AYOBANDUNG.ID -- Setiap Minggu pagi, di sebuah sudut RW di Kecamatan Cinambo, Kota Bandung, suara anak-anak yang membaca buku bersahutan dengan obrolan warga yang berkumpul di posyandu.
Di antara kotak-kotak kayu bertuliskan “Library Box”, buku-buku berganti tangan, dibaca, lalu dikembalikan dengan cerita baru. Di sinilah semangat literasi tumbuh bukan dari ruang kelas, melainkan dari pangkalan ojek, warung kopi, dan ruang keluarga.
Sejak resmi berdiri sebagai kecamatan pada tahun 2007, Cinambo menunjukkan perkembangan yang konsisten dalam membangun identitas wilayah. Kini, bukan hanya dikenal sebagai kawasan pemukiman dan pusat aktivitas warga, Cinambo mulai menorehkan predikat baru sebagai destinasi wisata literasi di perkotaan.
Predikat ini lahir bukan dari label formal, melainkan dari semangat kolektif warga dan pemerintah setempat yang menjadikan literasi sebagai bagian dari gaya hidup dan kebanggaan lokal.
Gerakan Minggu Membaca atau Gemma yang digagas Kecamatan Cinambo sejak 2018 telah menjadi katalis perubahan budaya baca di lingkungan urban. Diluncurkan di Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Sukamulya Cerdas, Gemma bukan sekadar ajakan membaca di hari Minggu, melainkan bagian dari ekosistem Kampung Literasi yang mengintegrasikan budaya, ekonomi, teknologi informasi, dan kebiasaan membaca.
“Jadi literasi zaman now tidak lagi hanya sekadar mengajak, mungkin bosan kalau anak kita disuruh membaca, tapi harus ada media lain,” ujar Camat Cinambo saat itu, Dadang Iradi,
Pernyataan Dadang ini mencerminkan pendekatan baru dalam membumikan literasi yang tidak menggurui, tapi menginspirasi. Konsep Kampung Literasi yang dikembangkan Kecamatan Cinambo menekankan pentingnya fasilitas yang inklusif dan mudah diakses. Dari anak-anak hingga lansia, semua diajak menjadi bagian dari gerakan membaca.
“Membaca bukan hanya tugas anak-anak usia sekolah atau pemuda saja tetapi juga seluruh elemen masyarakat,” tegas Dadang.
Salah satu inovasi yang lahir dari semangat ini adalah Library Box, sebuah kotak buku yang ditempatkan di titik-titik keramaian seperti pangkalan ojek, kantor RW, hingga posyandu. Buku-buku di dalamnya berasal dari donasi warga, menciptakan rasa memiliki dan partisipasi aktif masyarakat.
Tak berhenti di situ, program One Family One Book mendorong setiap keluarga menyumbangkan minimal satu buku. “Bukunya apa saja. Kita menyiapkan box-box yang ditempatkan di Puskesmas dan lain-lain,” jelas Dadang.
Program tersebut bukan sekadar pengumpulan buku, tapi simbol komitmen kolektif terhadap budaya baca. Tak hanya itu, untuk mengimbangi dominasi gawai dan televisi, lahirlah Gerakan Mematikan (Gematik) 18-20. Warga diajak mematikan perangkat elektronik dari pukul 18.00 hingga 20.00 WIB untuk fokus pada interaksi keluarga, belajar, dan membaca.
“Sekurang-kurangnya, salat maghrib bersama, kumpul bersama keluarga, dan membaca,” kata Dadang.
Gerakan-gerakan ini menunjukkan bahwa literasi bukan hanya soal membaca buku, tetapi membangun kebiasaan berpikir kritis, berdialog, dan memahami dunia.
Namun, tantangan tetap ada. Menurut Indeks Pembangunan Literasi Masyarakat (IPLM) 2023 dari Perpustakaan Nasional RI, skor nasional berada di angka 73,53, naik dari tahun sebelumnya, namun masih menyisakan kesenjangan antarwilayah.
Kesenjangan ini mencerminkan bahwa akses terhadap bahan bacaan, fasilitas perpustakaan, dan tenaga pustakawan belum merata. Di sisi lain, data dari Kemendikbudristek menunjukkan bahwa hanya sekitar 28% desa di Indonesia memiliki fasilitas perpustakaan atau taman bacaan yang aktif.
TBM Sukamulya Cerdas menjadi contoh bagaimana satu ruang baca bisa menjadi pusat transformasi sosial. “Kebetulan di Cinambo ada TBM yang dipercaya oleh Kemendikbud sebagai satu-satunya TBM di Kota Bandung di Cinambo. Pengelolanya, ibu Nonih sudah menjadi narasumber berkeliling ke berbagai daerah di Indonesia,” ujar Dadang.
Terinspirasi dari keberhasilan TBM ini, Dadang menggagas pendirian TBM di setiap RW. “Saya ingin TBM bermunculan di 25 RW,” ujarnya.
Hal ini sebagai langkah strategis untuk mendekatkan literasi ke jantung komunitas. Apalagi potensi literasi di era digital sebenarnya sangat besar. Teknologi bisa menjadi jembatan, bukan penghalang.
Buku digital, podcast edukatif, dan komunitas daring bisa memperluas cakupan literasi. Namun, semua itu harus dibarengi dengan pendekatan yang humanis dan kontekstual seperti yang dilakukan Cinambo.
Literasi bukan hanya tentang kemampuan membaca dan menulis, tetapi juga tentang memahami informasi, berpikir kritis, dan berpartisipasi aktif dalam kehidupan sosial. Dalam konteks ini, Gemma dan Kampung Literasi menjadi model yang bisa direplikasi di berbagai daerah.
Kunci keberhasilan gerakan literasi adalah kolaborasi. Pemerintah, masyarakat, sekolah, dan sektor swasta harus bersinergi. Program seperti Gemma menunjukkan bahwa ketika warga dilibatkan secara aktif, literasi bukan lagi beban, melainkan kebanggaan.
Gerakan literasi juga harus adaptif terhadap budaya lokal. Di Cinambo, pendekatan berbasis komunitas dan nilai kekeluargaan menjadi fondasi. Membaca bukan aktivitas soliter, tapi bagian dari kehidupan sosial yang hangat dan penuh makna.
Kisah Gerakan Minggu Membaca dari Cinambo adalah pengingat bahwa gerakan literasi tidak harus dimulai dari pusat kota atau institusi besar. Gerakan ini sedianya bisa tumbuh dari taman baca kecil, dari kotak buku di pangkalan ojek, dari keluarga yang mematikan televisi selama dua jam.
“Dan kebiasaan baca itu harusnya setiap hari, bukan hanya setiap hari Minggu. Itu yang sedang kita upayakan,” pungkas Dadang.
Alternatif produk kebutuhan membaca atau buku:
