Dari mimbar kecil di Tasikmalaya hingga layar televisi nasional, Ustaz Atus Ludin Mubarok, S.Ag., M.Sy. menebar cahaya dakwah yang menenangkan. Ia bukan sekadar pendakwah, tapi pengingat lembut di tengah riuhnya dunia digital.
Ustaz Atus Ludin Mubarok lahir di Tasikmalaya 19 Agustus pada tahun 1972 di tengah keluarganya yang kental dengan nilai-nilai religius. Sejak kecil, ia sudah terbiasa melihat ayahnya berdiri di depan jemaah, menyampaikan pesan kebaikan dengan tutur lembut. Dari situlah benih kecintaannya pada dakwah mulai tumbuh.
Suatu kali, saat masih duduk di bangku kelas enam SD, ia memberanikan diri naik mimbar untuk pertama kalinya. Ia mengenang momen itu sebagai awal langkah hidupnya di jalan dakwah.
“ Dunia dakwah itu sudah diperkenalkan oleh bapak saya sejak usia delapan tahun,” ujarnya.
Selepas belajar di Pondok Pesantren Darussalam, ia melanjutkan pendidikan di Fakultas Syariah IAIN Bandung (kini UIN Sunan Gunung Djati). Meski ia masuk di Fakultas Syariah tapi ia tetap menjadikan dakwahnya sebagai ruh dan hobi dalam dirinya.
Namun hidup tak selalu lurus. Setelah lulus, ia sempat meninggalkan dunia dakwah dan memilih bekerja di perusahaan swasta. Dalam waktu singkat, ia meniti karier hingga mendapatkan gaji yang biasanya sebulan bisa sampai berpuluh juta. Kesuksesan finansial sempat memalingkannya dari mimbar, tetapi tidak dari hatinya. Ia merasa ada ruang batin yang kosong keheningan yang tak bisa diisi oleh gaji besar.
“Rizki datang cepat, keluar cepat,” ujarnya kemudian. “Saya sadar Allah sedang mengingatkan.”
Kebangkrutan perusahaan tempatnya bekerja menjadi titik balik. Ia kembali ke masjid, ke jemaah, dan ke jalan dakwah yang telah membesarkannya sejak kecil.
Memasuki era digital, ia menyadari perubahan pola komunikasi umat. Ia tidak ingin dakwah terkungkung di ruang fisik. Dari sinilah ia mulai menapaki mimbar baru media sosial.
Melalui Facebook, instagram, VideoSnap dan TikTok, ia mengubah pesan-pesan pendek menjadi dakwah yang ringan tapi mengena. Ia tidak mengejar popularitas, ia ingin pesan kebaikan tetap bersuara di tengah arus hiburan.
“Kalau ada sepuluh postingan hura-hura, minimal satu harus dakwah,” katanya suatu kali.
Kini akun TikTok-nya diikuti lebih dari lima puluh ribu orang. Ia tidak menulis naskah panjang, melainkan menanamkan kesadaran lewat video satu menit yang sederhana. Ia percaya, satu pesan yang tulus bisa menembus hati lebih dalam daripada seribu kata yang keras.
Ketika ada acara Diklat ada seorang rekannya menawarinya menggantikan jadwal ceramah di program Cahaya Qolbu TVRI Bandung. Tanpa banyak pikir, ia menyanggupi. Penampilan perdananya yang tenang dan komunikatif langsung menarik perhatian tim produksi. Sejak saat itu, ia menjadi pengisi tetap program tersebut.
Baginya, kesempatan itu bukan kebetulan. Ia menganggapnya sebagai bentuk panggilan dari Allah agar terus menyebarkan cahaya dakwah di ruang publik.
“Semua sudah digariskan, sebagaimana dalam surat At-Takwir 29: وَمَا تَشَاۤءُوْنَ اِلَّآ اَنْ يَّشَاۤءَ اللّٰهُ رَبُّ الْعٰلَمِيْنَ dan artinya adalah Dan Kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) , kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam, " ujarnya.
Dari layar televisi, ia membawa nilai dakwah yang lembut dan menenangkan, jauh dari retorika yang menghakimi. Bagi Ustaz Atus, inti dakwah bukanlah kefasihan berbicara, melainkan ketulusan hati. Ia menolak gaya dakwah yang menimbulkan ketakutan atau kebencian.
“Kalau Nabi saja tidak mengkafirkan musuhnya, kenapa kita mudah menghakimi sesama?” ujarnya dalam satu wawancara.
Ia memilih jalur Rahmah kasih sayang yang membimbing, bukan menghukum. Dalam setiap ceramahnya, ia sering memulai dengan kisah ringan atau humor sederhana. Kadang, inspirasinya datang dari hal-hal tak terduga, seperti tulisan di belakang truk atau video pendek di TikTok. Ia yakin, pesan moral bisa datang dari mana saja selama hati siap menerimanya.
Bagi generasi muda, ia menekankan pentingnya literasi, keterbukaan, dan keikhlasan. Menurutnya, da’i zaman sekarang tidak cukup hanya pandai berbicara mereka harus terus belajar dan menulis agar pesan dakwah tetap relevan.
“Jangan malas membaca, menulis dan mendengar orang lain ceramah, ilmu Allah luas, tidak ada di satu orang saja,” katanya.
Ia juga berpesan agar para pendakwah muda tidak silau pada popularitas media. Dakwah sejati, katanya, bukan tentang siapa yang paling banyak penonton, tetapi siapa yang paling ikhlas dalam menyampaikan.
Dari mimbar kecil di Tasikmalaya hingga layar TVRI Bandung, perjalanan Ustaz Atus Ludin Mubarok adalah kisah tentang keteguhan dan ketulusan. Ia membuktikan bahwa dakwah tak selalu harus keras, cukup lembut tapi sampai ke hati. Ia menutup pembicaraan dengan nasihat yang lembut:
“Dakwah itu bukan tentang siapa yang terkenal, tapi siapa yang tulus.”
Lalu ia tersenyum, mengutip sabda Rasulullah ﷺ:
“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.” (*)
