AYOBANDUNG.ID - Subuh baru saja lewat ketika kegaduhan kecil membangunkan warga Kampung Ciseuti, Desa Jalan Cagak, Kabupaten Subang, Jawa Barat, pada Rabu pagi, 18 Agustus 2021. Suara aneh terdengar samar dari sebuah rumah besar di sudut jalan. Seorang pria bernama Yosep Hidayah berdiri termangu di depan rumahnya. Istrinya, Tuti Suhartini (55), dan anak perempuannya, Amalia Mustika Ratu (23), tak tampak batang hidungnya. Namun, yang lebih mengganggu adalah keadaan rumah yang berantakan dan jejak darah yang tercecer dari dalam rumah menuju garasi.
Yosep mengikuti jejak itu. Ia membuka pintu bagasi Toyota Alphard putih yang terparkir. Di dalamnya, dua tubuh perempuan tergeletak kaku, bersimbah darah. Suara gemeretak dari engsel bagasi menjadi saksi bisu dari mimpi buruk yang baru saja dimulai. Tubuh mereka sudah dingin. Darah telah mengering di sela-sela karpet bagasi. Aroma besi menyengat menusuk hidung. Pagi itu, Subang berubah menjadi lokasi pembantaian yang tidak biasa.
Polisi datang tak lama kemudian. Garis kuning dipasang, kamera forensik mulai menyala, dan mulut warga bergetar dalam bisikan. Subang, yang biasanya tenang, berubah menjadi panggung dari salah satu kasus pembunuhan paling membingungkan dalam sejarah kriminal Indonesia. Media nasional berdatangan. Polisi bergerak cepat, namun misteri yang satu ini justru semakin kabur seiring waktu.
Rumah Tanpa Teriakan, Kematian Tanpa Saksi
Tak butuh waktu lama bagi penyidik untuk menyimpulkan bahwa pelaku kemungkinan besar dikenal oleh korban. Tak ada bekas congkelan jendela, tak ada pintu rusak. Barang-barang berharga di dalam rumah tak satu pun hilang. Namun dua perempuan tewas secara brutal. Hasil autopsi menunjukkan tengkorak Tuti dan Amalia pecah akibat hantaman benda tumpul. Yang mengejutkan, waktu kematian mereka berbeda: Tuti diduga tewas sekitar tengah malam, sedangkan Amalia menyusul lima jam kemudian, menjelang fajar.
"Yang pasti korban kenal dengan pelaku," ujar Kasat Reskrim Polres Subang AKP M. Zulkarnaen dua hari setelah kejadian, Jumat, 20 Agustus 2021.
Baca Juga: Hikayat Sunda Empire, Kekaisaran Pewaris Tahta Julius Caesar dari Kota Kembang
Tak ada teriakan yang terdengar malam itu. Tetangga hanya mengingat sunyi yang tidak biasa. Penyerang bergerak tanpa jejak kasar, seolah tahu betul seluk-beluk rumah. Dari analisis forensik, polisi menyebutkan adanya dua jenis jejak kaki, mengindikasikan lebih dari satu pelaku. Hasil investigasi memperlihatkan bahwa tak ada satupun rekaman CCTV yang bisa dijadikan petunjuk berarti. Gerak para pelaku terlalu rapi.
"Diduga lebih dari satu orang," kata Kapolres Subang kala itu, AKBP Sumarni. Ia juga menyebut bahwa korban sempat dimandikan sebelum dimasukkan ke bagasi mobil. Sebuah tindakan janggal, menyerupai ritual, bukan tindakan tergesa. Dugaan bahwa pelaku adalah orang dekat semakin menguat. Apalagi, pembunuhan terjadi saat Yosep, sang kepala keluarga, tidak berada di rumah.
Tapi dari semua yang ditemukan, hanya satu benda yang hilang: telepon seluler milik Amalia. Tidak ada barang berharga lain yang raib. Itu mempertebal keyakinan bahwa motif perampokan bisa disingkirkan sejak awal. Kasus ini sejak awal tak biasa. Banyak motif berseliweran: asmara, warisan, kecemburuan, dendam. Tapi tak ada satupun yang benar-benar pasti.
Siapa yang Berbohong?
Yosep Hidayah langsung masuk ke dalam daftar panjang kecurigaan. Ia adalah suami Tuti, ayah Amalia, dan orang pertama yang menemukan mayat. Pada hari kejadian, Yosep mengaku sedang berada di luar kota untuk urusan pekerjaan. Namun belakangan diketahui ia bermalam di rumah istri mudanya, seorang perempuan bernama Mimin.
“Keterangan saudara Y bahwa pada malam hari saudara Y berada di istri mudanya,” kata Kabid Humas Polda Jabar, Kombes Erdi Chaniago.
Keterangan itu bukan hanya membingungkan, tetapi juga membuka kotak pandora tentang kehidupan rumah tangga Yosep yang ternyata tidak harmonis. Mimin menjadi sorotan. Keluarga besar Tuti menyebut bahwa Mimin beberapa kali menunjukkan sikap tidak bersahabat dan mengucap ancaman. Namun begitu, semua tuduhan itu mental di hadapan fakta hukum yang minim bukti.
Baca Juga: Kapal Laut Garut jadi Korban Torpedo Jerman di Perang Dunia II
Kuasa hukum Mimin, Robert Marpaung, membantah semua tuduhan. “Kami dari pihak Bu Mimin berharap kejadian ini cepat terungkap. Supaya terang benderang, supaya tidak ada tuduh-menuduh,” ujarnya.
Polisi bergerak dengan berbagai upaya: tes kebohongan terhadap Yosep dan Mimin, olah TKP ulang, serta autopsi kedua terhadap jasad korban. Bahkan polisi membongkar kembali makam keduanya dua kali untuk penyelidikan tambahan. Tapi semua jalan seolah mentok. Sketsa wajah pelaku dari belakang sempat dirilis ke publik, tapi tak membuahkan hasil. Total 69 orang saksi diperiksa. Belum juga cukup. Tes DNA dilakukan terhadap 49 orang. Hasilnya nihil.
Waktu terus berjalan. Tahun berganti. Kasus ini perlahan mulai tenggelam dari pemberitaan. Sampai sebuah pengakuan tiba-tiba mengguncang publik.

Ketika Kebenaran Datang Terlambat
Dua tahun setelah pembunuhan, tepatnya pada 17 Oktober 2023, seorang pria bernama M. Ramdanu menyerahkan diri ke Polda Jabar. Ia adalah keponakan Tuti. Danu, begitu ia akrab disapa, membawa serta cerita yang mengejutkan. Ia mengaku terlibat dalam pembunuhan tersebut. Polisi langsung bergerak cepat.
Tak lama kemudian, lima orang ditetapkan sebagai tersangka: Danu, Yosep, Mimin, serta dua anak Mimin, Arighi dan Abi. Nama-nama yang selama ini hanya disebut-sebut dalam spekulasi, kini resmi menjadi terdakwa di mata hukum.
"Yang jelas betul Pak Yosep, Bu Mimin, Arighi dan Abi ditetapkan jadi tersangka berdasarkan pengakuan sepihak yang dilakukan oleh Saudara Danu," ujar kuasa hukum Yosep, Rohman Hidayat.
Yosep tak tinggal diam. Ia membantah semua tuduhan. Di hadapan wartawan, ia berteriak, "Saya difitnah jadi pembunuh istri dan anak saya!" Saat digelandang ke Lapas Subang, ia berkata, "Nanti lihat di persidangan, akan saya buktikan bahwa saya tak bersalah."
Kuasa hukum Danu, Achmad Taufan, menjelaskan bahwa kliennya sempat bungkam karena takut dibunuh. "Kalau saya bongkar, saya nanti dimatiin juga," ucapnya menirukan pengakuan Danu. Namun, polisi merasa cukup punya dasar. Mereka menyebut menemukan baju Yosep yang terkena darah korban. Polisi juga menyimpulkan bahwa motif utama dari pembunuhan adalah uang. Yosep diduga meminta uang Rp30 juta kepada Amalia, namun dihalangi oleh Tuti. Dalam versi polisi, konflik keluarga yang berlapis menjadi latar tragedi.
"Jadi Yosep ini meminta uang sekitar Rp 30 juta ke Amel. Namun, Tuti sempat menghalangi sehingga diduga ada niat buruk dari Yosep," kata Dirkrimum Polda Jabar, Kombes Surawan.
Surawan menambahkan bahwa setelah pembunuhan, korban bahkan sempat dimandikan oleh para pelaku sebelum dimasukkan ke mobil. "Ini seperti ada skenario panjang. Tidak spontan," ujarnya.
Kasus ini juga menjadi ujian bagi kepolisian. Di tengah upaya menegakkan hukum, terungkap bahwa ada anggota polisi yang merusak TKP. Salah satunya, Ipda Taryono, menyuruh saksi menguras bak mandi. Akibatnya, tim Inafis kesulitan merekonstruksi kejadian secara utuh.
Luka yang Tak Bisa Disembuhkan
Butuh lebih dari dua tahun untuk merangkai potongan-potongan misteri ini kembali. Akhirnya, pada 25 Juli 2024, Pengadilan Negeri Subang menjatuhkan vonis 20 tahun penjara kepada Yosep Hidayah.
“Terdakwa Yosep Hidayah telah terbukti melakukan pembunuhan berencana bersama tersangka lain terhadap anak dan istrinya,” ujar Ketua Majelis Hakim, Ardi Wijayanto.
Putusan itu menutup satu bab dari tragedi berdarah di Subang, tapi tak menutup seluruh pertanyaan. Benarkah motifnya semata uang? Bagaimana peran masing-masing tersangka? Mengapa pembunuhan ini berlangsung begitu rapi, dalam diam?
Dan satu pertanyaan terbesar: bagaimana seorang ayah tega menghabisi darah dagingnya sendiri?
Baca Juga: Sabotase Kereta Rancaekek, Bumbu Jimat dan Konspirasi Kiri
Kasus pembunuhan ibu dan anak di Subang adalah lebih dari sekadar pembunuhan. Ia adalah potret luka rumah tangga, dendam yang membusuk, dan keserakahan yang dibungkus senyap. Darah yang tercecer di garasi menjadi awal dari cerita panjang tentang kematian dan keadilan yang tertunda. Sebuah tragedi yang akan terus hidup dalam ingatan Subang, dan menjadi pengingat bahwa kejahatan paling kejam bisa saja bersumber dari tempat yang paling dekat: keluarga sendiri.
Bagi warga Ciseuti, hari itu tak akan pernah dilupakan. Bagasi Alphard bukan lagi tempat menyimpan koper dan tas belanja. Ia kini menjadi simbol nestapa, pertanda bahwa dalam rumah yang terlihat rapi sekalipun, bisa tersembunyi kebohongan, kesumat, dan maut.