AYOBANDUNG.ID -- Sri Putrianti tidak sedang merancang bisnis ketika ia mulai menggemburkan tanah tandus di depan rumahnya. Ia hanya ingin melihat sesuatu tumbuh.
Tapi dari tanah itu, tumbuh lebih dari sekadar bayam dan pakcoy. Rupanya tumbuh pula sebuah gerakan, sebuah komunitas, dan sebuah model bisnis yang bersifat sirkular.
Komunitas 1.000 Kebun lahir pada Juni 2015 dari keresahan akan gaya hidup urban yang semakin jauh dari alam. Di tengah dominasi makanan instan dan lahan beton, komunitas ini menawarkan alternatif lewar cara berkebun organik di kota, tanpa pestisida, tanpa limbah, dan penuh makna.
“Komunitas ini ingin mengedukasi masyarakat untuk bergaya hidup sehat melalui makanan. Caranya dengan menanam sendiri di rumah,” ujar Sri Putrianti, Koordinator Komunitas 1.000 Kebun kepada Ayobandung.
Namun, yang membuat komunitas ini berbeda bukan hanya semangat berkebunnya, melainkan bagaimana mereka mengemasnya menjadi peluang bisnis yang inklusif.
Dari hasil panen, mereka membangun Warung 1.000 Kebun, sebuah ruang transaksi yang menjual produk organik langsung dari tangan petani kota kepada konsumen.
Hadir pula Pasar Sehat, event bulanan yang mereka gelar, yang bukan sekadar bazar. Di sana, warga bisa membeli sayur segar, mengikuti workshop menanam, dan bertemu langsung dengan para pelaku urban farming.
“Bukan hanya stand-stand berjualan saja, tetapi kita ada workshopnya juga. Jadi masyarakat mendapatkan ilmu yang bisa diterapkan di rumah,” kata Sri.
Model bisnis komunitas ini bersifat sirkular. Anggota menanam, memanen, menjual, dan mengedukasi. Tidak ada limbah, tidak ada perantara. Semua hasil kebun bisa dikonsumsi sendiri atau dijual melalui jaringan komunitas. Ini bukan hanya soal ekonomi, tapi soal kemandirian.
Jenis tanaman yang dibudidayakan pun beragam. Untuk buah-buahan, ada anggur, mangga, dan nanas. Sayuran seperti bayam, pakcoy, selada, terong, dan wortel menjadi andalan. “Pakcoy bisa dipanen dalam 40 hari, sementara bayam sekitar tiga bulan,” jelas Sri.
Dengan lebih dari 250 anggota, komunitas ini menjadi ruang kolaborasi lintas usia dan profesi. Ada ibu rumah tangga, pensiunan, mahasiswa, bahkan anak-anak yang ikut belajar menanam. “Anggota yang datang tak hanya dari warga Kota Bandung saja, tetapi juga berasal dari seluruh Indonesia,” tambah Sri.
Setiap minggu, mereka berkumpul untuk berkebun bersama, berbagi cerita, dan merancang program. Setiap bulan, mereka mengundang narasumber dari dunia pertanian untuk memperkaya wawasan anggota. Ini adalah inkubator sosial yang menyuburkan lebih dari sekadar tanaman.
Kepedulian terhadap lingkungan menjadi fondasi utama. Komunitas ini menolak penggunaan pestisida dan bahan kimia. “Kami konsen untuk tidak merusak struktur tanah. Kita ingin berkebun, kemudian makan makanan sehat juga,” tegas Sri.
Media sosial menjadi kanal penting untuk menyebarkan semangat. Akun Facebook hingga Instagram mereka, Komunitas 1000Kebun, aktif membagikan tips menanam, jadwal kegiatan, dan cerita inspiratif dari anggota. Cara ini memperluas jangkauan komunitas sekaligus memperkuat branding bisnis mereka.
Lokasi utama komunitas berada di Arcamanik, Kota Bandung. Di sana, siapa pun bisa datang, belajar, dan ikut menanam. Tidak ada syarat, hanya niat.
Dari tanah kosong menjadi pasar sehat, dari hobi menjadi bisnis, dari individu menjadi gerakan, Komunitas 1.000 Kebun membuktikan bahwa pertanian kota bukan utopia namun sebuah peluang nyata yang bisa digarap bersama.
“Berkebun itu bukan tren sesaat. Ini tentang masa depan, tentang bagaimana kita bisa mandiri dan sehat dari rumah sendiri,” tutup Sri.
Informasi Komunitas 1.000 Kebun
Instagram: https://www.instagram.com/komunitas1000kebun
Alternatif produk kuliner sehat dan UMKM Serupa: