Menjadi mahasiswa di zaman sekarang itu tidak mudah. Kita sering terlihat sibuk, produktif, dan penuh semangat di mata orang lain. Namun, di balik tumpukan tugas, rapat organisasi, atau unggahan story tentang kegiatan kampus, banyak di antara kita yang diam-diam merasa kelelahan. Bukan hanya secara fisik, tetapi juga secara mental.
Ada hari-hari dimana ketika kita bangun tanpa semangat, menatap layar laptop selama berjam-jam, tetapi tak satu pun tugas selesai. Ada saat-saat ketika kita ingin menangis, tetapi tidak tahu kepada siapa harus bercerita. Lalu kita tersenyum, berpura-pura semuanya baik-baik saja. Tidak ingin dianggap lemah.
Padahal, merasa lelah itu manusiawi. Tidak ada yang salah dengan mengakui bahwa kita sedang tidak baik-baik saja.
Di Indonesia sendiri dilansir dari Goodstats, sebanyak 59% responden mahasiswa menilai kesehatan mentalnya baik, sedangkan 11% menilainya buruk. Angka ini tentu tidak kecil. Artinya, di setiap kelas, ada beberapa mahasiswa yang sedang berjuang melawan tekanan secara diam-diam.
Sayangnya, tidak semua berani mencari pertolongan. Masih banyak yang takut dicap tidak kuat, tidak tahan banting, atau dianggap tidak mampu menghadapi tekanan kuliah. Stigma seperti ini masih menjadi penghalang utama dalam isu kesehatan mental mahasiswa di Indonesia.
Budaya Sibuk dan Luka yang Tertutup Rapi
Kita hidup di masa ketika kesibukan dianggap sebagai tanda keberhasilan. Semakin banyak kegiatan, semakin terlihat produktif. Namun, di balik kesibukan itu sering kali tersimpan rasa takut tertinggal, takut gagal, ataupun takut tidak cukup baik.
Istilah healing kini marak digunakan di media sosial, sering kali hanya menjadi pelarian sesaat. Padahal, pemulihan diri yang sebenarnya tidak datang dari liburan singkat atau segelas kopi. Pemulihan sejati justru lahir dari keberanian untuk mengenali diri sendiri, kapan kita harus berhenti, kapan kita perlu meminta tolong, dan kapan kita perlu mengakui bahwa kita sedang lelah.
Baca Juga: Dari Mimbar Kecil di Tasikmalaya sampai ke TVRI Bandung
Kesehatan mental mahasiswa bukan hanya tanggung jawab pribadi. Tentu saja kampus memiliki peran penting dalam menciptakan lingkungan belajar yang sehat dan manusiawi. Sayangnya, tidak semua kampus memiliki sistem pendampingan yang memadai. Ada kampus yang sudah menyediakan layanan konseling, tetapi sosialisasinya masih kurang. Ada pula dosen yang peka terhadap kondisi mahasiswa, tetapi tidak sedikit yang masih memandang stres sebagai hal yang biasa saja.
Pada akhirnya, menjadi mahasiswa bukan berarti harus selalu kuat. Terkadang, langkah terbaik justru dengan berhenti sejenak. Mengambil napas panjang, memeluk diri sendiri, dan mengakui bahwa semua hal tidak harus sempurna. Tidak semua orang akan memahami perjuangan kita.
Belajar mencintai diri bukanlah bentuk keegoisan. Itu adalah kesadaran bahwa kita pun berhak bahagia, bahkan di tengah tekanan dan tuntutan yang berat. Bahagia juga merupakan bentuk apresiasi diri. Mahasiswa yang mampu menjaga keseimbangan antara ambisi dan ketenangan batin adalah mahasiswa yang benar-benar berhasil. (*)
