Memulangkan Bandung pada Purwadaksina Setelah Absen dalam Daftar 'Kota Hijau'

Arfi Pandu Dinata
Ditulis oleh Arfi Pandu Dinata diterbitkan Senin 27 Okt 2025, 18:03 WIB
Proses pengerukan sedimentasi Sungai Cikapundung oleh petugas menggunakan alat berat di Kota Bandung. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Kavin Faza)

Proses pengerukan sedimentasi Sungai Cikapundung oleh petugas menggunakan alat berat di Kota Bandung. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Kavin Faza)

Kawasan yang dulu dielu-elukan sebagai laboratorium ide urban, pusat kreativitas, dan surga pendidikan ini, ternyata gagal menata relasi dasarnya dengan lingkungan. Bandung tidak ada dalam daftar pemeringkatan seperti UI Green City Metric 2025. Absensi itu bukan hanya soal angka melainkan soal cara kota besar memahami dirinya sendiri.

Bandung terjebak dalam bayangan yang ia ciptakan sendiri. Katanya selalu ada kuliner yang enak-enak, mode fesyen yang kekinian, sampai digitalisasi. Julukan seolah cukup jadi alat ukur untuk segalanya.

Khianat pada Leluhur

Bandung, jika menengok ke sejarah geologinya, lahir dari letusan dahsyat Gunung Sunda purba ribuan tahun lalu. Cekungan besar yang kemudian menjadi dataran Bandung adalah jejak luka bumi yang terbendung, pecah, mengendap, dan mengering lalu menjelma jadi ruang hidup.

Leluhur Sunda tahu betul makna kesakralan kawasan ini. Dalam sasakala Tangkuban Parahu, kisah Sangkuriang, Dayang Sumbi, dan Si Tumang bukan sekadar legenda romantik, melainkan narasi ekologis yang mendalam. Sebuah peringatan etik tentang hasrat, sekaligus kesadaran akan asal-usul lingkungan sekitar.

Namun, di peradaban kota modern hari ini, cerita-cerita itu kerap dianggap mitos irasional yang murahan belaka. Bukan narasi kosmologi, bukan petuah akan batas dan tanggung jawab manusia terhadap alam. Bandung justru lebih memilih logika “pembangunan” yang memberangus memori genealogis geologinya. Kawasan resapan air diubah jadi perumahan mewah, perbukitan ditanami vila dan kafe, Sungai Cikapundung dan Citarum menyalurkan limbah dan sampah.

Lalu apa sebenarnya, "pembangunan" itu sungguh membangun atau merusak?

Hari ini, tampak jelas bahwa kita sedang menyaksikan pengkhianatan yang sunyi terhadap warisan leluhur. Pada nilai kesundaan yang sejati, terhadap tradisi dan kehendak semesta. Padahal andai saja Bandung mau mendengarkan kisahnya sendiri, ia akan paham pada disiplin yang kiwari disebut mitigasi bencana.

Gedebage sebagai kawasan resapan air, telah berselingkuh. Bandung Timur berada dalam genggaman impian futuristik di antara stadion, perumahan elit, mall besar, stasiun kereta, kampus-kampus, dan masjid provinsi. Ancaman Sesar Lembang diabaikan, ringkihnya modernitas tampak tenggelam dalam kalkulasi potensi kerugian besar, dan maut yang menanti.

Tanda-tanda itu ada di pelupuk mata. Banjir yang kian parah di Dayeuh Kolot, misal, malah dianggap sebagai kearifan lokal. Belum lagi jalan-jalan utama kota seperti Soekarno-Hatta, Buah Batu, dan Pasteur, bukan saja genangan air juga problem kemacetan dan polusi udara yang kian menyesakkan paru.

Bandung, pohon-pohon besar di sepanjang jalan tidak terurus. Kala hujan lebat datang, ia bisa saja membunuh pengendara. Bandung, kasus-kasus kebun binatang bahkan kaburnya macan, semuanya adalah bentuk-bentuk kecil dari hilangnya rasa hormat terhadap kehidupan.

Lebih Memilih Memuja Kolonialisme

Villa Isola di Universitas Pendidikan Indonesia, Kota Bandung. (Sumber: Pemkot Bandung)
Villa Isola di Universitas Pendidikan Indonesia, Kota Bandung. (Sumber: Pemkot Bandung)

Ketimbang peduli pada akar identitasnya, Bandung lebih memilih hidup dalam imajinasi yang dibangun oleh sejarah kolonial. Label seperti Paris van Java atau Kota Kembang begitu melekat di benak banyak orang. Kata-kata itu tampak manis, meluputkan kita pada glorifikasi permukaan. Kawasan ini terjebak dalam citra permai yang tidak pernah benar-benar berpijak pada realitas ekologisnya.

Bandung merasa bangga disebut kota “maju” dengan kereta cepat Whoosh. Begitu juga kampus ternama, tanda open minded, seperti ITB, UNPAD, UPI, POLBAN, UIN SGD, ISBI, UNPAS, Tel-U, ITENAS, UNPAR, MARANATHA, Muhammadiyah Bandung, NHI. Tapi kemajuan macam apa yang kita rayakan jika udara makin kotor, air makin tercemar, dan ruang hidup makin sesak? Bandung yang katanya kota terdidik justru gagal belajar dari tanah yang dipijaknya sendiri.

Di luar kota, Bandung disebut-sebut. Lembang yang sejuk, kebun teh di Ciwidey dan Pangalengan, Kawah Putih yang asik, Puncak Bintang dan Dago tempat lihat city light kota. Semua menjadi konsumsi wisata, potret alam indah dieksotiskan tanpa kesadaran ekologis. Alam hanya dilihat sebagai latar estetis, bukan entitas yang memiliki hak hidup berkelindan dengan kita di dalamnya.

Sementara di dalam kota, manusianya pun diperlakukan serupa. Urang Bandung diobjektifikasi dalam stereotip yang terdengar seperti pujian, Aa-aa dan Tétéh-tétéh Bandung itu karasep dan gareulis, bersih lagi sensual. Alam kita, kota kita, dan tubuh kita, semuanya diubah menjadi komoditas visual.

Apakah ini yang patut dibanggakan? Bandung dipuja karena kenangan dan kenikmatannya, bukan karena martabatnya sebagai ruang hidup yang beradab.

Kota ini seperti hidup di panggung kolonial yang lama. Bandung dipoles, dihias, dan dijual, tanpa sempat berkontemplasi tentang luka dan tanggung jawabnya terhadap bumi.

Kita lupa bahwa semua pujian tentang Bandung yang “menawan” ini adalah hasil pandang mata kolonial yang dulu melihat Priangan sebagai taman tropis yang bisa dikuasai, dieksploitasi, dan dijadikan tempat peristirahatan kaum elite. Persepsi itulah yang kini dilanjutkan oleh warga kota sendiri, dalam bentuk self-colonialism yang memuja citra kemolekan yang berbahaya.

Kebanggaan yang Sebenarnya

Padahal dalam sejarah Indonesia modern, Bandung memiliki narasi yang istimewa. Peristiwa Bandung Lautan Api dan Konferensi Asia-Afrika menjadi ikon perjuangan, keberanian, dan solidaritas melawan kolonialisme yang abadi. Namun kini kedua peristiwa itu tinggal slogan. Semangatnya mungkin dikutip berkali-kali, diperingati tiap tahun, tetapi jarang direnungkan maknanya dalam konteks pengelolaan kawasan kekinian.

Spirit Bandung Lautan Api dulu lahir dari keberanian untuk menghancurkan penjajahan fisik, kini semestinya kita berani menyalakan api dalam rupa kesadaran baru. Ialah melawan penjajahan ekologis, kapitalisme ekstraktif, dan kolonialisme pengetahuan yang memisahkan manusia dari alam. Dari sini kita bisa pulang ke pangkuan Bandung, Sang Banda Indung. Sumber asali, air asi, dan identitas kita sendiri 

Demikian pula semangat Konferensi Asia-Afrika bisa diterjemahkan ulang sebagai solidaritas ekologis lintas bangsa, sebuah perjuangan bersama menghadapi krisis iklim yang mengancam seluruh umat manusia. Ibu kota dua benua yang berani memekik pembebasan dari imperialisme bangsa-bangsa yang mendaku lebih layak menentukan nasib bangsa yang lain.

Kiranya Bandung hari ini membutuhkan revolusi identitas yang mendalam, sebuah langkah balik pada kesadaran lingkungan yang berakar pada nilai-nilai lokal. 

“Bumi Pasundan Lahir Ketika Tuhan Sedang Tersenyum”, ungkapan M.A.W. Brouwer yang terpampang di dinding jembatan penyeberangan di Jalan Asia Afrika Kota Bandung, bukan sekadar latar foto para pengunjung, tapi mesti jadi laku spiritual. Bahwa menjadi Bandung bukan soal justifikasi orang luar, melainkan prinsip hidup yang lestari, yang menjadi dasar bagi kebijakan publik, pendidikan, dan gaya hidup warga kawasan ini.

Bandung ketiadan namamu dalam status “hijau” di atas kertas harus jadi pemicu untuk mulai membangun kesadaran ekologis yang sejati. Ini berarti menata kembali relasi manusia dengan tanah airnya. Sikap nasionalisme yang hakiki, ialah mengembalikan fungsi kawasan sebagai ruang hidup, bukan ruang jual. Bandung segeralah berdamai dengan ingatanmu sendiri.

Barangkali saat ini, kegagalan Bandung dalam peringkat kota hijau justru merupakan anugerah. Sebuah tamparan agar kawasan ini berhenti membangun citra. Agar Bandung tidak lagi menyemayamkan ilusi kolonial, melainkan altar spiritual-ekologis yang mempraktikkan keseimbangan antara kekinian dan kearifan lokal.

Seperti api perjuangan yang pernah menyala di tahun 1946, semoga dari reruntuhan kesadaran ini lahir api baru. Api yang membakar nalar lama, menerangi jalan nurani menuju keberlanjutan yang berakar pada bumi dan budaya sendiri. Bandung tidak perlu menjadi Paris. Bandung cukup menjadi ibu sendiri, tempat bergelayut, dan inilah yang sebenar-benarnya sumber awal kita. Disebut dengan purwadaksi. (*)

Disclaimer

Tulisan ini merupakan artikel opini yang sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Pandangan yang disampaikan dalam artikel ini tidak mewakili pandangan atau kebijakan organisasi dan redaksi AyoBandung.id.

Arfi Pandu Dinata
Menulis tentang agama, budaya, dan kehidupan orang Sunda
Nilai artikel ini
Klik bintang untuk menilai

Berita Terkait

News Update

Ayo Biz 27 Okt 2025, 20:13 WIB

Dari Pohon Keramat ke Camilan Kekinian, Nurhaeti Menyulap Daun Kelor Jadi Pangan Bernutrisi

Dikenal sebagai tanaman mistis, Nurhaeti mengolah daun kelor menjadi aneka panganan bernutrisi mulai dari cheese stick, bolu, keripik pisang, hingga cookies.
Nurhaeti, warga Cinunuk, yang sejak 2015 mengolah daun kelor menjadi aneka panganan bernutrisi. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Mildan Abdalloh)
Ayo Biz 27 Okt 2025, 19:36 WIB

Bandung Menuju Transportasi Publik Berkelas: Menelisik Potensi Metro Jabar Trans dan Feeder MJT

Kemacetan yang kian parah, dominasi kendaraan pribadi, serta keterbatasan infrastruktur menjadi momok yang menggerus kualitas hidup warga Bandung.
Kehadiran Metro Jabar Trans (MJT) dan feeder MJT, sebuah inisiatif ambisius yang digadang-gadang mampu merevolusi sistem transportasi publik Bandung Raya. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Kavin Faza)
Ayo Netizen 27 Okt 2025, 18:03 WIB

Memulangkan Bandung pada Purwadaksina Setelah Absen dalam Daftar 'Kota Hijau'

Kawasan yang kehilangan akar ekologisnya. Terjebak citra kolonial dan ilusi kemajuan, ia lupa pada asalnya. Kini saatnya kembali ke martabat sendiri.
Proses pengerukan sedimentasi Sungai Cikapundung oleh petugas menggunakan alat berat di Kota Bandung. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Kavin Faza)
Ayo Biz 27 Okt 2025, 17:40 WIB

Air Isi Ulang Tanpa Sertifikasi, Celah Regulasi yang Mengancam Kesehatan Publik

SLHS seharusnya menjadi bukti bahwa air yang dijual telah melalui proses yang memenuhi standar kebersihan dan sanitasi.
Ilustrasi air minum. (Sumber: Freepik)
Ayo Netizen 27 Okt 2025, 17:04 WIB

Indisipliner, Hukuman, dan Perlawanan: Mengurai Benang Kusut Disiplin Sekolah

Sebuah analisis tentang pergeseran makna kenakalan remaja, solidaritas buta, dan tantangan yang dihadapi guru.
 (Sumber: Gemini AI Generates)
Ayo Jelajah 27 Okt 2025, 16:32 WIB

Sejarah Lapas Sukamiskin Bandung, Penjara Intelektual Pembangkang Hindia Belanda

Lapas Sukamiskin di Bandung dulu dibangun untuk kaum intelektual pembangkang Hindia Belanda. Kini, ia jadi rumah mewah bagi koruptor.
Lapas Sukamiskin.
Ayo Netizen 27 Okt 2025, 16:29 WIB

Problem Deforestasi Mikro Kota Bandung

Deforestasi mikro di Kota Bandung makin sering terjadi. Ujungnya, suhu kota merangkak naik. Malam terasa lebih hangat.
Hutan Kota Babakan Siliwangi, Kota Bandung. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Irfan Al-Faritsi)
Ayo Netizen 27 Okt 2025, 15:06 WIB

5 Cara Bikin Voice Over Kontenmu Jernih Tanpa Alat Mahal

Suara berisik ganggu hasil kontenmu? Tenang! Artikel ini kasih 5 trik simpel biar voice over terdengar jernih dan profesional.
Suara berisik ganggu hasil kontenmu? Tenang! Artikel ini kasih 5 trik simpel biar voice over terdengar jernih dan profesional. (Sumber: Pexels/Karola G)
Ayo Jelajah 27 Okt 2025, 13:47 WIB

Batavia jadi Sarang Penyakit, Bandung Ibu Kota Pilihan Hindia Belanda

Gedung Sate seharusnya jadi jantung pemerintahan Hindia Belanda. Tapi rencana besar itu kandas sebelum Bandung sempat berkuasa.
Alun-alun Bandung sebelum tahun 1930-an. (Sumber: KITLV)
Ayo Netizen 27 Okt 2025, 12:46 WIB

Bandung Raya dan Mimpi Kota Berkelanjutan yang Masih Setengah Jalan

Keberhasilan Bandung Raya dalam menjadi kawasan hijau tidak akan diukur dari penghargaan semata.
Bandros atau Bandung Tour on Bus adalah bus wisata ikonik Kota Bandung. (Sumber: Pexels/arwin waworuntu)
Ayo Netizen 27 Okt 2025, 11:16 WIB

Klise Wacana 6 Agama Resmi di Indonesia

‘Enam agama resmi’ bertebaran di mana-mana, di setiap jenjang pendidikan.
‘Enam agama resmi’ bertebaran di mana-mana, di setiap jenjang pendidikan. Kita Diajarkan untuk memahami hal ini. (Sumber: Pexels/Mochammad Algi)
Ayo Netizen 27 Okt 2025, 09:41 WIB

Mengulas Kekurangan Film 'Gowok: Kamasutra Jawa'

Artikel ini berisi opini tentang film "Gowok: Kamasutra Jawa".
Salah satu adegan film "Gowok: Kamasutra Jawa". (Sumber: MVP Pictures)
Ayo Netizen 27 Okt 2025, 07:57 WIB

Mengapa Tokoh Agama Kita Perlu Membaca Realitas?

Tokoh agama kita sangat perlu membaca realitas agar setiap keputusan atau nasihat yang diberikan bisa tetap relevan dengan kondisi zaman saat ini.
Tokoh agama perlu membaca realitas agar dapat menafsirkan ajaran agama secara relevan dan kontekstual dengan kehidupan masyarakat. (Sumber: Kolase Canva)
Ayo Netizen 26 Okt 2025, 20:02 WIB

Hari Kebudayaan Nasional: Membuka Selubung Identitas Sinkretik Kita

Penetapan 17 Oktober sebagai Hari Kebudayaan Nasional oleh Menteri Kebudayaan Fadli Zon menuai perdebatan yang menarik.
Kebudayaan tradisional Indonesia. (Sumber: Pexels/Muhammad Endry)
Ayo Netizen 26 Okt 2025, 18:47 WIB

Peringkat Liga Indonesia Naik, gegara Persib Menang di Asia

Persib memenangkan pertandingan melawan Selangor FC pada lanjutan ACL 2
Persib Bandung saat bermain di ACL 2. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Irfan Al-Faritsi)
Ayo Netizen 26 Okt 2025, 16:00 WIB

Mengangkat Martabat Dapur Pelatihan: Menyibak Peran Sunyi di Balik Pembelajaran ASN

Di balik sorotan pelatihan ASN, ada dapur senyap tempat dedikasi bekerja tanpa tepuk tangan.
Aparatur Negeri Sipil (ASN). (Sumber: bkpsdm.purworejokab.go.id)
Ayo Netizen 26 Okt 2025, 13:35 WIB

Kota Bandung Menuju Kota Mati?

Refleksi terhadap kegagalan Kota Bandung masuk 10 besar UI Greenmetric 2025.
Banjir di salah satu wilayah Kota Bandung. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Irfan Al-Faritsi)
Ayo Jelajah 26 Okt 2025, 11:37 WIB

Urban Legend Gedung BMC, Rumah Sakit Terbengkalai Gudang Cerita Horor di Bandung

Kisah mistis dan sejarah Rumah Sakit BMC di Bandung, dari masa sebagai RS Sartika Asih hingga jadi legenda horor dengan hantu suster Belanda.
Gedung BMC yang banyak menyimpan kisah mistis. (Sumber: Ayobandung)
Ayo Netizen 26 Okt 2025, 10:30 WIB

Pelajaran dari Film Good Boy (2025), Saat ‘Kebaikan’ Berhenti Menjadi Konsep Sederhana

Film Good Boy (2025) menghadirkan kisah horor unik tentang anjing peliharaan.
Poster Good Boy 2025
Ayo Netizen 26 Okt 2025, 08:23 WIB

Budaya Pembungkaman Terhadap Perempuan

Suara perempuan kadang tak terdengar bahkan sebelum sampai ditelinga seseorang
Bagi perempuan terlalu vokal bukan sekedar ejekan moral, justru hal tersebut mengundang maut untuk perempuan yang punya keberanian berkata tidak. (Sumber: Freepik)