Nikah itu emang bikin deg-degan. Tapi kebayang nggak kalau kamu harus nikah barengan sama dua saudara kandungmu sekaligus? Itulah yang dialami tiga bersaudara dalam film Jodoh 3 Bujang (2025).
Kisah komedi keluarga yang diangkat dari budaya Bugis-Makassar, tapi pesannya terasa universal buat siapa pun yang pernah ngerasa “dikejar waktu” untuk menikah.
Film garapan Arfan Sabran ini tayang perdana di bioskop pada 26 Juni 2025, dibintangi oleh Jourdy Pranata, Christoffer Nelwan, dan Rey Bong. Ceritanya sederhana tapi unik, tiga bujang disuruh ayahnya menikah bersamaan karena tradisi keluarga dan persoalan ekonomi. Masalah muncul ketika calon pengantin tertua tiba-tiba batal nikah, dan rencana “nikah kembar” pun terancam gagal total.
Fadly harus mencari calon pengantin baru dalam waktu singkat, sementara kedua adiknya terjebak antara rasa bersalah dan kebingungan. Konflik ini kemudian disajikan lewat komedi situasional khas masyarakat daerah, tapi di balik itu, ada pesan tentang tekanan sosial dan ekspektasi keluarga yang terasa sangat nyata.
Walaupun dikemas dengan komedi, film ini punya napas budaya yang kuat, tentang bagaimana film ini mengangkat budaya lokal dengan cara yang ringan dan menghibur. Nuansa Bugis-Makassar terasa kental, mulai dari bahasa, adat pernikahan, sampai cara tokoh-tokohnya menyikapi kehormatan keluarga.
Semua itu digambarkan dengan ringan dan menyenangkan, tanpa kesan menggurui. Ini yang bikin Jodoh 3 Bujang terasa segar di tengah banyak film komedi urban yang biasanya berpusat di Jakarta.

Salah satu daya tarik utamanya ada di cara film ini menyindir realitas sosial tentang “desakan menikah.” Tekanan keluarga, pandangan masyarakat, bahkan rasa malu karena belum menikah di usia tertentu, semua itu diselipkan secara halus lewat dialog dan situasi yang lucu tapi relevan dengan masyarakat.
Namun film ini berhasil menggemasnya dalam adegan yang terkesan akrab, seolah menonton keluarga sendiri yang ribut menjelang hajatan.
Secara sinematografi, film ini menampilkan warna-warna hangat dan cerah yang memperkuat suasana kekeluargaan. Latar kota Makassar juga banyak digunakan, dari rumah adat besar keluarga, jalan-jalan kampung, sampai pemandangan daerah yang bikin suasana terasa hidup. Musiknya ringan dan berpadu dengan gaya editing yang dinamis, bikin penonton betah meski ceritanya sederhana.
Yang paling menyenangkan, film ini berhasil menyeimbangkan tawa dan makna. Komedinya nggak maksa, justru muncul dari situasi sehari-hari yang absurd tapi relatable banget, dari adegan pencarian calon pengantin dadakan sampai interaksi kakak-adik yang penuh sindiran kocak.
Tapi di balik itu semua, film ini menyelipkan pesan penting bahwa menikah bukan sekadar mengejar waktu, tapi soal kesiapan dan niat yang tulus. Kadang, orang terlalu sibuk ngejar sesuai rencana orang lain sampai lupa menikmati prosesnya sendiri.

Meski mengandung banyak tawa, Jodoh 3 Bujang punya momen emosional yang cukup dalam di bagian akhir. Film ini menutup kisahnya dengan hangat, menegaskan bahwa keluarga dan cinta sama-sama butuh pengertian, bukan paksaan.
Di balik semua kekacauan dan guyonan, ada pesan bahwa bahagia nggak bisa diseragamkan, apalagi dijadwalkan barengan.
Secara keseluruhan, film ini jadi salah satu contoh menarik dari kebangkitan film komedi lokal yang mulai berani bermain dengan tema tradisi dan budaya. Alih-alih hanya jual tawa, Jodoh 3 Bujang menghadirkan refleksi ringan tentang kehidupan, tanpa kehilangan sisi menghiburnya.
Film ini nggak berusaha bilang bahwa budaya itu kuno atau harus ditinggalkan. Justru, film ini menunjukkan bahwa tradisi bisa tetap hidup, asal dijalani dengan cinta dan pengertian, bukan tekanan.
Buat yang lagi capek sama drama percintaan rumit atau thriller berat, film ini bisa jadi pilihan pas. Sebab lewat kelucuan tiga bujang ini, kita diajak sadar bahwa jodoh bukan sebuah perlombaan, dan cinta kadang datang bukan karena dipaksa, tapi karena waktu akhirnya tepat. (*)
 
 
 
  
   
   
   
   
   
   
   
   
   
   
   
   
   
   
   
   
   
   
   
   
   
  