Selama ini pelecehan seksual kerap terjadi pada perempuan. Namun di balik semua kasus tersebut, ada yang luput dari perhatian yaitu pelecehan terhadap laki-laki. Mungkin awalnya terdengar aneh karena perilaku pelecehan seksual kerap kali terjadi terhadap pihak yang dianggap lemah seperti perempuan.
Sementara laki-laki yang dikenal dengan sifat maskulinitasnya dianggap tidak lazim ketika mendapat kekerasan yang sama seperti yang sering terjadi pada perempuan.
Dunia dalam sistem patriarki menempatkan laki-laki sebagai subjek yang dominan. Sering kali laki-laki yang mengekspresikan kesedihan melalui tangisannya itu dianggap sebagai laki-laki yang lemah atau cengeng. Padahal sejatinya laki-laki juga bagian dari manusia yang sama-sama diberikan perasaan untuk merasakan segala jenis emosi yang ada.
Sistem patriarki membiarkan narasi bahwa laki-laki yang bersedia membantu istrinya untuk mengerjakan pekerjaan rumah dengan istilah "Suami-suami takut istri". Padahal sejatinya pernikahan adalah bentuk komitmen yang diperlukan kerja sama untuk mencapai tujuan yang diharapkan.
Laki-laki yang ikut terlibat mengurus anak sering kali dianggap tidak bisa menikmati hidupnya dengan baik sebagai kepala keluarga. Bahkan sejak kecil anak laki-laki yang tidak menyukai olahraga yang menunjukkan kemaskulinannya dianggap bukan laki-laki sejati.
Sosial seolah membuat laki-laki dilarang untuk bercerita, dilarang untuk menyampaikan keluh-kesahnya. Begitu juga dengan pandangan sosial yang sering menyepelekan kemaskulinan laki-laki ketika sebagian dari mereka mengalami pelecehan dan kekerasan secara seksual.
Meski isu pelecehan terhadap perempuan belum sepenuhnya bisa diberantas tapi setidaknya perempuan memiliki lembaga hukum yang melindunginya. Perempuan memiliki Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (KOMNAS Perempuan) sebagai lembaga yang hak-hak perempuan ketika mendapat kasus kekerasan atau pelecehan seksual.
Perempuan juga bisa melaporkan kasus seperti ini melalui Kemen PPPA sebagai pusat bantuan. Kemudian hadirnya LPSK yang membantu dan memberikan perlindungan secara hukum kepada korban pelecehan. Dan masih banyak lembaga bantuan lainnya yang bisa diakses oleh perempuan ketika menjadi korban.
Sementara ketika sebagian laki-laki mendapatkan kekerasan atau pelecehan seksual yang sama mereka sulit mengakses Lembaga Swadaya Masyarakat yang menangani kasus pelecehan terhadap laki-laki. Justru laki-laki yang menjadi korban sering dianggap dan disalahkan ketika tidak mampu melawan aksi pelecehan tersebut.
Hal ini yang membuat laki-laki yang menjadi korban bisa bermanifestasi menjadi pelaku--yang kemudian bisa merubah orientasi seksualnya menjadi belok atau justru jadi pelaku kejahatan seksual bagi perempuan yang dianggapnya menjadi kaum yang lebih lemah bagi dirinya.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh psikolog bernama Elizabeth Harteney yang berjudul The Cycle of Sexsual Abuse and Abusive Adult Relationships bahwa pelecehan seksual yang dilakukan oleh pelaku bukan saja berdasarkan pada nafsu.
Melainkan sebagai bentuk balas dendam dalam upaya untuk menyembuhkan dengan merebut kembali kekuasaan atau kontrol. Mereka yang pernah menjadi korban mengambil posisi yang berlawanan yaitu menjadi pelaku yang membuat dirinya meras lebih kuat.
Baca Juga: Secuil tentang Psikologi Agama
Dilansir dari froyonion.com bahwa terdapat studi bahwa terdapat satu dari lima anak, menjadi pelaku kekerasan seksual terhadap anak-anak lainnya di kemudian hari. Bayangkan bila pelecehan seksual terhadap laki-laki tidak mendapatkan perhatian khusus maka kejahatan seksual baik terhadap perempuan atau laki-laki akan terus terjadi.
Bahkan menurut penelitian yang dilakukan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada tahun 2018 menyatakan bahwa korban kekerasan banyak didominasi oleh laki-laki.
Pada tahun 2016 Lentera Sains Indonesia pernah melakukan penelitian yang membahas secara mendalam terkait pelecehan seksual yang dialami oleh laki-laki baik secara verbal maupun non-verbal serta bagaimana perspektif maskulinitas masyarakat yang ada di Kota Purwokerto.
Penelitian yang berjudul Sexual Harassment of Men and Society's Perspective On Masculinity (Norman Fairclough Critical Discourse Analysis) menyebutkan bahwa stigma maskulinitas yang menempel kepada laki-laki justru membuat laki-laki terbebani dengan pandangan sosial. Pelecehan terhadap laki-laki melahirkan hierarki kelelakian terutama jika posisi korban dianggap lebih rendah dibandingkan dengan pelaku kejahatan seksual.
Sejumlah penyintas laki-laki korban seksual yang dihadirkan melalui wawancara dalam youtube Menjadi Manusia mengalami kejadian yang beragam perihal pelecehan seksual. Ada laki-laki yang mengalami pelecehan saat masih kecil dan dilakukan oleh pria dewasa. Dirinya merasa hidupnya hancur dan memiliki trauma yang mendalam setelah kejadian tersebut.
Bahkan dari penyitas lain ada yang mengalami pelecehan secara berkali-kali. Nahasnya kejadian ini dilakukan pria dewasa kepada anak SMA di depan publik setelah pelaku melihat sejumlah perempuan yang sedang melakukan syuting tapi dengan penampilan yang sedikit terbuka. Hal ini memicu pria dewasa tersebut langsung melakukan aksi bejatnya kepada anak SMA laki-laki yang sedang diboncengnya dalam motor.
Melalui segala bentuk pelecehan yang terjadi kepada laki-laki sudah sepatutnya kita menghilangkan stigma "Laki-laki itu harus selalu kuat, atau laki-laki itu enggak mungkin mendapatkan pelecehan seksual" karena tindakan ini justru membungkam suara laki-laki yang mengalami pelecehan untuk sembuh dari segala traumanya.
Perempuan atau pun laki-laki yang sama-sama sebagai manusia tentu mendapatkan hak yang sama untuk menyuarakan keadilan dari masa depan yang sempat dirampas. Berhak mendapatkan kenyamanan dan keamanan yang sama dari negara yang menaunginya. Laki-laki dan perempuan berhak sembuh dari luka dan trauma yang disebabkan oleh pelaku tindak kejahatan seksual. (*)
