Peristiwa meninggalnya sejumlah warga saat acara “Balakecrakan” yang digelar putra Gubernur Jabar KDM, Maulana Akbar, di Garut pada Jumat (18/7), menyisakan duka mendalam.
Namun di balik tragedi tersebut, sebagai pemerhati komunikasi publik, penulis melihat ada persoalan lebih serius: bagaimana seorang pejabat berkomunikasi di ruang publik ketika krisis terjadi.
Video bertanggal 14 Juli di kanal KDM Channel berjudul “Ini Pesan KDM Pada A Ula – Menjelang Pernikahan Dengan Teh Putri Karlina di Garut” menunjukkan secara gamblang rencana penyelenggaraan acara yang dibuka untuk umum, lengkap dengan hiburan dan sajian makanan gratis.
Dalam video itu, KDM bahkan menanyakan kapasitas konsumsi untuk ribuan orang, dan sang anak menjawab, “sekuat-kuatnya.” Makanan yang disebutkan termasuk klepon, mie ayam, bakso, hingga burayot. Semuanya disiapkan untuk warga.
Namun ironisnya, setelah tragedi terjadi, KDM dalam wawancaranya menyebut bahwa ia telah melarang adanya makan-makan, namun panitia mengabaikan. Lebih jauh lagi, dalam pernyataan lain, ia mengaku tidak mengetahui adanya acara makan gratis.
Dua pernyataan yang saling bertolak belakang itu menggambarkan ketidakselarasan antara komunikasi dan kenyataan. Ditambah janji santunan Rp150 juta per korban, narasi seakan diarahkan bahwa tragedi ini bisa selesai dengan kompensasi materi.
Pola komunikasi yang tidak konsisten seperti ini berbahaya, apalagi dilakukan oleh pejabat publik. Saat ucapan dan tindakan tidak sejalan, masyarakat berisiko kehilangan pegangan informasi yang benar. Dalam konteks krisis, hal ini bukan sekadar salah bicara, ia menyangkut nyawa, tanggung jawab, dan kepercayaan publik.
Yang tak kalah memprihatinkan adalah respons warganet yang justru menyalahkan para korban. Di berbagai media sosial, warga Garut dicap “tidak tertib”, “susah diatur”, hingga “belum dewasa secara sosial”. Kritik terhadap panitia atau penyelenggara hampir tak terdengar.
Padahal, pertanyaan-pertanyaan krusial seperti: apakah ada petugas pengaman? bagaimana alur evakuasi? berapa kapasitas lokasi? dan bagaimana pengendalian massa? Ini semestinya jadi perhatian utama sedari awal.
Fenomena ini menunjukkan bagaimana citra pemimpin bisa membentuk fanatisme digital yang membutakan. KDM, yang populer berkat gaya komunikasi populis dan visualnya, nyatanya telah melahirkan pengikut yang cenderung anti-kritik dan mudah menyerang mereka yang berbeda pandangan.
Ini bukan semata urusan komunikasi, tapi juga soal relasi kuasa yang tak sehat antara rakyat dan pejabat publik.

Apakah kondisi ini harus dibiarkan? Jawabannya tentu tidak. Pemulihan bisa dimulai dari dua arah.
Pertama, dalam jangka pendek, ruang digital perlu dijadikan arena pertukaran gagasan, bukan ladang serangan. Jurnalis, akademisi, dan aktivis harus hadir secara konsisten menawarkan narasi tandingan, bukan hanya dengan argumen kuat, tapi juga dengan format yang mudah dipahami (video pendek, podcast, infografik).
Di situ, penting disampaikan bahwa integritas pejabat publik tak cukup hanya tampil di kamera, tapi harus dibuktikan lewat keselarasan kata dan tindakan.
Kedua, dalam jangka panjang, pendidikan kewargaan perlu direvitalisasi. Sekolah dan universitas harus kembali menanamkan nalar demokrasi: bahwa pemimpin sejati bukan yang populer semata, tapi yang mampu membangun sistem kerja yang andal.
Termasuk dalam hal ini adalah sistem penyelenggaraan acara publik yang aman, tertib, dan manusiawi, dari pesta pernikahan hingga festival budaya.
Kita butuh warga negara yang berpikir kritis, bukan hanya penggemar yang memuja figur. Kita juga memerlukan partai politik dan lembaga negara yang berhenti menjual sosok, dan mulai menanamkan pentingnya sistem.
Demokrasi yang matang tak lahir dari pencitraan belaka, tapi dari keberanian menyandingkan nilai, etika, dan mekanisme.
Saatnya publik mendewasa. Membedakan mana komunikasi yang jujur dan mana yang sekadar memikat. Karena nyawa tak bisa dibayar dengan narasi, apalagi jika narasi itu berubah-ubah tergantung situasi. (*)
Video Terbaru Ayobandung: