BANDUNG sering dipuja karena keindahannya.
Jalan-jalan dengan pepohonan rindang, taman-taman yang dirancang estetik, dan suasana kota yang adem menyuguhkan citra Bandung sebagai kota yang geulis. Kata "geulis" bukan sekadar berarti cantik, tapi juga mengandung unsur keanggunan dan daya tarik alami.
Hingga kiwari, Bandung masih menjadi magnet wisata, tempat orang mencari ketenangan sekaligus inspirasi visual. Namun, citra itu menyimpan sisi lain yang jarang dibicarakan secara jujur.
Ketika hujan deras turun, Bandung bukan lagi kota yang geulis. Ibukota Jawa Barat ini berubah jadi kota yang cemas. Ketakutan sebagian warga muncul bukan tanpa alasan. Tatakala hujan datang, banjir cileuncang menjadi langganan.
Sebagaian jalanan Bandung tergenang. Got-got meluap. Danau dadakan terbentuk. Warga harus menggulung celana, bahkan mengevakuasi barang berharga.
Dalam hitungan menit, mobil mogok, sepeda motor terjebak, dan arus lalu lintas di sejumlah ruas jalan lumpuh total. Ini bukan cerita fiksi. Tapi, realita.
Hujan yang turun deras di Bandung, bagi sebagian warga, bukan lagi sekadar berkah. Ia berubah jadi ancaman dan petaka. Air hujan yang seharusnya meresap atau dialirkan dengan baik justru menggenang. Kondisi Ini bukan kejadian baru.
Banjir dan genangan sudah jadi bagian dari kehidupan sebagian warga Bandung, terutama di kawasan rendah atau daerah-daerah yang berdekatan dengan aliran sungai.
Bahkan, beberapa wilayah sudah menjadi langganan banjir. Ini seperti ironi tetap yang tak terselesaikan dari tahun ke tahun.
Di sisi lain, Bandung punya banyak taman kota yang tampak hijau dan segar, dan membuat Bandung geulis campernik. Dari Taman Balai Kota sampai Teras Cikapundung, semuanya tampak menggoda kita untuk berswafoto.
Estetika taman turut menjadi simbol kemajuan kota. Tapi, taman yang cantik tak selalu identik dengan kota yang benar-benar sehat.
Artinya, keindahan visual saja masih belum cukup. Estetika saja tak bisa menggantikan fungsi dasar kota, yakni melindungi warganya dari bencana. Infrastruktur kota harus benar-benar mampu mendukung kenyamanan dan keamanan warganya.
Kota yang ideal tidak hanya indah dilihat maupun sedap dipandang, melainkan pula kuat dan tahan terhadap perubahan cuaca ekstrem.
Bukan kurang geulis

Salah satu masalah utama Bandung saat ini bukan kurang geulis, tapi kurang kuat menahan air. Sistem drainase yang tidak diperbarui, alih fungsi lahan, terutama di bagian hulu, dan buruknya manajemen sampah memperparah situasi.
Kota yang padat seperti Bandung, tanpa perencanaan menyeluruh, bakal sulit beradaptasi. Ketika curah hujan meningkat, semua kelemahan itu terekspos dengan nyata.
Di satu sisi, Bandung merepresentasikan citra sebagai kota kreatif dan kota bunga. Di sisi lain, kota ini kesulitan menangani urusan mendasar berupa air hujan yang tak tertampung dan akhirnya meluap melahirkan banjir lokal.
Menurut laporan Bappenas 2021, lebih dari 30 persen wilayah kota Bandung berada di zona rawan banjir. Sementara itu, sistem drainase kota hanya mampu menampung air untuk hujan sedang. Artinya, setiap kali terjadi hujan ekstrem, risiko banjir langsung di kota ini meningkat.
Saat hujan ekstrem datang, air tak tahu harus lari ke mana. Jalanan jadi danau dan sungai dadakan. Rumah-rumah warga kebanjiran. Warga yang tidak punya pilihan selain bertahan, harus menyaksikan perabot rusak, dokumen penting basah, dan akses jalan tertutup air.
Dalam hal ini, lirik-lirik lagu bertajuk Here Comes the Rain Again dari Eurythmics terasa relevan namun juga membawa alarm bahaya. Hujan di Bandung bukan lagi momen romantis, tapi memori yang yang mengingatkan pada petaka. Ia membawa kecemasan, bukan ketenangan.
Jika kita telisik, salah satu biang kerok yang menyebabkan Bandung geulis menjadi Bandung banjir karena banyak area yang dulunya hijau kini jadi perumahan atau pusat-pusat komersial.
Dalam jangka panjang, hal ini menyebabkan defisit area serapan air. Kota kehilangan kemampuannya untuk menyerap air secara alami.
Permukaan keras seperti aspal dan beton membuat air tak bisa meresap ke tanah. Lihat saja sepanjang Dago. Dulu, halaman-halaman rumah atau gedung di Dago dihiasi hamparan rumput. Kini, lebih banyak beton dan aspal terhampar.
Air akhirnya mengalir cepat ke tempat lebih rendah, lalu meluap. Semakin luas wilayah terbetonisasi, semakin tinggi risiko banjir.
Ditambah lagi, masih banyak warga membuang sampah ke selokan. Bahkan, ke sungai. Aliran air terhambat. Lumpur menumpuk. Drainase pun gagal bekerja dengan semestinya. Kebiasaan buruk ini memperparah keadaan.
Konsep tata kota yang berkelanjutan harus mampu menjawab tantangan perubahan iklim dan banjir musiman. Kota harus tanggap terhadap realitas iklim yang makin tak terduga. Jika tidak, kita hanya akan menata permukaan dan melupakan kedalaman.
Bandung perlu mengelola air secara cerdas, dengan cara menampung, menyimpan, dan melepas dengan sistem yang adaptif terhadap iklim. Bandung harus didesain agar mampu menyerap air seperti spons, lewat taman resapan, kolam retensi, dan jalur air alami.
Teladan bagi kota lain

Bandung seharusnya bisa jadi teladan bagi kota-kota lain di Indonesia. Kota ini punya komunitas kreatif, arsitek andal, dan aktivis lingkungan yang progresif.
Jika semua kekuatan itu dikonsolidasikan, Bandung bisa menjadi model. Tapi, butuh sinergi yang kuat, bukan sekadar inisiatif terpisah-pisah.
Dan itu semua harus ditopang oleh kemauan politik. Tanpa dukungan anggaran dan visi jangka panjang, Bandung hanya akan berkutat pada proyek-proyek tempelan serta temporer. Pemimpin kota harus berani mengambil keputusan strategis. Tanpa itu, visi hanya tinggal wacana.
Keberadaan taman-taman yang indah di Bandung akan sia-sia jika drainase masih tetap sempit dan tersumbat. Air tak butuh estetika. Ia butuh ruang untuk mengalir.
Jadi, air akan tetap mencari jalan. Dan jika tak diberi, ia akan menerobos. Maka, perencanaan kota harus benar-benar berpihak pada air. Bukan malah melawannya.
Oleh sebab itu, butuh revisi besar terhadap master plan kota. Perlu ada integrasi antara estetika dan fungsionalitas. Bandung harus menyeimbangkan antara rupa dan isi.
Warga juga punya peran penting dalam hal ini. Kesadaran untuk tidak membuang sampah sembarangan adalah langkah kecil tapi signifikan. Bandung tak akan berubah menjadi semakin baik kalau manusianya tetap acuh.
Sekolah-sekolah bisa mengajarkan literasi iklim sejak dini. Anak-anak perlu tahu bahwa Bandung yang indah juga harus tahan cuaca ekstrem. Pendidikan adalah investasi jangka panjang yang sering dilupakan. Padahal, perubahan dimulai dari pemahaman.
Urbanisasi yang dialami Bandung memang tak bisa dicegah sepenuhnya. Tapi, ini bisa diarahkan. Perencanaan kota harus memikirkan 20 tahun -- bahkan 50-100 tahun -- ke depan.
Bukan cuma foto hari ini dan sebulan kemudian. Bandung harus merancang masa depannya dengan keberanian.
Belajar dari kota lain

Bandung harus mampu pula belajar dari kota-kota lain yang sukses mengelola air. Singapura, misalnya, mengintegrasikan sistem kanal dan ruang publik dalam satu desain terpadu. Kota ini bukan hanya tahan banjir, tapi juga menjadikan air sebagai elemen estetika.
Bandung juga harus terbuka terhadap inovasi lokal. Banyak komunitas di Bandung yang sudah punya solusi kecil, seperti lubang biopori, taman vertikal, hingga bank sampah. Solusi akar rumput bisa jadi katalis perubahan jika didukung serius.
Tapi, solusi kecil butuh dukungan besar. Pemerintah tak bisa bekerja sendiri. Swasta, akademisi, dan warga perlu duduk bersama. Artinya, perlu ada gotong royong semua elemen.
Bandung bisa terus geulis tanpa takut hujan. Tapi, itu hanya mungkin kalau kita semua serius menata ulang kota ini. Estetika dan fungsionalitas harus berjalan beriringan. Kalau tidak, Bandung hanya akan jadi kota geulis yang rentan.
Jangan biarkan Bandung jadi kota Instagram yang menipu kenyataan. Keindahan harus berpihak pada kenyamanan hidup semua warga. Kota bukan panggung. Kota adalah rumah bagi semua.
Bandung geulis bukan sekadar tampilan luar. Bandung yang benar-benar geulis adalah kota yang kuat menampung air, sabar menghadapi hujan, dan adil pada semua warganya.
Itulah definisi geulis yang sesungguhnya. Singkatnya, Bandung bukan hanya sedap dipandang, tapi juga layak dihuni. (*)