Saat hukum dan kekuasaan dipegang oleh serigala-serigala buas berbulu domba. Saat seluruh negeri di kangkangi orang-orang jualan secara sederhana tapi sejatinya serakah. Apakah kalian akan tutup mata, tutup mulut, tidak peduli dengan apa yang terjadi?Atau kalian akan mengepalkan tangan ke udara, LAWAN!
Menurut saya buku-buku Tere Liye banyak diantaranya yang menyinggung isu-isu politik yang ada di Indonesia. Tere Liye adalah penulis yang sangat cerdas dalam mengemas isu-isu berat melalui tulisan fiksi. Saya pribadi pun mulai tertarik dengan isu-isu politik setelah membaca buku Tere Liye yang berjudul Teruslah Bodoh Jangan Pintar, Negeri Para Bedebah dan Negeri di Ujung Tanduk.
Indonesia memang sangat kaya dengan sumber daya alam yang melimpah, salah satunya hasil bumi dari pertambangan. Membicarakan pertambangan memang menjadi polemik sekaligus isu krusial yang sering terjadi di negeri ini.
Pertambangan yang dibuka oleh pemerintah sering dinarasikan demi kepentingan rakyat dan negara. Namun pada praktiknya justru kegiatan dan hasil pertambangan menguntungkan sejumlah elite dan keuntungan para pejabat. Bahkan masyarakat sekitar justru tidak jarang yang merugi atas keberadaan pertambangan. Masyarakat setempat berada dalam garis kemiskinan, beberapa penyakit baru muncul dan diderita oleh generasi penerus, bahkan lahan yang digunakan bekas penambangan bisa membuat ancaman bagi masyarakat terutama anak-anak kecil.
Teruslah Bodoh Jangan Pintar bukan berarti Tere Liye meminta kita sebagai pembaca untuk membiarkan kebodohan dan menolak kepintaran. Judul ini termasuk dalam sarkasme bahwa dalam situasi tertentu bersikap "bodoh" (menolak keserakahan, ambisi berlebihan, dan meraih keuntungan semata) justru lebih baik dan bijak dibandingkan dengan bersikap"pintar" yang digunakan untuk membodohi, menyengsarakan, membuat kerusakan serta meraup keuntungan sebesar-besarnya demi keuntungan pribadi.
Kita seolah diajak untuk kembali merenungi makna dibalik Teruslah Bodoh Jangan Pintar di tengah kondisi sosial dan politik yang sering dipenuhi dengan ketidakadilan.
Buku ini sedikitnya menceritakan proses persidangan pengadilan atas konsensus pertambangan. Pengadilan dalam novel ini menjadi representasi bagaimana sebuah tambang bisa dilanjutkan atau tidak bergantung pada keputusan hakim. Para aktivis lingkungan sangat mengecam karena aktivitas pertambangan sudah terbukti membuat kerusakan. Sementara pihak pertambangan ingin terus melegalkan hingga membayar pengacara besar untuk membela kasusnya.
Sebetulnya saya kagum dengan sosok pengacara yang ada dalam pihak para pemilik pertambangan. Bukan karena Hotma *** berusaha untuk memenangkan kasus tapi atas kepintaran dan argumennya yang sulit terbantahkan. Hanya saja sangat disayangkan pengacara sepotensial itu berdiri di pihak yang tidak tepat.
Membaca tiap halaman dalam novel ini membuat saya sering menjeda dan coba menghubungkannya melalui realitas yang terjadi di Indonesia. Begitu banyak kengerian yang diterima oleh masyarakat yang tinggal di sekitar pertambangan.
Tidak hanya mata pencaharian hilang karena pencemaran air. Mereka juga hidup dalam bayang-bayang ketakutan akan ancaman ketika memberontak. Setiap saat bekas-bekas lahan pertambangan bisa saja merenggut nyawa seorang anak. Setiap ibu yang hamil menghawatirkan bayi-bayinya terlahir cacat karena efek residu hasil pertambangan. Menjadi refleksi bagi kita semua yang hidup sedikit lebih baik dan nyaman di Pulau Jawa untuk membantu masyarakat Timur dalam menyuarakan hak-hak hidup mereka yang dirampas secara membabi-buta.
Para pejabat kita sangat penting membaca karya fiksi untuk menyentuh rasa empati mereka sebelum merealisasikan kebijakannya di lapangan. Bagi saya buku ini menjadi bahan perenungan bersama untuk kita manusia bisa hidup lebih baik dengan bijak terhadap penggunaan hasil bumi.
Lantas apakah buku ini menjadi peramal bagi masa depan bagaimana gambaran pertambangan di Indonesia? bisa saja iya jika bumi ini terus-menerus di eksploitasi tapi bisa saja tidak jika pemerintah dan pengusaha yang terafiliasi dalam industri pertambangan bisa berbenah.
Membacalah untuk peradaban dan berbagilah terus melalui apapun yang kalian bisa demi kebaikan. (*)
