias “living together”.

Praktik tinggal bersama tanpa ikatan pernikahan ini dilaporkan semakin meningkat di berbagai wilayah Indonesia.

Menurut hasil riset dari Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) di Manado, pelaku kohabitasi umumnya berasal dari kalangan muda berusia di bawah 30 tahun.

Mereka cenderung memiliki latar belakang pendidikan yang rendah serta kondisi ekonomi yang lemah, dengan sebagian besar bekerja di sektor informal. Temuan ini menunjukkan bahwa kohabitasi bagi banyak individu merupakan pilihan yang lahir dari tekanan ekonomi.

Selain dianggap sebagai jalan keluar dari mahalnya biaya nikah, alasan orang memilih kohabitasi juga bermacam-macam.

Bagi mereka yang sebenarnya mampu secara finansial untuk melangsungkan pernikahan, kohabitasi bisa dipandang sebagai periode "uji coba", “free trial” atau  “trial and error” sebelum mengambil keputusan untuk berkomitmen seumur hidup.

Pasangan yang memilih alasan ini berdalih bahwa tindakan mereka bertujuan untuk memberi waktu agar benar-benar saling mengenal, dengan harapan dapat memitigasi risiko perceraian setelah pernikahan. 

Kemunafikan Struktural

Kemunafikan struktural adalah istilah yang tepat untuk menggambarkan situasi masyarakat kita dalam memandang fenomena ini.

Sebagai salah satu negara yang dinobatkan menjadi negara paling religius di dunia, data menurunya tingkat pernikahan dan meningkatnya angka kasus kohabitasi adalah hal yang sangat kontras dan paradoks.

Semua lembaga agama dan tokoh-tokoh agama kompak menyuarakan bahwa perzinahan adalah hal yang buruk juga hina. Secara regulasi juga begitu, pasal 411 dan 412 dalam KUHP yang baru juga menunjukan bagaimana negara menghukum dan menolak adanya perzinahan dan kohabitasi. 

Namun di balik sikap tegas itu, masyarakat juga lah yang secara kolektif “mempersulit” pasangan muda untuk menikah.

Masyarakat kita sendiri yang melanggengkan praktik budaya tuntutan pernikahan yang mahal dan berorientasi pada gengsi. Kita secara terbuka menghukum gejalanya (kohabitasi), sambil secara diam-diam terus menyirami akarnya (pernikahan mahal).

Unbundling, Bentuk Perlawanan Budaya

Dari sisi pragmatisme ekonomi, lahir gerakan "Intimate Wedding" dan "Nikah di KUA" yang viral di media sosial. (Sumber: Pexels/Anastasiya Lobanovskaya)
Dari sisi pragmatisme ekonomi, lahir gerakan "Intimate Wedding" dan "Nikah di KUA" yang viral di media sosial. (Sumber: Pexels/Anastasiya Lobanovskaya)

Menghadapi fenomena ini, Generasi Z tidak tinggal diam. Munculah perlawanan-perlawanan organik yang bisa disebut upaya “unbundling” sebagai bentuk dekonstruksi sosial dengan cara membongkar dan memilih-milih komponen dari "paket pernikahan" tradisional.

Mereka mencoba mendefinisikan ulang apa itu pernikahan ideal yang sesuai dengan nilai dan kapasitas mereka.

Bentuk perlawanan ini datang dari spektrum ideologi yang beragam. Dari kelompok Islam, muncul gerakan seperti "Indonesia Tanpa Pacaran" yang mendorong pernikahan di usia muda dengan cara yang sederhana, mengambil esensi sakral dan legal dari pernikahan sambil membuang proses pacaran yang dianggap tidak sesuai syariat.

Gerakan ini juga sebagai bentuk mitigasi atas proses pacaran yang memiliki dampak negatif yang bisa dihindari dengan menyegerakan menikah.

Dari sisi pragmatisme ekonomi, lahir gerakan "Intimate Wedding" dan "Nikah di KUA" yang viral di media sosial. Gerakan ini adalah penolakan eksplisit terhadap budaya konsumerisme pernikahan.

Gerakan yang masih masif dikampanyekan oleh generasi muda ini hanya mengambil komponen inti (legalitas dan keintiman) dan membuang komponen yang memberatkan (pesta besar dan mahal).

Ada juga bentuk penolakan terhadap norma yang cukup radikal, seperti keputusan untuk menjalani hidup tanpa anak alias “Childfree.”

Dalam pilihan ini, pasangan secara sadar melepaskan peran tradisional pernikahan sebagai sarana punya keturunan, dan melihatnya lebih sebagai bentuk hubungan yang memberi kesenangan atau kebersamaan. Ini mengubah esensi pernikahan yang awalnya prokreasi menjadi rekreasi.

Semua respon ini menunjukkan perubahan cara pandang di mana orang merasa punya hak penuh untuk menentukan sendiri tujuan hidup dan makna pernikahan, tanpa terpaku pada aturan lama.

Semua bentuk perlawanan ini, dari yang paling konservatif hingga yang paling liberal, adalah bukti bahwa institusi pernikahan di Indonesia sedang dipaksa untuk beradaptasi atau berisiko kehilangan relevansinya sama sekali. (*)

Artikel Rekomendasi Untuk Anda

Disclaimer

Tulisan ini merupakan artikel opini yang sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Pandangan yang disampaikan dalam artikel ini tidak mewakili pandangan atau kebijakan organisasi dan redaksi AyoBandung.id.

Yaser Fahrizal Damar Utama , S.I.Kom
Pemerhati Budaya | Alumnus Universitas Padjadjaran
Nilai artikel ini
Klik bintang untuk menilai

Berita Terkait

News Update

Ayo Biz 18 Sep 2025, 20:46 WIB

Ketika Kuliner dan Visual Berpadu Resto Estetik Menjadi Destinasi Favorit

Generasi muda, khususnya Gen Z dan milenial, menjadikan kafe dan restoran sebagai latar konten, ruang ekspresi, bahkan simbol gaya hidup.
Bukan sekadar tempat bersantap, resto estetik kini menjadi destinasi wisata tersendiri. (Sumber: Instagram @Teuan.id)
Ayo Netizen 18 Sep 2025, 20:01 WIB

Filsafat Seni Islam

Tak ada salahnya membicarakan filsafat seni dalam agama Islam.
Ilustrasi karya seni yang islami. (Sumber: Pexels/Andreea Ch)
Ayo Biz 18 Sep 2025, 19:15 WIB

Komunitas Semut Foto Membangun Ekosistem Kreatif yang Menggerakkan Peluang Bisnis

Tanpa batas usia, tanpa syarat keanggotaan, dan tanpa biaya, KSF berdiri sebagai ruang inklusif yang merayakan keberagaman dalam seni visual.
Tanpa batas usia, tanpa syarat keanggotaan, dan tanpa biaya, KSF berdiri sebagai ruang inklusif yang merayakan keberagaman dalam seni visual. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Eneng Reni Nuraisyah Jamil)
Ayo Biz 18 Sep 2025, 18:14 WIB

Geliat Industri Printing IKM Jawa Barat di Tengah Ekonomi Lesu: Antara Inovasi dan Ketahanan

Di tengah bayang-bayang pelemahan ekonomi nasional, geliat industri printing skala kecil dan menengah (IKM) di Jawa Barat justru menunjukkan ketahanan.
Permintaan terhadap produk custom printing, print-on-demand, dan desain ramah lingkungan terus meningkat, membuka peluang baru bagi pelaku UMKM yang mampu beradaptasi dengan tren pasar. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Eneng Reni Nuraisyah Jamil)
Ayo Netizen 18 Sep 2025, 17:53 WIB

Muak, Muda, dan Miskin di Bandung

Bandung berlari cepat sementara kita tertinggal.
Kawasan pemukiman padat di Tamansari, Kecamatan Bandung Wetan, Kota Bandung, Sabtu 15 Februari 2025. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Irfan Al-Faritsi)
Ayo Netizen 18 Sep 2025, 14:34 WIB

Nostalgia Kaulinan Urang Sunda Zaman Baheula

Beberapa permainan anak di zaman dulu memiliki banyak manfaat untuk melatih daya sensorik dan motorik juga membangun kerjasama dan strategi.
Siswa mengikuti kegiatan permainan tradisional di SDN 164 Karangpawulang, Jalan Karawitan, Kota Bandung, Kamis 5 Desember 2024. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Kavin Faza)
Ayo Jelajah 18 Sep 2025, 13:18 WIB

Sejarah Bandung dari Kinderkerkhof sampai Parijs van Java

Tak banyak yang tahu, sejarah Bandung pernah identik dengan kuburan anak-anak Belanda. Lalu bagaimana ia bisa disebut Parijs van Java?
Lukisan Situ Patenggang Ciwidey di Kabupaten Bandung karya Franz Wilhelm Junghuhn tahun 1856. (Sumber: Wikimedia)
Ayo Netizen 18 Sep 2025, 12:35 WIB

Someah, Seunggah, jeung Bangkawarah

Yang paling seunggah saat menerima tamu, terutama geugeuden, ingin  menghidangkan bakakak, padahal waktunya mendadak. Alih-alih sidak!
Kirab Budaya Hari Jadi Ke-80 Provinsi Jawa Barat ini diikuti sedikitnya 250 peserta dari 27 kabupaten/kota. (Sumber: Ayobandung.com | Foto: Irfan Al-Faritsi)
Ayo Biz 18 Sep 2025, 12:35 WIB

Peran Jaket Riding Saat Motoran, Bukan Hanya Cegah Masuk Angin

Jaket riding adalah perlengkapan penting bagi pengendara motor yang dirancang khusus untuk memberikan perlindungan sekaligus kenyamanan selama berkendara. Fungsinya tidak hanya sebagai penahan angin
Ilustrasi Jaket Riding. (Foto: Pixabay)
Ayo Biz 18 Sep 2025, 10:17 WIB

Si Cantik Boemi Tirta, Kain Lukis Asal Bandung yang Menembus Dunia

Boemi Tirta berdiri atas gagasan Enneu Herliani (52), seorang perempuan yang menyalurkan hobi melukis menjadi bisnis kreatif. Sebelum meluncurkan merek ini, Enneu lebih dulu dikenal lewat Rumah Sandal
Produk Kain Lukis Boemi Tirta. (Foto: Rizma Riyandi)
Ayo Biz 18 Sep 2025, 09:34 WIB

Kedai Mochilok, Tempat Jajan Cilok Kekinian yang Bikin Kamu Ketagihan

Di Bandung ada banyak tempat makan unik, salah satunya Mochilok. Kedai ini merupakan sebuah tempat yang menyajikan cilok versi modern.
Makanan Tradisional Cilok (Foto: Freepik)
Ayo Netizen 18 Sep 2025, 09:03 WIB

Pentingnya Revitalisasi Sekolah demi Peningkatan Layanan Pendidikan

Menindaklanjuti pelaksanaan revitalisasi sekolah, yang merupakan prioritas Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen)
Menindaklanjuti pelaksanaan revitalisasi sekolah, yang merupakan prioritas Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen). (Sumber: Unsplash/Husniati Salma)
Ayo Netizen 17 Sep 2025, 20:02 WIB

Elipsis ... Cara Pakai Tiga Titik sebagai Tanda Baca

Elipsis adalah tanda baca berupa tiga titik (...) yang digunakan untuk menunjukkan ada bagian yang dihilangkan atau tidak disebutkan.
Elipsis adalah tanda baca berupa tiga titik (...) yang digunakan untuk menunjukkan ada bagian yang dihilangkan atau tidak disebutkan. (Sumber: Pexels/Suzy Hazelwood)
Ayo Jelajah 17 Sep 2025, 18:14 WIB

Sejarah Julukan Garut Swiss van Java, Benarkah dari Charlie Chaplin?

Dari Charlie Chaplin sampai fotografer Thilly Weissenborn, banyak dituding pencetus Swiss van Java. Tapi siapa yang sebenarnya?
Foto Cipanas Garut dengan view Gunung Guntur yang diambil Thilly Weissenborn. (Sumber: Wikimedia)
Ayo Biz 17 Sep 2025, 18:12 WIB

Jejak Rasa Kota Kembang: Menyelami Sejarah dan Tantangan Kuliner Legendaris Bandung

Bicara Bandung bukan hanya udara sejuk dan panorama pegunungan yang memikat, tapi juga salah satu pusat kreativitas dunia kuliner yang tumbuh subur.
Setiap jajanan legendaris Bandung menyimpan jejak sejarah, budaya, dan perjuangan para pelaku UMKM. (Sumber: Instagram @batagor_riri)
Ayo Biz 17 Sep 2025, 16:26 WIB

Berdaya di Tengah Derita, Cara Santi Safitri Menulis Ulang Takdir Masyarakat Jalanan

Kepedulian tak mengenal batas ruang dan waktu. Ia bisa tumbuh dari kejenuhan, dari ketidakpastian, bahkan dari rasa tak berdaya.
Kegiatan para anggota dari Komunitas Perempuan Mandiri (KPM) Dewi Sartika dalam usaha konveksinya. (Sumber: Dok. KPM Dewi Sartika)
Ayo Netizen 17 Sep 2025, 16:07 WIB

Kadedemes, dari Krisis Pangan menuju Hidangan Penuh Makna

Kadedemes adalah olahan makanan yang berasal dari kulit singkong.
Kadedemes Kuliner Warisan Suku Sunda (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: Dias Ashari)
Ayo Biz 17 Sep 2025, 15:13 WIB

Dari Simbol Status ke Ruang Ekspresi Diri, Generasi Muda Kini Menyerbu Lapangan Golf

Bukan sekadar olahraga, generasi muda, dari Milenial hingga Gen Z, mulai menjadikan golf sebagai bagian dari gaya hidup aktif dan reflektif.
Bukan sekadar olahraga, generasi muda, dari Milenial hingga Gen Z, mulai menjadikan golf sebagai bagian dari gaya hidup aktif dan reflektif. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Eneng Reni Nuraisyah Jamil)
Ayo Netizen 17 Sep 2025, 14:06 WIB

Lamsijan, Mang Kabayan, dan Langkanya Ilustrator Karakter Kesundaan

Saat ini ilustrator yang mengkhususkan diri mendalami karakter budaya Sunda sangatlah jarang. 
Komik Lamsijan. Saat ini ilustrator yang mengkhususkan diri mendalami karakter budaya Sunda sangatlah jarang. (Sumber: Istimewa | Foto: Istimewa)
Ayo Jelajah 17 Sep 2025, 12:36 WIB

Sejarah Stadion Si Jalak Harupat Bandung, Rumah Bersama Persib dan Persikab

Stadion kabupaten yang diresmikan 2005 ini kini jadi simbol Bandung. Rumah Persib, Persikab, Bobotoh, dan bagian dari sejarah sepak bola.
Stadion Si Jalak Harupat di Soreang yang jadi markas Persib Bandung dan Persikab. (Sumber: Pemkab Bandung)