Mental Mengemis sebagai Budaya, Bandung dan Jalan Panjang Menuju Kesadaran Sosial

Eneng Reni Nuraisyah Jamil
Ditulis oleh Eneng Reni Nuraisyah Jamil diterbitkan Kamis 30 Okt 2025, 17:33 WIB
Stigma terhadap pengemis di kota besar seperti Bandung bukan hal baru. Mereka kerap dilabeli sebagai beban sosial, bahkan dianggap menipu publik dengan kedok kemiskinan. (Sumber: Pexels)

Stigma terhadap pengemis di kota besar seperti Bandung bukan hal baru. Mereka kerap dilabeli sebagai beban sosial, bahkan dianggap menipu publik dengan kedok kemiskinan. (Sumber: Pexels)

AYOBANDUNG.ID -- Setiap kota menyimpan suara-suara yang tak terdengar. Di Bandung, suara itu datang dari tangan-tangan yang terulur di perempatan, dari mata yang menatap kosong di trotoar, dari tubuh-tubuh yang menunggu belas kasih sebagai rutinitas. Mereka bukan sekadar pengemis. Mereka adalah cermin dari sistem yang tak lagi mampu merangkul.

Heny Gustini Nuraeni tak melihat mereka sebagai beban kota. Dia melihat mereka sebagai manusia yang kehilangan arah, bukan harga diri. Dari sana, ia memulai langkah kecil yang tak biasa dengan mendirikan pesantren tanpa bangunan, tanpa seragam, tanpa batas. Ia menyebutnya Pesantren Jalanan Sunan Ambu.

Pesantren ini bukan tempat dengan kubah megah atau lantunan azan lima waktu. Ia hadir di halaman rumah, di sela obrolan, di antara keheningan yang menyimpan luka. Di sanalah Heny menanamkan benih perubahan, satu demi satu, kepada mereka yang selama ini dianggap “sampah masyarakat.”

Stigma terhadap pengemis di kota besar seperti Bandung bukan hal baru. Mereka kerap dilabeli sebagai beban sosial, bahkan dianggap menipu publik dengan kedok kemiskinan. Pada 2019, publik dikejutkan oleh kisah Legiman, seorang pengemis di Pati, Jawa Tengah, yang memiliki kekayaan hingga Rp1 miliar. Ia menjadikan simbol kemiskinan sebagai komoditas.

Fenomena ini bukan sekadar anomali, melainkan cerminan dari budaya yang telah mengakar. Heny menyebutnya sebagai “mental mengemis”, sebuah pola pikir yang menjadikan meminta-minta sebagai jalan hidup, bahkan setelah kebutuhan ekonomi terpenuhi. “Saya menyebutnya bahwa mengemis itu sudah menjadi kebudayaan,” ujarnya kepada Ayobandung.

Bandung pun tak luput dari realitas ini. Data Dinas Sosial Kota Bandung mencatat, pada Maret 2025, sebanyak 64 Pemerlu Pelayanan Kesejahteraan Sosial (PPKS), termasuk pengemis dan tunawisma terjaring razia di titik-titik strategis seperti Asia Afrika dan Tegalega. Mereka dibawa ke Puskesos Ranca Cili untuk menjalani rehabilitasi sosial.

Kampung Pengemis di Kelurahan Sukabungah, Kota Bandung tepatnya di RW 04 dan di RW 11 (Cibarengkok). (Sumber: Ayobandung.id)
Kampung Pengemis di Kelurahan Sukabungah, Kota Bandung tepatnya di RW 04 dan di RW 11 (Cibarengkok). (Sumber: Ayobandung.id)

Namun, Heny percaya bahwa solusi tak cukup hanya dengan razia. Ia mendirikan Yayasan Siti Hajar pada 2020, untuk menaungi Pesantren Sunan Ambu yang dirikan pada 2016.

Bukan pesantren konvensional, melainkan “pesantren jalanan” yang menyasar kelompok marginal secara langsung, dari satu wajah ke wajah lain. Ia tahu, perubahan tidak datang dari mimbar, tapi dari pelukan sabar dan percakapan yang tulus.

“Seringkali saya hanya datang dari satu tempat ke tempat yang lain. Face to face aja, gak sistem kumpul, karena mereka sangat sulit dikumpulkan,” jelas Heny, yang lebih akrab disapa Ambu.

Awalnya, riset Heny hanya mencakup Kelurahan Sukabungah yang dikenal sebagai “Kampung Pengemis” terutama di RW 04 dan RW 11. Namun, dari sana, ia menemukan bahwa praktik mengemis telah diwariskan lintas generasi. “Dari satu keluarga di situ, bisa turun ke empat generasi, turun-temurun,” katanya.

Lebih dari sekadar kemiskinan, Heny melihat bahwa akar persoalan adalah mentalitas. Ia menolak pendekatan yang hanya menyentuh aspek ekonomi. Baginya, perubahan harus dimulai dari kesadaran spiritual. “Kita tidak bisa maksa mereka, dan saya tidak mau memaksakan mereka untuk berhenti. “Saya ingin mereka berhenti karena keinginannya pribadi,” tegas Heny.

Pesantren Sunan Ambu pun hadir sebagai ruang pembinaan karakter. Tidak ada asrama, tidak ada seragam. Hanya halaman rumah, relawan mahasiswa, dan semangat untuk mengubah nasib. Namun, perjuangan ini tidak mudah. Pesantren masih bergantung pada dana pribadi dan donatur terbatas. Belum ada dukungan penuh dari pemerintah atau lembaga keagamaan. “Kalau bisa mulai usaha, mereka bisa menghidupi keluarga dengan cara baik,” harapnya.

Heny juga menyadari bahwa perubahan tidak bisa dipaksakan. Ia mengikuti ritme para pengemis, menyusup ke kehidupan mereka, dan perlahan menanamkan nilai-nilai baru. “"kita kalau sampai sekarang untuk mengubah satu orang saja sulit, dan bagaimana acaranya kita mengubah tanpa mereka merasakan bahwa saya sedang mengubah mereka,” katanya.

Pesantren Jalanan Sunan Ambu. (Sumber: dok pribadi)
Pesantren Jalanan Sunan Ambu. (Sumber: dok pribadi)

Dalam risetnya, Heny menemukan bahwa sebagian pengemis memodifikasi ajaran agama demi keuntungan. Bahkan setelah kaya, mereka tetap mengemis. “Ritual keagamaan tidak mengubah pola pikir dan cara hidup mereka,” ungkapnya.

Karena itu, Heny menekankan pentingnya pendidikan agama yang membumi. “Jangan sampai mereka itu hanya mengerti ekonomi, hanya mengerti makan, hanya mengerti cari duit, tapi bagaimana mereka itu melakukan sesuatu itu sebagai bentuk ibadah,” ujarnya.

Heny bermimpi membentuk koperasi di bawah naungan Sunan Ambu. Ia ingin menciptakan ekosistem yang mandiri, di mana mantan pengemis bisa berdaya secara ekonomi dan spiritual. “Mudah-mudahan ke depan kita bisa kerja sama dengan pemerintah, kelembagaan agama, dari pihak usaha juga,” harapnya.

Menurut data BPS Kota Bandung 2025, tingkat kemiskinan di kota ini masih berada di angka 3,26%, dengan konsentrasi tertinggi di wilayah padat penduduk seperti Kiaracondong dan Astanaanyar. Ini menjadi tantangan tersendiri bagi upaya pemberdayaan seperti yang dilakukan Heny.

Namun, di tengah keterbatasan, Heny tetap teguh. Ia percaya bahwa perubahan besar dimulai dari langkah kecil. “Saya hanya berpikir sederhana saja bahwa membuat pesantren tidak perlu ada masjidnya,” katanya.

Pesantren Sunan Ambu menjadi bukti bahwa dakwah bisa hadir di jalanan, bahwa pendidikan bisa dimulai dari empati, dan bahwa revolusi mental bisa dimulai dari satu pertemuan, satu percakapan, satu hati yang terbuka.

Heny tak pernah berhenti meneliti. Dirinya menyusuri lorong-lorong pelacuran, mendekati anak jalanan, dan mendengarkan suara-suara yang selama ini diabaikan. Ia tahu, perubahan bukan soal waktu, tapi soal ketulusan. “Dan program yang dijalankan tetap, saya masih fokus di keberagamaannya,” pungkasnya.

Alternatif edukasi dan literasi mental atau produk serupa:

  1. https://s.shopee.co.id/2qMM0orvsP
  2. https://s.shopee.co.id/2B6fDdgKnL
  3. https://s.shopee.co.id/6psUmFRsyD
  4. https://s.shopee.co.id/60JNmqEcxP
  5. https://s.shopee.co.id/30fmDOXZk5
Nilai artikel ini
Klik bintang untuk menilai

Berita Terkait

News Update

Ayo Jelajah 16 Des 2025, 10:07 WIB

Sejarah Universitas Padjadjaran, Lahirnya Kawah Cendikia di Tanah Sunda

Sejarah Universitas Padjadjaran bermula dari tekad Jawa Barat memiliki universitas negeri sendiri di tengah keterbatasan awal kemerdekaan.
Gedung Rektorat Universitas Padjadjaran. (Sumber: Wikimedia)
Ayo Netizen 16 Des 2025, 09:36 WIB

Dari Panggung Gigs ke Aksi Sosial di Flower City Festival 2025

Flower City Festival (FCF) 2025 sukses mengumpulkan dana senilai Rp56.746.500 untuk korban bencana di Sumatera.
Suasana Flower City Festival 2025 di Kopiluvium, Kiara Artha Park, Bandung (11/12/2025) (Sumber: Dokumentasi panitia FCF 2025 | Foto: ujjacomebackbdg)
Ayo Netizen 16 Des 2025, 09:10 WIB

Berjualan di Trotoar, PKL Caringin Menginginkan Ruang Publik dari Wali Kota Bandung

PKL di Caringin yang berjualan di trotoar berharap ada penataan agar mereka bisa berjualan lebih tertib.
Sejumlah pedagang kaki lima yang tetap berjualan meski hujan di malam hari di kawasan Caringin 30-11-2025 (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: Raifan Firdaus Al Farghani)
Beranda 16 Des 2025, 07:38 WIB

Suara Perempuan di Garis Depan Perlawanan yang Disisihkan Narasi Kebijakan

Dari cerita personal hingga analisis struktural, diskusi ini membuka kembali pertanyaan mendasar: pembangunan untuk siapa dan dengan harga apa.
Suasan diskusi buku “Pembangunan Untuk Siapa: Kisah Perempuan di Kampung Kami” Minggu (14/12) di perpustaakan Bunga di Tembok, Bandung. (Sumber: ayobandung.id | Foto: Halwa Raudhatul)
Beranda 15 Des 2025, 21:18 WIB

Tanda Kerusakan Alam di Kabupaten Bandung Semakin Kritis, Bencana Alam Meluas

Seperti halnya banjir bandang di Sumatera, kondisi alam di wilayah Kabupaten Bandung menunjukkan tanda-tanda kerusakan serius.
Warga di lokasi bencana sedang membantu mencari korban tertimbun longsor di Arjasari, Kabupaten Bandung. (Sumber: ayobandung.id | Foto: Gilang Fathu Romadhan)
Ayo Netizen 15 Des 2025, 20:05 WIB

Tahun 2000-an, Palasari Destinasi 'Kencan Intelektual' Mahasiswa Bandung

Tahun 2002, Palasari bukan sekadar pasar buku. Ia adalah universitas paralel bagi mahasiswa UIN Bandung.
 Tahun 2002, Palasari bukan sekadar pasar buku. Ia adalah universitas paralel bagi mahasiswa UIN Bandung (Sumber: ayobandung.com | Foto: Irfan Al-Farisi)
Ayo Netizen 15 Des 2025, 19:25 WIB

Benang Kusut Kota Bandung: Penataan Kabel Tak Bisa Lagi Ditunda

Kabel semrawut di berbagai sudut Kota Bandung merusak estetika kota dan membahayakan warga.
Kabel-kabel yang menggantung tak beraturan di Jl. Katapang, Lengkong, Kota Bandung, pada Rabu (03/12/2025). (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: Masayu K.)
Ayo Netizen 15 Des 2025, 18:08 WIB

Menghangat di Hujan Bandung dengan Semangkuk Mie Telur Mandi dari Telur Dadar JUARA

“Mie Telur Mandi” dari sebuah kedai di Kota Bandung yang sedang ramai diperbincangkan di media sosial.
 “Mie Telur Mandi” dari sebuah kedai di Kota Bandung yang sedang ramai diperbincangkan di media sosial. (Sumber: Dokumentasi Penulis)
Ayo Netizen 15 Des 2025, 17:14 WIB

Mengukus Harapan Senja di Jatinangor

Ketika roti kukus di sore hari menjadi kawan sepulang kuliah.
Roti-roti yang dikukus kembali sebelum diberi topping. (Foto: Abigail Ghaissani Prafesa)
Ayo Netizen 15 Des 2025, 17:04 WIB

Selamat Datang di Kota Bandung! Jalan Kaki Bisa Lebih Cepat daripada Naik Kendaraan Pribadi

Bandung, yang pernah menjadi primadona wisata, kini menduduki peringkat sebagai kota termacet di Indonesia.
Deretan kendaraan terjebak dalam kemacetan pasca-hujan di Kota Bandung, (03/12/2025). (Foto: Zaidan Muafa)
Ayo Netizen 15 Des 2025, 16:52 WIB

Cerita Kuliner Nasi Tempong dan Jalanan Lengkong yang tak Pernah Sepi

Salah satu kisahnya datang dari Nasi Tempong Rama Shinta, yang dahulu merasakan jualan di gerobak hingga kini punya kedai yang selalu ramai pembeli.
Jalan Lengkong kecil selalu punya cara menyajikan malam dengan rasa di Kota Bandung, (05/11/2025). (Foto: Zaki Al Ghifari)
Ayo Netizen 15 Des 2025, 16:09 WIB

Lampu Lalu Lintas Bermasalah, Ancaman Kecelakaan yang Perlu Ditangani Cepat

Lampu lalu lintas di perempatan Batununggal dilaporkan menampilkan hijau dari dua arah sekaligus yang memicu kebingungan dan potensi kecelakaan.
Kondisi lalu lintas yang berantakan di perempatan Batununggal, Kota Bandung (4/12/25) (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: Amelia Ulya)
Ayo Netizen 15 Des 2025, 15:56 WIB

Terjangkau namun Belum Efisien, Trans Metro Pasundan di Mata Mahasiswa

Mahasiswa di Bandung memilih bus kota sebagai transportasi utama, namun masih menghadapi kendala pada rute, jadwal, dan aplikasi.
Suasana di dalam bus Trans Metro Pasundan di sore hari pada hari Selasa (2/12/2025). (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: Dheana Husnaini)
Ayo Netizen 15 Des 2025, 15:16 WIB

Bandung di Tengah Ledakan Turisme: Makin Cantik atau Cuma Viral?

Artikel ini menyoroti fenomena turisme Bandung yang makin viral namun sekaligus makin membebani kota dan lingkungannya.
Sekarang Bandung seperti berubah jadi studio konten raksasa. Hampir setiap minggu muncul cafe baru dan semuanya berlomba-lomba tampil seestetik mungkin agar viral di TikTok. (Sumber: Dokumentasi Penulis)
Ayo Netizen 15 Des 2025, 14:36 WIB

Jalan Baru Literasi dan Numerasi di Indonesia: Berkaca pada Pendidikan Finlandia

Rendahnya kemampuan literasi dan numerasi siswa Indonesia berdasarkan data PISA dan faktor penyebabnya.
Butuh kerjasama dan partisipasi dari berbagai pihak dalam rangka mewujudkan pendidikan terbaik bagi anak-anak negeri ini. (Sumber: Pexels/Agung Pandit Wiguna)
Ayo Netizen 15 Des 2025, 14:28 WIB

Tahu Bakso di Pasar Sinpasa Summarecon Bandung: Lezatnya Paduan Tradisi dan Urban Vibes

Di sekitar Pasar Modern Sinpasa Summarecon Bandung, salah satu tenant mampu menarik perhatian siapa saja yang lewat: tahu bakso enak.
Tahu Bakso Enak. (Sumber: dokumentasi penulis)
Ayo Netizen 15 Des 2025, 12:06 WIB

Polemik Penerapan Restorative Justice di Indonesia sebagai Upaya Penyelesaian Perkara

Polemik restorative justice dibahas dengan menggunakan metode analisis normatif, namun pada bagian penjelasan contoh digunakan juga analisis sosiologis.
Ilustrasi hukum. (Sumber: Pexels/KATRIN BOLOVTSOVA)
Ayo Netizen 15 Des 2025, 10:19 WIB

Babakan Siliwangi Perlu Cahaya: Jalur Populer, Penerangan Minim

Hampir setiap malam di wilayah Babakan Siliwangi penerangan yang minim masih menjadi persoalan rutin.
Suasana Babakan Siliwangi saat malam hari (4/12/2025) dengan jalanan gelap, mural warna-warni, dan arus kendaraan yang tak pernah sepi. (Sumber: Bunga Citra Kemalasari)
Ayo Netizen 15 Des 2025, 10:00 WIB

Kunci 'Strong Governance' Bandung

Strong governance adalah salah satu kebutuhan nyata Bandung kiwari.
Suasana permukiman padat penduduk di pinggir Sungai Cikapundung, Tamansari, Kota Bandung. (Sumber: Ayobandung | Foto: Irfan Al Faritsi)
Ayo Netizen 15 Des 2025, 08:31 WIB

Benarkah Budidaya Maggot dalam Program 'Buruan Sae' Jadi Solusi Efektif Sampah Kota Bandung?

Integrasi budidaya maggot dalam Program Buruan Sae menjadi penegasan bahwa pengelolaan sampah dapat berjalan seiring dengan pemberdayaan masyarakat.
Budidaya maggot di RW 9 Lebakgede menjadi upaya warga mengolah sampah organik agar bermanfaat bagi lingkungan sekitar. (Sumber: ayobandung.id | Foto: Ikbal Tawakal)