Menengok Penderitaan dalam Kacamata Agama-Agama

Arfi Pandu Dinata
Ditulis oleh Arfi Pandu Dinata diterbitkan Selasa 28 Okt 2025, 20:54 WIB
Ilustrasi orang dengan gangguan kesehatan mental. (Sumber: Pexels/Nothing Ahead)

Ilustrasi orang dengan gangguan kesehatan mental. (Sumber: Pexels/Nothing Ahead)

Topik kesehatan mental naik daun. Dari obrolan serius di ruang akademik sampai konten receh di media sosial, semua terasa punya pendapat. Menjadi aware soal mental health sekarang bukan cuma tanda kepekaan, tapi juga bagian dari gaya hidup orang muda yang dianggap open minded dan “keren.” Fenomena ini tentu positif, menumbuhkan kesadaran baru tentang kesejahteraan jiwa. Tapi di sisi lain, tren ini juga kadang ditumpangi mereka yang cuma ikut-ikutan tanpa pemahaman yang dalam.

Salah satu isu yang cukup sering muncul di tengah perbincangan kesehatan mental ialah toxic positivity, semangat positif yang justru berbalik menjadi jebakan bagi orang yang sedang terluka. Alih-alih menyembuhkan, sikap ini malah membuat seseorang makin terpuruk karena merasa bersalah telah merasa sedih. Di dalamnya semua emosi negatif dianggap buruk. Mengeluh dipandang lemah. Meski sebetulnya kesedihan dan kerentanan itulah yang menemukan sisi kemanusiaan yang paling jujur.

Masalahnya, toxic positivity sering kali diperkuat oleh pembenaran moral dan bahkan keagamaan. Kalimat seperti “Kamu kurang bersyukur” atau “Itu pasti karma”, sering diucapkan dengan niat baik, tapi malah jadi beban baru bagi orang yang sedang berduka.

Pertanyaannya, benarkah agama-agama mengajarkan bahwa penderitaan adalah kesalahan pribadi atau bukti lemahnya iman? Atau jangan-jangan, itu cuma bias yang menempel pada pemahaman keagamaan kita. Semacam imajinasi sosial yang memaksa semua orang harus always fine demi terlihat beragama?

Carl Olson dalam bukunya Religious Studies: The Key Concepts menjelaskan penderitaan sebagai pengalaman universal dari rasa sakit, baik fisik maupun mental. Ia muncul dari kekerasan, kecemasan, kehilangan, kesepian, ketakutan, bahkan frustasi atas keinginan yang tak terpenuhi. Dalam konteks agama, kata Olson, penderitaan justru mengundang agama-agama untuk hadir. Buat memberi jalan, makna, dan pengharapan dalam menghadapi realitas getir kehidupan. Dari sinilah lahir pertanyaan-pertanyaan eksistensial tentang keadilan, kasih, dan hakikat Ilahi.

Dengan kata lain, penderitaan bukan hanya “masalah” yang harus dihindari, melainkan ruang reflektif tempat agama-agama berbicara paling dalam. Lewat ritus, kisah, doa, dan filsafatnya, agama berupaya memahami dan menuntun manusia menafsirkan derita. Bahkan seringkali, justru dari penderitaanlah agama-agama menemukan bentuk kasih dan kebijaksanaan tertingginya.

Lihat saja bagaimana Buddhadharma memusatkan seluruh ajarannya pada realitas penderitaan (dukkha). Penderitaan dipahami sebagai bagian tak terpisahkan dari keberadaan, bersama dengan ketidakkekalan (anicca) dan ketiadaan diri sejati (anatta). Ketiga hal ini disebut tilakkhana, tiga corak universal kehidupan. Menurut Buddha, penderitaan muncul karena tanha (keinginan atau hasrat) yang didorong oleh tiga racun batin. Ialah keserakahan (lobha), kebencian (dosa), dan kegelapan batin (moha). Selama manusia terikat pada hasrat itu, roda sebab-akibat (kamma) terus berputar. Tapi melalui Jalan Mulia Berunsur Delapan, seseorang bisa belajar melepaskan kemelekatan itu dan mencapai nibbana, kebebasan dari penderitaan.

Kebebasan beragama sejati berarti memiliki kedua hak itu sekaligus, hak untuk berubah, dan hak untuk tidak diubah. (Sumber: Pexels/Pixabay)
Kebebasan beragama sejati berarti memiliki kedua hak itu sekaligus, hak untuk berubah, dan hak untuk tidak diubah. (Sumber: Pexels/Pixabay)

Dalam tradisi Yahudi, penderitaan juga punya posisi teologis yang kompleks. Ia bisa dipahami sebagai hukuman, tapi juga sebagai sarana pemurnian. Kisah Ayub dalam Tanakh menunjukkan bahwa penderitaan tak selalu berkaitan dengan dosa. Ayub menderita bukan karena kesalahan moral, tapi sebagai kesempatan untuk memahami kebijaksanaan Ilahi yang melampaui logika manusia. Di sini, penderitaan justru membuka ruang dialog antara manusia dan Tuhan. Sebuah dialog yang penuh kejujuran, marah, kecewa, tapi juga keintiman spiritual.

Sementara itu, Kekristenan menempatkan penderitaan pada pusat imannya yakni salib. Yesus Kristus, sosok yang menanggung penderitaan dan kematian, menjadikan salib sebagai simbol teologis yang paradoksal. Tempat pertemuan antara penderitaan terdalam dan kasih terbesar. Sejarah Gereja purba penuh dengan kisah martir, orang-orang yang rela menderita demi iman mereka. Tapi bukan hanya soal heroisme, melainkan kesadaran bahwa dalam penderitaan, manusia bisa turut serta dalam penderitaan Kristus, dan dengan begitu mengalami penebusan yang sejati.

Kosmologi Tiongkok juga punya cara khas memahami derita. Melalui konsep Yin dan Yang, segala hal di dunia dipahami sebagai keseimbangan antara dua kutub yang saling melengkapi. Penderitaan bukan kesalahan kosmos, melainkan bagian dari harmoni alam semesta. Titik hitam di tengah putih yang membuat keseluruhan menjadi utuh. Ajaran Tao mengajarkan wu wei, hidup selaras dengan alam, tidak memaksa, tidak melawan arus kehidupan. Itu bukan sikap apatis, tapi bentuk kebijaksanaan untuk menerima kenyataan sebagaimana adanya, termasuk penderitaan.

Dalam Islam, penderitaan juga dilihat sebagai bagian alami dari perjalanan hidup. Nabi Muhammad sendiri mengalami ‘Aamul Huzni’, “tahun kesedihan,” saat kehilangan orang-orang yang paling dicintainya. Kisah ini memandang Sang Nabi sendiri merupakan sosok yang bisa masuk ke dalam penderitaan. Ia mengalami, ia merasakan. Dan Nabi berpilu batin dalam masa tersebut. Sebuah sisi lain, keteladan yang paling manusiawi.

Dari berbagai religi itu, satu hal jadi jelas. Agama-agama tidak nol empati pada penderitaan. Mereka tidak menafikan luka, tidak selalu menyuruh manusia berpura-pura bahagia. Justru sebaliknya, agama hadir untuk menemani manusia menatap luka itu. Kadang dengan doa, kadang dengan perenungan, kadang dengan penerimaan yang menyakitkan, kadang diam yang mendalam. (*)

Disclaimer

Tulisan ini merupakan artikel opini yang sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Pandangan yang disampaikan dalam artikel ini tidak mewakili pandangan atau kebijakan organisasi dan redaksi AyoBandung.id.

Arfi Pandu Dinata
Menulis tentang agama, budaya, dan kehidupan orang Sunda
Nilai artikel ini
Klik bintang untuk menilai

Berita Terkait

Enam Akar Asal-usul Agama

Ayo Netizen 22 Okt 2025, 20:10 WIB
Enam Akar Asal-usul Agama

News Update

Ayo Netizen 28 Okt 2025, 20:54 WIB

Menengok Penderitaan dalam Kacamata Agama-Agama

Benarkah agama-agama mengajarkan bahwa penderitaan adalah kesalahan pribadi atau bukti lemahnya iman?
Ilustrasi orang dengan gangguan kesehatan mental. (Sumber: Pexels/Nothing Ahead)
Ayo Jelajah 28 Okt 2025, 18:13 WIB

Sejarah Panjang ITB, Kampus Insinyur Impian Kolonial Tanah Tropis

Technische Hoogeschool te Bandoeng berdiri tahun 1920 sebagai sekolah teknik pertama di Hindia Belanda, cikal bakal ITB dan lahirnya insinyur pribumi seperti Sukarno.
Peresmian Technische Hoogeschool te Bandung (THS) 3 Juli 1920. (Foto: KITLV)
Ayo Biz 28 Okt 2025, 17:52 WIB

Langkah Kecil, Dampak Besar: Gaya Hidup Sehat Menjadi Gerakan Sosial di Bandung

Gaya hidup sehat di Bandung tidak hanya dipicu oleh kesadaran individu, tetapi juga oleh ekosistem kota yang mendukung.
Gaya hidup sehat di Bandung tidak hanya dipicu oleh kesadaran individu, tetapi juga oleh ekosistem kota yang mendukung. (Sumber: Ist)
Ayo Netizen 28 Okt 2025, 17:13 WIB

Mahasiswa Boleh Sibuk, tetapi Jangan Lupa Bahagia

Di balik jadwal padat, tugas menumpuk, dan tuntutan produktivitas, banyak mahasiswa yang diam-diam berjuang melawan stres dan kelelahan mental.
Ilustrasi mahasiswa di Indonesia. (Sumber: Pexels/Dio Hasbi Saniskoro)
Ayo Biz 28 Okt 2025, 16:06 WIB

Rebo Nyunda di Cikapundung, Menjaga Napas Budaya Sunda di Tengah Deru Modernisasi

Rebo Nyunda bukan sekadar pertunjukan, program ini adalah gerakan akar rumput yang lahir dari keresahan akan lunturnya identitas budaya Sunda.
Cikapundung Riverspot, yang biasanya dipadati wisatawan dan pejalan kaki, menjelma menjadi panggung terbuka bagi warisan leluhur yakni Rebo Nyunda. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Eneng Reni Nuraisyah Jamil)
Ayo Jelajah 28 Okt 2025, 16:05 WIB

Hikayat Cipaganti Group, Raksasa Transportasi Bandung yang Tumbang Diguncang Skandal

Dari garasi kecil di Jalan Cipaganti, lahir raksasa transportasi yang pernah kuasai Jawa Barat. Tapi skandal finansial membuatnya tumbang tragis.
Travel Cipaganti
Ayo Biz 28 Okt 2025, 14:41 WIB

Meluncur di Meja Makan: Sushi Konveyor dan Dinamika Kuliner Bandung

Jika dulu makanan Jepang identik dengan restoran eksklusif dan sajian formal, kini hadir cara baru yang lebih dinamis dan interaktif yakni sushi konveyor.
Jika dulu makanan Jepang identik dengan restoran eksklusif dan sajian formal, kini hadir cara baru yang lebih dinamis dan interaktif yakni sushi konveyor. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Eneng Reni Nuraisyah Jamil)
Ayo Netizen 28 Okt 2025, 13:59 WIB

Dari Mimbar Kecil di Tasikmalaya sampai ke TVRI Bandung

Di era digital yang serba cepat, Ustaz Atus hadir sebagai sosok pendakwah yang mampu menyentuh hati lewat layar.
Dakwah di program TVRI Bandung "Cahaya Qolbu" (Foto: Tim TVRI Bandung)
Ayo Netizen 28 Okt 2025, 12:25 WIB

Perkawinan (Cinta) Beda Agama: Mangu, Peri Cintaku, Realitas Sosial, SEMA 2/2023, dan Bhinneka Tunggal Ika

Di lagu-lagu itu, cinta beda agama hampir selalu digambarkan seperti relasi yang seru tapi mustahil, so far selalu romantis tapi terlarang.
Ilustrasi pasangan menikah. (Sumber: Pexels/Danu Hidayatur Rahman)
Ayo Netizen 28 Okt 2025, 11:24 WIB

Maskulinitas dan Isu Pelecehan Seksual terhadap Laki-Laki

Ada yang luput dari perhatian yaitu pelecehan seksual terhadap laki-laki.
Isu pelecehan seksual umumnya terjadi kepada perempuan. Namun ada satu hal yang luput dari perhatian serta pengakuan masyarakat bahwa laki-laki pun berpotensi mengalami pelecehan seksual. (Sumber: Freepik)
Ayo Netizen 28 Okt 2025, 10:16 WIB

'The Way Home' dan Keberanian Melawan Penyesalan

Sebuah drama keluarga Tiongkok tentang penyesalan, tradisi, dan keberanian untuk pulang.
Poster film "The Way Home". (Sumber: IMDB)
Ayo Netizen 28 Okt 2025, 09:04 WIB

Secuil tentang Psikologi Agama

Psikologi agama selalu berhasil bikin kangen menyelam ke dunianya lagi.
Anak-anak beragama Islam sedang mengaji di masjid. (Sumber: Pexels/Hera hendrayana)
Ayo Netizen 28 Okt 2025, 06:13 WIB

Seperti Kita, Gie Juga Manusia Biasa

Soe Hok-gie, seorang aktivis keturunan Tionghoa yang hidupnya terasing seiring dirinya semakin berani dalam menyampaikan kritiknya kepada pemerintah.
Poster film GIE (2005). (Sumber: IMDB)
Ayo Biz 27 Okt 2025, 20:13 WIB

Dari Pohon Keramat ke Camilan Kekinian, Nurhaeti Menyulap Daun Kelor Jadi Pangan Bernutrisi

Dikenal sebagai tanaman mistis, Nurhaeti mengolah daun kelor menjadi aneka panganan bernutrisi mulai dari cheese stick, bolu, keripik pisang, hingga cookies.
Nurhaeti, warga Cinunuk, yang sejak 2015 mengolah daun kelor menjadi aneka panganan bernutrisi. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Mildan Abdalloh)
Ayo Biz 27 Okt 2025, 19:36 WIB

Bandung Menuju Transportasi Publik Berkelas: Menelisik Potensi Metro Jabar Trans dan Feeder MJT

Kemacetan yang kian parah, dominasi kendaraan pribadi, serta keterbatasan infrastruktur menjadi momok yang menggerus kualitas hidup warga Bandung.
Kehadiran Metro Jabar Trans (MJT) dan feeder MJT, sebuah inisiatif ambisius yang digadang-gadang mampu merevolusi sistem transportasi publik Bandung Raya. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Kavin Faza)
Ayo Netizen 27 Okt 2025, 18:03 WIB

Memulangkan Bandung pada Purwadaksina Setelah Absen dalam Daftar 'Kota Hijau'

Kawasan yang kehilangan akar ekologisnya. Terjebak citra kolonial dan ilusi kemajuan, ia lupa pada asalnya. Kini saatnya kembali ke martabat sendiri.
Proses pengerukan sedimentasi Sungai Cikapundung oleh petugas menggunakan alat berat di Kota Bandung. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Kavin Faza)
Ayo Biz 27 Okt 2025, 17:40 WIB

Air Isi Ulang Tanpa Sertifikasi, Celah Regulasi yang Mengancam Kesehatan Publik

SLHS seharusnya menjadi bukti bahwa air yang dijual telah melalui proses yang memenuhi standar kebersihan dan sanitasi.
Ilustrasi air minum. (Sumber: Freepik)
Ayo Netizen 27 Okt 2025, 17:04 WIB

Indisipliner, Hukuman, dan Perlawanan: Mengurai Benang Kusut Disiplin Sekolah

Sebuah analisis tentang pergeseran makna kenakalan remaja, solidaritas buta, dan tantangan yang dihadapi guru.
 (Sumber: Gemini AI Generates)
Ayo Jelajah 27 Okt 2025, 16:32 WIB

Sejarah Lapas Sukamiskin Bandung, Penjara Intelektual Pembangkang Hindia Belanda

Lapas Sukamiskin di Bandung dulu dibangun untuk kaum intelektual pembangkang Hindia Belanda. Kini, ia jadi rumah mewah bagi koruptor.
Lapas Sukamiskin.
Ayo Netizen 27 Okt 2025, 16:29 WIB

Problem Deforestasi Mikro Kota Bandung

Deforestasi mikro di Kota Bandung makin sering terjadi. Ujungnya, suhu kota merangkak naik. Malam terasa lebih hangat.
Hutan Kota Babakan Siliwangi, Kota Bandung. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Irfan Al-Faritsi)