Berlatar belakang kehidupan di Jawa era tahun 1950an, Film Gowok: Kamasutra Jawa hadir dengan mengangkat satu tradisi Jawa yang ada pada saat itu dengan menggabungkan genre thriller, horor, dan drama sejarah.
Film yang disutradarai oleh Hanung Bramantyo ini tayang perdana di bioskop Indonesia pada 5 Juni 2025 lalu dan kini sudah hadir di Netflix pada 9 Oktober 2025 kemarin. Beberapa daftar pemain dalam film ini, yaitu Devano Danendra, Reza Rahardian, Alika Jantinia, Raihaanun, Lola Amaria dan Ali Fikri.
Film Gowok: Kamasutra Jawa hadir sebagai film yang cukup mengagetkan masyarakat Indonesia karena berani mengangkat tradisi kuno yang jarang diketahui masyarakat modern khususnya masyarakat yang bukan berasal dari suku Jawa.
Melalui kisah dalam filmnya yang menampilkan tradisi 'Gowok', film ini membuka tirai tentang praktik spiritual dan seksual yang pernah hidup di tengah budaya Jawa, yaitu ajaran tentang keseimbangan antara tubuh, jiwa, dan nafsu yang menjadi bagian dari spiritual.

Istilah ‘Gowok’ merupakan sebutan bagi perempuan Jawa yang bekerja sebagai guru untuk laki-laki yang ingin menikah. Seorang gowok ini bertugas untuk mengajarkan calon pengantin pria mengenai kehidupan rumah tangga dan seksualitas.
Banyak orang tak menyangka bahwa tradisi seperti ini pernah ada. Namun, tradisi ini sudah lama dihentikan ataupun telah hilang karena dianggap tidak sesuai dengan norma sosial dan norma agama.
Hanung Bramantyo sebagai produser disini tidak memiliki tujuan untuk menampilkan sisi dari seksualitas, melainkan ingin menunjukkan bahwa ternyata ada sebuah tradisi Jawa yang mengajarkan laki-laki untuk melayani istri.
"Saya mengangkat tema ini karena saya kaget ternyata di budaya saya, Jawa ada yang seperti ini karena yang saya tahu laki-laki tuh seharusnya yang dilayani sama perempuan karena saya di doktrin bahwa budaya Jawa seperti itu jadi sangat patriarkal sekali begitu yang saya tahu dan ternyata di Kamasutra Jawa kebalikannya dan ini menarik" ungkap Hanung dalam acara Meet Nite Live Metro TV (Youtube Metro TV, 6 Juni 2025).

Secara sinematografinya, film ini cukup berani dalam pengambilan visual dan nuansa budayanya juga terlihat cukup kental.
Mengingat kembali bahwa film ini diangkat dari kisah nyata tradisi kuno, mungkin terdapat keraguan bagi beberapa orang bahwa film ini membuat kesalahan pada simbol dan interpretasi yang tidak tepat. Namun, sejauh ini belum ditemukan kritik mengenai pengemasan tradisi Gowok dalam film tersebut.
Narasi, alur, kualitas akting para aktor, dan tata bahasa yang digunakan dalam film ini juga dinilai cukup bagus dan mudah dimengerti. Bahkan, ada yang memberikan ulasan bahwa film ini memberikan pengetahuan baru terlebih lagi bagi orang di luar suku Jawa.
Meskipun begitu, film ini tidak bisa dikatakan sempurna karena masih terdapat beberapa kekurangan. Beberapa penonton memberikan ulasan tentang logat Jawa pada beberapa dialog Devano Danendra sebagai Kamanjaya yang tidak mulus, sehingga terdengar seperti bukan logat Jawa yang murni.
Namun, di samping itu semua film ini patut diberi apresiasi karena telah berani mengangkat tradisi kuno yang sensitif. (*)
