Dedi Mulyadi vs M. Farhan: Larangan Study Tour, Pendidikan, dan Ekonomi Daerah

Guruh Muamar Khadafi
Ditulis oleh Guruh Muamar Khadafi diterbitkan Kamis 24 Jul 2025, 13:08 WIB
Gubernur Jabar Dedi Mulyadi dan Walkot Bandung M. Farhan. (Sumber: Humas Kota Bandung dan Kabupaten Bogor)

Gubernur Jabar Dedi Mulyadi dan Walkot Bandung M. Farhan. (Sumber: Humas Kota Bandung dan Kabupaten Bogor)

Sejak Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi mengumumkan larangan study tour bagi siswa SMA/SMK di wilayahnya, ruang publik kembali gaduh. Tidak sedikit yang mengapresiasi langkah tegas tersebut sebagai bentuk keberpihakan pada masyarakat kecil.

Di sisi lain, pelaku industri pariwisata hingga orang tua siswa mempertanyakan kebijakan ini. Bahkan, Wali Kota Bandung Muhammad Farhan mengambil langkah berbeda, mengizinkan study tour dengan sejumlah syarat yang ketat.

Dua kepala daerah, dua pendekatan. Keduanya menghadirkan narasi yang berbeda atas satu isu yang sama. Namun, di balik kebijakan itu, tersimpan dilema yang lebih dalam: antara perlindungan sosial dan keberlanjutan ekonomi, antara niat baik dan dampak nyata, antara simbol dan sistem.

Artikel ini mencoba menguraikan perbedaan keduanya, memetakan implikasi kebijakan, serta menakar urgensi hadirnya pendekatan yang lebih berimbang dan berbasis tata kelola.

Kewenangan yang Berbeda

Penting untuk terlebih dahulu memahami aspek struktural dalam pengambilan kebijakan ini. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, pengelolaan jenjang pendidikan dasar (SD dan SMP) menjadi kewenangan pemerintah kabupaten/kota, sedangkan jenjang menengah (SMA dan SMK) menjadi tanggung jawab pemerintah provinsi.

Dengan demikian, larangan yang dikeluarkan oleh Dedi Mulyadi berlaku untuk SMA/SMK yang menjadi wewenang Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Sebaliknya, Wali Kota Bandung memiliki otoritas penuh atas kebijakan pendidikan di jenjang SD dan SMP, sehingga keputusan Muhammad Farhan untuk tetap mengizinkan study tour berada dalam koridor kewenangan yang sah.

Konteks ini penting untuk membedakan wilayah intervensi masing-masing kepala daerah. Apa yang tampak sebagai perbedaan kebijakan sejatinya berakar dari perbedaan ruang lingkup kewenangan. Namun, lebih dari itu, ada perbedaan mendasar dalam logika kebijakan yang mereka tempuh.

Narasi Proteksi KDM: Membatasi Demi Melindungi

Kebijakan Dedi Mulyadi didasarkan pada dua pertimbangan utama: beban biaya dan keselamatan siswa.

Dalam berbagai pernyataan publiknya, Dedi menyebut bahwa banyak kegiatan study tour dilakukan tanpa urgensi pendidikan yang jelas, membebani orang tua siswa secara ekonomi, dan rentan terhadap praktik komersialisasi yang tidak sehat. Beberapa kasus kecelakaan bus pariwisata yang melibatkan siswa turut memperkuat argumen larangan ini.

Dalam kerangka itu, larangan total terhadap study tour diposisikan sebagai langkah preventif sekaligus simbol keberpihakan terhadap masyarakat kecil. Logika kebijakannya sederhana namun kuat, jika kegiatan itu berisiko, tidak mendesak, dan membebani, maka lebih baik ditiadakan.

Namun, kebijakan populis seperti ini seringkali tidak datang dengan kesiapan sistemik. Tidak ada skema pengawasan baru terhadap praktik pungutan liar di sekolah, tidak ada alternatif kegiatan edukatif yang didorong secara masif sebagai pengganti, dan tidak ada pemetaan dampak ekonomi dari larangan tersebut.

Narasi Adaptif Farhan: Mengatur, Bukan Melarang

Sementara itu, Farhan mengambil pendekatan yang lebih adaptif. Ia menyadari bahwa study tour tidak selalu identik dengan jalan-jalan atau praktik eksploitatif.

Jika dikelola dengan prinsip transparansi, partisipasi, dan edukasi, maka study tour justru bisa menjadi bagian dari proses belajar yang menyenangkan dan bermakna.

Farhan tidak membiarkan kegiatan ini berlangsung tanpa aturan. Ia menetapkan sejumlah syarat, study tour tidak boleh bersifat wajib, tidak boleh berdampak pada nilai siswa, dan harus melibatkan komite sekolah serta menyajikan rincian biaya yang transparan. Bahkan, ia menyatakan bahwa kepala sekolah bisa diberi sanksi jika kegiatan ini disalahgunakan.

Lebih jauh, Pemerintah Kota Bandung mulai mengembangkan ekosistem wisata edukatif yang ramah siswa. Museum Geologi, Taman Lalu Lintas, Saung Angklung Udjo, dan destinasi lokal lainnya diupayakan menjadi laboratorium pembelajaran yang terjangkau. Pendekatan ini mencerminkan semangat berinovasi tanpa mengabaikan kehati-hatian.

Nilai Ekonomi Study Tour

Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi dan Wali Kota Bandung Muhammad Farhan. (Sumber: Humas Pemrov Jabar dan Kota Bandung)
Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi dan Wali Kota Bandung Muhammad Farhan. (Sumber: Humas Pemrov Jabar dan Kota Bandung)

Salah satu aspek yang sering terlupakan dalam diskursus kebijakan pendidikan adalah dimensi ekonomi. Padahal, kegiatan study tour menyumbang perputaran uang yang tidak kecil bagi ekonomi daerah.

Mengutip estimasi dari pelaku industri pariwisata di Jawa Barat, rata-rata biaya study tour berkisar Rp1,5 juta per siswa. Dengan asumsi 30 persen dari 3 juta siswa SMP dan SMA di Jawa Barat mengikuti study tour setiap tahunnya, potensi perputaran uang bisa mencapai Rp1,35 triliun per tahun.

Uang itu mengalir ke berbagai sector seperti transportasi, penginapan, restoran, tempat wisata, pemandu, hingga pelaku UMKM lokal. Di tengah upaya pemulihan ekonomi pasca pandemi, larangan total terhadap kegiatan ini memberikan pukulan telak, terutama bagi sektor informal dan pelaku usaha kecil.

Industri bus pariwisata mencatat penurunan tajam dalam jumlah pesanan selama masa puncak study tour, yakni Mei hingga Juli 2025. Banyak sopir dan kru bus kehilangan penghasilan, penginapan edukatif di daerah-daerah seperti Lembang, Pangandaran, atau Garut mengalami penurunan okupansi, dan sentra oleh-oleh sepi pengunjung.

Dalam konteks inilah, kebijakan Farhan menjadi bentuk mitigasi ekonomi yang berakar dari pemahaman ekosistem. Ia tidak sekadar membiarkan kegiatan berlangsung, melainkan mengupayakan agar dampak ekonominya tetap berputar, dengan tata kelola yang lebih sehat.

Antara Simbol dan Sistem

Larangan study tour memang terdengar heroik. Ia tampil sebagai simbol keberpihakan dan perlindungan terhadap rakyat kecil. Namun, dalam kebijakan publik, simbol tanpa sistem seringkali berumur pendek. Tanpa reformasi tata kelola pendidikan, larangan ini hanya akan memindahkan masalah dari satu ruang ke ruang lain.

Jika tujuan utamanya adalah mengurangi beban orang tua, maka yang perlu dibenahi adalah sistem pembiayaan pendidikan dan regulasi pungutan.

Jika yang dikhawatirkan adalah keselamatan, maka yang perlu diperkuat adalah standar keamanan transportasi dan mekanisme seleksi penyedia jasa. Jika yang menjadi masalah adalah tujuan kegiatan yang tidak jelas, maka yang perlu dibangun adalah kurikulum pembelajaran kontekstual di luar kelas.

Kebijakan larangan hanya memotong rantai tanpa membenahi simpul. Ia memadamkan gejalanya, namun membiarkan akar persoalannya tetap tumbuh.

Menuju Solusi yang Berimbang

Perdebatan tentang study tour seharusnya tidak berhenti pada dikotomi “boleh atau tidak boleh.” Pertanyaan yang lebih mendesak adalah: bagaimana kita bisa menjadikan study tour sebagai wahana belajar yang aman, inklusif, dan bermakna?

Pertama-tama, yang dibutuhkan adalah pedoman nasional. Bukan untuk menyeragamkan segala hal, tapi sebagai payung prinsip yang memberi arah. Pedoman ini bisa mencakup aspek edukatif yang harus ada di setiap perjalanan, apakah itu kunjungan ke museum, pelatihan budaya, atau pengenalan lingkungan hidup.

Keamanan dan keselamatan pun perlu diatur secara tegas, termasuk batasan usia, protokol darurat, hingga akreditasi penyedia jasa transportasi.

Kedua, penting sekali membangun transparansi dan partisipasi. Sudah terlalu sering orang tua hanya diberi lembar pemberitahuan dan kewajiban membayar. Padahal, komite sekolah adalah forum demokratis yang seharusnya berfungsi sebagai ruang musyawarah.

Informasi soal biaya, tujuan, dan vendor harus dibuka. Lebih dari itu, perlu ada opsi keikutsertaan yang tidak berdampak pada nilai siswa. Tidak ikut bukan berarti absen dalam proses pembelajaran.

Ketiga, justru inilah momen untuk menguatkan destinasi lokal. Mengapa anak-anak harus pergi ke Yogyakarta atau Bali, kalau kebun teh, observatorium, pusat kerajinan tangan, atau kawasan cagar budaya di wilayah sendiri belum mereka kunjungi?

Pemerintah daerah bisa menyusun peta lokasi edukatif di setiap kabupaten/kota. Hal ini bukan hanya akan mengurangi biaya, tapi juga mendorong ekonomi lokal dan memperkuat identitas daerah.

Dan terakhir, semua ini butuh pengawasan dan evaluasi berkala. Bukan hanya surat izin dan laporan SPJ, tetapi evaluasi dampak terhadap pembelajaran, keselamatan, dan persepsi publik. Study tour bukan urusan operator travel, melainkan bagian dari proses pendidikan. Maka, penilaiannya pun harus menyentuh aspek-aspek tersebut.

Dari dua pendekatan, Dedi yang tegas melarang demi kesetaraan, dan Farhan yang longgar dengan prinsip sukarela. Kita bisa melihat bahwa masing-masing membawa niat baik. Namun, realitas di lapangan seringkali menuntut lebih dari sekadar kebijakan hitam-putih.

Diperlukan sistem yang adaptif, inklusif, dan berkeadilan, agar tak ada lagi anak yang menangis karena tak mampu ikut, atau orang tua yang merasa dipaksa membayar tanpa pilihan.

Perjalanan belajar di luar kelas, jika dirancang dengan bijak, bisa menjadi momen pembelajaran yang berkesan. Tapi tanpa kendali, ia bisa menjelma menjadi beban. Maka, mari sudahi perdebatan “boleh atau tidak.” Saatnya kita memilih jalan tengah: jalan pendidikan yang berpihak pada anak, orang tua, dan masa depan bangsa.

Mendidik dengan Kebijakan

Pendidikan sejatinya bukan hanya tugas guru, tetapi juga soal keberpihakan dalam kebijakan. Dalam setiap keputusan yang menyangkut dunia anak-anak, kita dituntut untuk berpikir lebih dari sekadar hitam dan putih. Tidak semua hal yang populer adalah benar, dan tidak semua hal yang rumit harus dihindari.

Dedi Mulyadi telah mengambil jalan proteksi, Farhan memilih jalan adaptasi. Masyarakat menyaksikan, menilai, dan merasakan dampaknya. Di tengah perbedaan itu, yang paling penting adalah memastikan bahwa kebijakan publik tetap berpijak pada akal sehat, empati, dan tata kelola yang baik.

Anak-anak tidak semestinya menjadi korban dari kebijakan yang gegabah. Mereka berhak mendapatkan pengalaman belajar yang utuh di dalam maupun di luar kelas. Dan kita, sebagai negara dan masyarakat, memiliki tanggung jawab untuk merancang pengalaman itu secara adil, aman, dan bermakna. (*)

Disclaimer

Tulisan ini merupakan artikel opini yang sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Pandangan yang disampaikan dalam artikel ini tidak mewakili pandangan atau kebijakan organisasi dan redaksi AyoBandung.id.

Guruh Muamar Khadafi
Analis Kebijakan Ahli Muda, Pusat Pembelajaran dan Strategi Kebijakan Talenta ASN Nasional Lembaga Administrasi Negara
Nilai artikel ini
Klik bintang untuk menilai

Berita Terkait

News Update

Ayo Biz 16 Sep 2025, 18:51 WIB

Bandung Bukan Milik Segelintir: BBFT dan Perjuangan Ruang yang Setara

Mereka ingin masyarakat melihat langsung bahwa difabel bukan kelompok yang terpisah. Mereka ada, dan mereka ingin dilibatkan.
BBFT ingin masyarakat melihat langsung bahwa difabel bukan kelompok yang terpisah. Mereka ada, dan mereka ingin dilibatkan. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Eneng Reni Nuraisyah Jamil)
Ayo Netizen 16 Sep 2025, 18:31 WIB

Huruf Kapital Tak Boleh Diabaikan, tapi Kapan Jangan Digunakan?

Tanpa huruf kapital, tulisan formal menjadi hamparan kata yang tak punya penekanan, kehilangan nuansa dan martabat.
Tanpa huruf kapital, tulisan formal menjadi hamparan kata yang tak punya penekanan, kehilangan nuansa dan martabat. (Sumber: Pexels/Brett Jordan)
Ayo Jelajah 16 Sep 2025, 17:33 WIB

Sejarah Gempa Besar Cianjur 1879 yang Guncang Kota Kolonial

Catatan sejarah Belanda ungkap 1.621 rumah hancur, dari penjara hingga gudang garam, akibat guncangan berhari-hari.
Dokumentasi kerusakan gempa Cianjur 1879. (Sumber: KITLV)
Ayo Biz 16 Sep 2025, 16:48 WIB

Reggae Menggema dari Lereng Bandung, Jejak The Paps dan Generasi Musik Bebas

Dari gang-gang kecil tempat anak muda berkumpul, hingga panggung-panggung komunitas yang tak pernah sepi, Bandung jadi rumah bagi banyak eksperimen musikal yang berani.
The Paps, band reggae asal Bandung yang tak hanya memainkan musik, tapi juga merayakan kebebasan dalam berkarya. (Sumber: dok. The Paps)
Ayo Netizen 16 Sep 2025, 16:10 WIB

Upaya Menyukseskan Program Revitalisasi Sekolah

Revitalisasi sekolah merupakan program pemerintah saat ini yang layak untuk diapresiasi.
Revitalisasi sekolah merupakan program pemerintah saat ini yang layak untuk diapresiasi. (Sumber: Unsplash/Husniati Salma)
Ayo Biz 16 Sep 2025, 15:37 WIB

Menyulam Asa di Dapur UMKM: Tiga Kisah Perjuangan, Inovasi, dan Harapan

Tiga sosok tangguh dari Bandung ini membuktikan bisnis kecil bisa punya dampak besar asal dijalani dengan tekad, inovasi, dan dukungan publik yang berkelanjutan.
Produk brownies bites yang gluten free, dairy free, dan low sugar dari Battenberg3. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Eneng Reni Nuraisyah Jamil)
Ayo Netizen 16 Sep 2025, 15:00 WIB

Kasian, Kota Bandung Tak Punya Gedung Festival Film

Ya, Bandung kota seni yang tak Nyeni. Seperti gadis cantik yang belum mandi.
Kota Bandung tak punya Gedung Festival Film. (Sumber: Pexels/Tima Miroshnichenko)
Ayo Jelajah 16 Sep 2025, 14:15 WIB

Sejarah DAMRI, Bus Jagoan Warga Bandung

Sejak 1960-an, DAMRI mewarnai jalanan Bandung. Dari trial and error, berkembang jadi transportasi publik penting, kini hadir dengan armada bus listrik.
Bus DAMRI jadul di Kota Bandung. (Sumber: Ayobandung)
Ayo Biz 16 Sep 2025, 12:14 WIB

Mouthwash, Bukan Hanya Sekedar Obat Kumur yang Bikin Napas Segar

Mouthwash atau obat kumur adalah cairan khusus yang digunakan sebagai pelengkap perawatan mulut dan gigi. Fungsinya tidak hanya untuk menyegarkan napas, tetapi juga membantu mengurangi jumlah bakteri
Mouthwash Listerin. (Foto: Pixabay)
Ayo Biz 16 Sep 2025, 10:21 WIB

Elastico 7, Cerita Dua Sahabat Membangun Brand Olahraga hingga Go Internasional

Industri fesyen olahraga di Indonesia terus berkembang, dan salah satu merek lokal yang berhasil menorehkan prestasi hingga kancah internasional adalah Elastico 7. Brand asal Bandung ini lahir satu de
Produk Jersey Elastico 7 (Foto: GMAPS)
Ayo Biz 16 Sep 2025, 08:52 WIB

Toko Roti Legendaris di Bandung, Berdiri Sejak 1954

Toko Roti Sidodadi, Legenda Kuliner Bandung yang Tetap Bertahan Sejak 1954Bandung dikenal memiliki deretan kuliner legendaris, salah satunya Toko Roti Sidodadi yang sudah berdiri sejak 1954. Meski usi
Aneka Jenis Roti di Toko Roti Sidodadi. (Foto: GMAPS)
Ayo Netizen 16 Sep 2025, 08:29 WIB

Menikmati Perkedel Ibu Kokom 3 dan Syahdu Alam Cimenyan

Menikmati perkedel ibu kokom sambil melihat dago dari atas menjadi pengalaman baru yang luar biasa.
Warung Prekedel Ibu Kokom 3 (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: Dias Ashari)
Ayo Netizen 15 Sep 2025, 20:00 WIB

Berkenalan Lagi dengan Ayobandung.id, Perjalanan Bulan Keempat AYO NETIZEN

Ayobandung.id ini telah berkembang menjadi rumah bagi 610 anggota saluran WhatsApp (baik penulis ataupun pembaca setia).
Ayobandung.id ini telah berkembang menjadi rumah bagi 610 anggota saluran WhatsApp (baik penulis ataupun pembaca setia). (Sumber: Unsplash/Workperch)
Ayo Biz 15 Sep 2025, 18:01 WIB

Inovasi Kebab Manis dan Strategi Bertahan di Tengah Dinamika Kuliner Bandung

Persaingan yang ketat, perubahan selera yang cepat, dan tuntutan konsumen akan pengalaman makan yang unik membuat pelaku usaha harus terus berinovasi.
Kebab bisa tampil elegan dan tetap relevan di tengah tren kuliner kekinian. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Eneng Reni Nuraisyah Jamil)
Ayo Jelajah 15 Sep 2025, 17:05 WIB

Kecelakaan Bus di Wado Sumedang 2021, Tragedi Study Tour yang Renggut 29 Korban

Suasana riuh study tour berubah jadi duka saat bus rombongan SMP IT terjun ke jurang Wado, Sumedang, 2021. Tragedi maut ini merenggut 29 korban jiwa.
Bus study tour yang terguling dalam kecelakaan di Wado, Sumedang, tahun 2021. (Sumber: Polri)
Ayo Biz 15 Sep 2025, 17:02 WIB

Creavill Menyalakan Lentera Pemberdayaan dari Rumah Baca ke Bisnis Berkelanjutan

Creavill bukan sekadar sebagai komunitas relawan melainkan katalis perubahan sosial yang mengakar dari literasi dan semangat kewirausahaan.
Creavill bukan sekadar sebagai komunitas relawan melainkan katalis perubahan sosial yang mengakar dari literasi dan semangat kewirausahaan. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Eneng Reni Nuraisyah Jamil)
Ayo Biz 15 Sep 2025, 15:39 WIB

Semangat April Merintis Kafe Klasik Modern di Tengah Ramainya Bisnis Kuliner Bandung

April memilih jalur kuliner sebagai bentuk eksplorasi diri dan kontribusi terhadap identitas kota Bandung sebagai kota kuliner.
Di tengah menjamurnya bisnis kuliner, satu nama datang dengan semangat dan konsep yang unik yakni Non Kitchen & Coffee. (Sumber: dok. Non Kitchen & Coffee)
Ayo Netizen 15 Sep 2025, 14:19 WIB

Kita dan Bandung: Kebuntuan Kota yang Katanya Maju

Kesan berada dan beradab, ilusi gaya hidup, dan beban modernitas yang kita ikut pelihara di Bandung.
Sejumlah pengunjung bermain di Taman Alun-Alun Bandung, Jalan Asia-Afrika, Kota Bandung, Sabtu 5 April 2025. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Irfan Al-Faritsi)
Ayo Netizen 15 Sep 2025, 13:03 WIB

Krisis Kepercayaan Publik terhadap Aksi 'Minta Tolong' di Bandung

Maraknya orang asing yang meminta bantuan di jalan tapi ternyata hanya modus membuat sebagai masyarakat hilang kepercayaan.
Sering kali muncul krisis kepercayaan kepada orang yang meminta bantuan secara tiba-tiba di Bandung. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Irfan Al-Faritsi)
Ayo Biz 15 Sep 2025, 12:15 WIB

Tren Membawa Kotak Bekal: Bisa Hemat, Sehat dan Lebih Ramah Lingkungan

Kotak bekal berfungsi sebagai wadah praktis untuk menyimpan sekaligus membawa makanan ke berbagai aktivitas, baik sekolah, kantor, maupun perjalanan. Dengan adanya kotak bekal, makanan dapat terjaga
Ilustrasi Foto Kotak Bekal. (Foto: Pixabay)