AYOBANDUNG.ID — Sekolah Rakyat untuk jenjang Menengah Pertama (SRMP) 9 Kota Bandung yang berlokasi di komplek Wyata Guna, Jalan Pajajaran, telah diresmikan pada Senin, 14 Juli 2025, secara serentak. Akan tetapi, SLBN A Pajajaran kehilangan salah satu gedung. Itu karena gedung tersebut dirombak oleh pemerintah demi keberlangsungan Sekolah Rakyat.
Padahal sekolah khusus pelajar disabilitas ini kekurangan ruang kelas sejak lama. Kondisinya diperparah dengan perubahan fungsi satu gedung tersebut. Akibatnya, satu kelas saat ini diisi oleh lebih dari satu rombongan belajar.
Semua bermula ketika Presiden RI Prabowo Subianto menginisiasi program untuk mengentaskan kemiskinan. Dibangunlah Sekolah Rakyat. Lokasi gedungnya berada di lahan milik Kementerian Sosial (Kemensos), salah satunya seperti komplek Wyata Guna.
Berdasarkan laman Kemensos, luas area Wyata Guna sekitar 4,5 hektare dan menjadi panti disabilitas netra. Ada sejumlah fasilitas di sana selain SLBN A Pajajaran, diantaranya ruang konseling, ruang terapi wicara, hingga ruang fisioterapi.
Ketika berkunjung pekan lalu, di sana terdapat lahan yang belum didirikan bangunan. Misalnya seperti di sebelah kiri gerbang utama. Akan tetapi, pembangunan gedung untuk Sekolah Rakyat justru membongkar gedung D SLBN A Pajajaran.
Tim Pengembang Kurikulum yang juga menjabat sebagai PLH Kepala Sekolah SLBN A Pajajaran, Rian Ahmad Gumilar menyebut awalnya sekolah memiliki 4 gedung, yakni gedung A, B, C, dan D. Dua diantaranya dirombak demi sekolah rakyat.
Ironisnya, pembongkaran gedung dilakukan ketika proses ujian akhir semester tengah berlangsung pada 15 Mei 2025. Imbasnya, sebagian siswa jenjang SMA dipindahkan sementara ke SLBN Cicendo agar bisa mengerjakan ujian.
"Gedung D itu diminta untuk digunakan sekolah rakyat. Sehingga anak-anak yang belajar di gedung D harus direlokasi ke SLB Cicendo," kata dia saat ditemui, Senin, 14 Juli 2025.
Di tahun ajaran baru ini, seluruh siswa SLBN A Pajajaran menimba ilmu di ruangan yang tersisa. Gedung B dan C dimaksimalkan untuk proses belajar-mengajar. Sedangkan gedung A untuk ruangan TU hingga bendahara. "Kita optimalkan gedung yang ada," ucapnya.
Meski berdampak pada kebutuhan ruang kelas, Rian mengaku pihaknya tak keberatan. Sekolah fokus untuk memberikan ilmu kepada para murid kendati dalam satu kelas terdapat beberapa rombel.
Sebab sebelum Sekolah Rakyat ada, ia menyebut SLBN A Pajajaran memang sudah kekurangan kelas. Namun proses pembelajaran masih berlangsung dengan fasilitas terbatas.
Kini, dalam satu ruangan kelas, dapat diisi oleh dua atau tiga rombel. Ini dilakukan untuk menambal masalah kekurangan kelas. Namun masalah lainnya menanti, yakni setiap jenis disabilitas memiliki metode pembelajaran yang berbeda.
Oleh karena itu pihaknya akan memetakan siswa berdasarkan jenis disabilitas. Sehingga dalam satu kelas, walaupun terdapat beberapa rombel, mereka diberikan metode yang sama ketika belajar meski jenjangnya berbeda.
"Ya, harapannya seperti itu. Mau tidak mau sih kondisi seperti itu tetap mengurangi efektifitas, tetapi kita maksimalkan yang ada. Idealnya kalau mengacu ideal, tetap satu ruangan itu, satu rombongan belajar," kata Rian sembari berharap.
Meski berbagi lahan, dua lembaga ini berjalan dengan jalur birokrasi yang berbeda. Tahun ini, SLBN tersebut menerima 26 peserta didik baru dari jenjang TK hingga SMPLB. Total peserta Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) mencapai 114 siswa. Proses orientasi berlangsung bersamaan dengan agenda serupa di sekolah rakyat, namun belum ada gesekan berarti.
Menurut Rian, keberadaan dua institusi dalam satu kompleks tak akan menimbulkan gangguan. Justru, ia membuka kemungkinan kolaborasi untuk membentuk lingkungan yang lebih inklusif.
"Mereka juga harus memahami kondisi anak-anak berkebutuhan khusus. Begitu pun kami harus bisa beradaptasi dengan kehadiran mereka," katanya.
Sekolah Rakyat yang berlokasi di komplek Wyataguna, jalan Pajajaran, ini diisi oleh 30 siswa dan 20 siswi. Puluhan pelajar ini berasal dari keluarga miskin ekstrem sesuai dengan DTSEN. Setelah mengikuti cek kesehatan dan MPLS, para murid akan berpisah dengan orang tuanya. Mereka akan langsung menginap di asrama.
Asrama untuk murid dalam satu kamar dapat diisi oleh lebih dari 5 murid. Adapun ranjang yang digunakan ranjang tingkat. Kamar juga difasilitasi meja belajar, kursi, hingga kipas angin.

Sementara untuk kelas, pemerintah menyediakan 7 ruangan yang dapat diisi oleh satu rombongan belajar—terdiri dari 25 murid. Selain itu, ada ruangan untuk kelas khusus seperti sains dan bahasa. Total murid di Sekolah Rakyat di Wyata Guna berjumlah 50 orang, dengan rincian 30 pria dan 20 wanita.
"Kurikulum sekolah rakyat sama kaya SMP lainnya. Hanya disini lebihnya adalah ke-asramaan untuk membangun karakter yang unggul. Jadi kebangsaannya ada, karakternya ada," kata Kepala SRMP 9 Kota Bandung, Setia Nugraha, tempo waktu.
Meski tinggal di asrama, murid-murid tak bisa bebas melakukan kegiatan sesuka hatinya. Ada aturan atau kebiasaan yang mesti ditaati. Contohnya seperti bangun lebih awal, tidak boleh membawa hp, tidur tidak diatas jam 9 malam, hingga beribadah.
"Beres sekolah nanti ada kegiatan-kegiatan yang akan mendidik karakter. Jadi karakter mereka nanti akan muncul, akhlak mulia, akhlak kebangsaan," katanya
Pokoknya pribadi yang unggul untuk dipersiapkan di Indonesia di tahun 2045,", lanjutnya.
Setia menyebut kendati tak boleh memainkan gawai, para murid diperbolehkan untuk bertemu dengan orang tuanya. Caranya bisa melalui wali murid. Namun dengan catatan pertemuan itu harus diluar jam belajar.
"Pemerintah memang hendak memuliakan anak-anak yang mulanya rawan. Sekarang pemerintah menyediakan, dimuliakan. Yang dulunya tidak terjangkau, sekarang terjangkau," ujarnya.
Ketika ditanya soal bertetanggaan dengan SLBN A Pajajaran, ia menyebut tidak akan terganggu, baik untuk Sekolah Rakyat ataupun SLBN.
"Jadi kami dengan SLB di sini adalah tetangga baik. Jadi semuanya di sini, di sentra sini ada. Di sini kan ada rehab, kemudian ada SLB, ada sekolah rakyat sekarang," bebernya. (*)