AYOBANDUNG.ID -- Di tengah gemerlap kota Bandung yang terus bergerak maju, ada satu sudut yang setiap Rabu malam berubah menjadi ruang sakral budaya. Cikapundung Riverspot, yang biasanya dipadati wisatawan dan pejalan kaki, menjelma menjadi panggung terbuka bagi warisan leluhur yakni Rebo Nyunda.
Lampu warna-warni menari, memantulkan semangat anak-anak yang tengah bersiap menampilkan tari Jaipongan. Gerakan mereka lincah, genit, dan penuh percaya diri. Malam itu, lima penari cilik menjadi bintang utama, membawakan tari pergaulan khas Sunda dengan semangat yang tak kalah dari seniman profesional.
Di sisi lain panggung, sekelompok ksatria cilik menunjukkan kebolehan mereka dalam seni bela diri Pencak Silat. Gerakan mereka tegas, penuh makna, dan menjadi simbol bahwa budaya bukan sekadar masa lalu, melainkan kekuatan masa kini.
Rebo Nyunda bukan sekadar pertunjukan. Program ini adalah gerakan akar rumput yang lahir dari keresahan akan lunturnya identitas budaya Sunda. Sejak digagas pada 8 Februari 2017, program ini konsisten hadir setiap Rabu malam ba’da Maghrib, menjadi ruang edukasi dan ekspresi bagi generasi muda.
“Program Rebo Nyunda ini intinya kami ingin mengedukasi mental anak-anak untuk berani pentas dan bangga terhadap budaya Sunda yang menjadi identitas tanah kelahiran kita ini,” ujar Koordinator Program Rebo Nyunda, Rulli kepada Ayobandung.
Rulli dan tim relawan tak hanya mengorganisasi acara, mereka menjadi penjaga gerbang budaya. Mereka membuka ruang bagi siapa pun yang ingin tampil, belajar, atau sekadar menikmati kesenian Sunda.
“Kami dari tim relawan akan mewadahi dan memang menjadi kesediaan kami untuk memberikan ruang bagi pelaku seni budaya Sunda ini,” tambahnya.

Antusiasme masyarakat terus tumbuh. Jika dulu tim Rebo Nyunda harus mencari peserta, kini giliran masyarakat yang datang menawarkan diri. “Kalau dulu kita yang nyari. Kalau sekarang mereka yang nyari kita buat ikut partisipasi di sini,” kata Rulli.
Menurut data Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Bandung, subsektor seni pertunjukan dan budaya tradisional menyumbang kontribusi signifikan terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) kota.
Program seperti Rebo Nyunda membuka peluang bisnis berkelanjutan, mulai dari produksi kostum tari, alat musik tradisional, kuliner khas Sunda, hingga merchandise budaya.
Cikapundung Riverspot, sebagai ruang publik strategis, memiliki potensi besar untuk dikembangkan sebagai destinasi wisata budaya. Dengan dukungan pemerintah dan promosi digital, Rebo Nyunda bisa menjadi magnet wisatawan domestik maupun mancanegara yang ingin merasakan denyut budaya Sunda secara langsung.
Namun, tantangan modernisasi dan budaya global terus merangsek masuk. Di sinilah Rebo Nyunda mengambil peran penting, di mana menjaga agar budaya Sunda tetap relevan, hidup, dan dicintai.
“Kami ingin bilang kalau pelestarian budaya Sunda tidak hanya terbatas melalui sebuah sanggar atau pasanggiri,” tegas Rulli.
Pendekatan komunitas yang inklusif dan berbasis partisipasi terbukti efektif. Anak-anak tidak hanya belajar seni, tetapi juga nilai-nilai kebersamaan, identitas, dan kebanggaan lokal. Mereka tumbuh menjadi generasi yang tak hanya mengenal budaya, tetapi juga menjaganya.
Integrasi Rebo Nyunda dengan kurikulum pendidikan lokal bisa menjadi langkah strategis. Anak-anak tidak hanya belajar budaya di sekolah, tetapi juga mempraktikkannya di ruang publik. Cikapundung Riverspot pun bisa menjadi laboratorium budaya terbuka.
Dengan dukungan pemerintah, komunitas, dan masyarakat, Rebo Nyunda bisa menjadi blueprint pelestarian budaya berbasis komunitas. Program ini membuktikan bahwa budaya bukan barang museum, melainkan energi hidup yang bisa menggerakkan ekonomi dan memperkuat identitas.
“Budaya Sunda adalah identitas kita. Kalau bukan kita yang menjaga, siapa lagi?” pungkas Rulli.
Alternatif produk kebutuhan sanggar atau pasanggiri atau UMKM serupa:
