AYOBANDUNG.ID -- Ia datang tanpa suara. Menyusup pelan ke dalam tubuh, lalu menetap. HIV bukan penyakit yang berteriak. Ia diam, menyembunyikan diri di balik senyum, rutinitas, dan pakaian bersih. Di Bandung, kota yang gemar merayakan kreativitas, ada ribuan orang yang hidup dengan sunyi semacam itu, sunyi yang tak pernah benar-benar sepi.
Menurut data Dinas Kesehatan Kota Bandung per Oktober 2025, tercatat lebih dari 9.700 kasus HIV aktif. Angka itu bukan sekadar statistik. Ia adalah wajah-wajah yang kita temui di angkot, di warung kopi, di ruang kelas, bahkan di rumah sendiri. Tapi stigma membuat orang dengan HIV/AIDS (ODHA) tak terlihat.
Di sinilah Rumah Cemara berdiri. Bukan sebagai klinik, bukan sekadar komunitas, tapi sebagai ruang aman bagi mereka yang tak lagi punya tempat untuk bercerita. “Kami bukan penyelamat. Kami hanya ingin mereka tahu bahwa mereka tidak sendiri,” kata Kustantonio, atau Nio, Staff Dukungan & Kemitraan RC kepada Ayobandung.
Pendampingan yang dilakukan RC bukan hanya soal obat atau tes. Ia adalah proses mendengarkan. “Kami tanya dulu, ada keluhan fisik? Psikologis? Sosial? Karena kadang yang paling menyakitkan bukan virusnya, tapi penolakan,” ujar Nio.
Konseling di RC bersifat rahasia. Bukan karena malu, tapi karena dunia belum siap mendengar. “Kalau hasil tesnya negatif, kami bantu agar tetap negatif. Kalau positif, kami bantu agar tetap sehat. Tapi kalau sudah putus asa, kami hadirkan role model yang pernah ada di titik itu dan berhasil bangkit,” lanjutnya.
Perubahan pola penularan HIV di Bandung membuat RC harus terus beradaptasi. Dulu, jarum suntik adalah musuh utama. Kini, hubungan seksual tanpa perlindungan menjadi jalur dominan. “Banyak ibu rumah tangga tertular dari suami yang ‘jajan’. Mereka tidak tahu, tidak siap, dan tidak pernah diberi pilihan,” ungkap Nio.
Ironisnya, masyarakat masih menyalahkan pekerja seks atau kelompok minoritas. Padahal, menurut Nio, ibu rumah tangga justru lebih rentan. “Mereka tidak punya kontrol atas tubuhnya sendiri. Dan ketika tertular, mereka disalahkan,” katanya.
RC percaya bahwa pendekatan inklusif adalah kunci. Bukan dengan ceramah, tapi dengan membuka ruang perjumpaan. “Kalau masyarakat bisa melihat langsung kehidupan ODHA, stigma akan runtuh. Karena mereka akan tahu bahwa ODHA bukan ancaman. Mereka adalah manusia,” tegas Nio.

Usia produktif menjadi kelompok paling terdampak. Rentang 17–39 tahun mendominasi angka kasus. RC pun memperluas edukasi ke sekolah, komunitas pemuda, dan pekerja seks. “Kami masuk ke ruang-ruang yang selama ini dianggap tabu. Karena di sana, banyak yang belum tahu,” ujar Nio.
Tantangan terbesar bukan hanya stigma, tapi juga ketakutan. Banyak yang enggan tes karena takut dikucilkan. Banyak yang memilih diam, meski tubuhnya mulai lemah. “Kami tidak bisa memaksa. Tapi kami bisa menemani,” kata Nio.
Dalam konseling, RC tidak hanya bicara soal virus. Mereka bicara soal harapan. Soal bagaimana hidup bisa tetap dijalani, meski dengan luka. “Kami percaya, setiap orang berhak untuk sehat. Bukan hanya secara fisik, tapi juga secara sosial dan spiritual,” jelasnya.
RC juga menghadirkan role model, penyintas HIV yang berhasil menjalani hidup sehat dan produktif. Mereka bukan tokoh besar. Mereka adalah orang biasa yang memilih untuk tidak menyerah. “Kehadiran mereka memberi harapan. Bahwa hidup tidak berhenti di diagnosis,” kata Nio.
Kolaborasi menjadi napas lain dari RC. Mereka bekerja sama dengan Dinas Kesehatan, sekolah, dan komunitas lokal. Bukan untuk kampanye, tapi untuk membangun ekosistem yang mendukung ODHA untuk hidup bermartabat.
Meski jalan masih panjang, RC percaya bahwa perubahan bisa dimulai dari ruang kecil. Dari obrolan di ruang konseling, dari pelukan pertama setelah hasil tes, dari keberanian untuk berkata, “Saya positif, tapi saya masih manusia.”
“Sekarang ke Rumah Cemara yang konseling penularan HIV AIDS ini melanda usia produktif. Misal belum lulus SMA. Jadi rentang usianya kebanyakan dari 17–39 tahun. Makanya kami sekarang lagi banyak kerja untuk perluas jejang komunitas, ke sekolah, hingga para pekerja seks karena kebanyak mereka masih banyak gak tahu soal isu HIV ini,” pungkas Nio.
Alternatif pembelian alat uji mandiri HIV atau kebutuhan serupa:
