Ketika Kebudayaan Diminta Selalu Kondusif

Abah Omtris
Ditulis oleh Abah Omtris diterbitkan Rabu 17 Des 2025, 11:51 WIB
Gedung Pusat Kebudayaan Jalan Naripan Bandung. (Foto: Abah Omtris)

Gedung Pusat Kebudayaan Jalan Naripan Bandung. (Foto: Abah Omtris)

Bandung kerap menyebut dirinya kota kreatif, kota budaya, kota gagasan. Kota dengan festival yang meriah, mural yang fotogenik, dan slogan yang tampak selalu siap dirayakan.

Namun di balik keramaian itu, muncul gejala yang patut direnungkan bersama: kebudayaan perlahan diminta untuk bersikap lebih jinak --tidak terlalu kritis, tidak terlalu gaduh, dan sebisa mungkin tidak merepotkan kekuasaan. Sawala Budaya 2024 - 2025 membuka paradoks tersebut dengan cukup terang. Ketika ruang dialog yang seharusnya menjadi jantung kebudayaan justru diuji oleh dorongan menjaga ketertiban, bukan keberanian untuk jujur. Kota bisa tampak hidup di permukaan, tetapi diam-diam kehilangan suaranya sendiri.

Sawala Budaya 2024 - 2025, dengan segala dinamika dan polemiknya, sejatinya menghadirkan ruang refleksi penting bagi Kota Bandung. Ia bukan sekadar forum teknis pemajuan kebudayaan, melainkan cermin yang memantulkan wajah kebudayaan kita apa adanya - lengkap dengan ketegangan, kecemasan, dan kontradiksi yang selama ini tersimpan di balik narasi kemajuan.

Di satu sisi, Sawala menunjukkan bahwa energi deliberatif warga masih bekerja. Seniman, akademisi, dan pegiat komunitas meluangkan waktu, pikiran, dan daya kritis untuk memikirkan arah kebudayaan kota. Namun di sisi lain, dinamika pasca-Sawala juga memperlihatkan betapa rapuhnya ekosistem kebudayaan ketika berhadapan dengan tekanan tafsir kepentingan dan keinginan agar semuanya tetap “kondusif”.

Dalam sejarahnya, kebudayaan justru kerap hadir sebagai gangguan yang sehat. Ia mengusik kebiasaan, mempertanyakan kelaziman, dan menggugat nilai-nilai yang mulai membatu. Kebudayaan yang sepenuhnya rapi, senyap, dan patuh bukanlah tanda kesehatan, melainkan gejala domestikasi. Kota yang matang secara budaya seharusnya mampu menampung ketegangan. Ia tidak alergi pada kritik dan tidak tergesa-gesa menafsir kegelisahan sebagai ancaman. Sebab di sanalah kebudayaan bekerja: sebagai ruang negosiasi nilai, bukan sekadar etalase prestasi.

Sayangnya, dalam praktik kebijakan, kebudayaan kerap diposisikan sebagai pelengkap narasi pembangunan. Ia diharapkan mendukung citra, menguatkan stabilitas, dan menjaga suasana tetap tertib. Bahasa ini terdengar wajar, tetapi menyimpan risiko laten: kebudayaan direduksi menjadi dekorasi kebijakan, bukan sumber koreksi. Padahal, kebudayaan yang kehilangan keberanian moral untuk mengingatkan kekuasaan akan kehilangan fungsi etisnya yang paling mendasar.

Di tengah itu semua, kita juga perlu melihat wajah kota yang lebih besar. Wakil Wali Kota Bandung telah ditetapkan sebagai tersangka penyalahgunaan jabatan. Persoalan sampah tak kunjung selesai—lebih cepat hadir pernyataan pers dibanding armada pengangkut. Banjir datang setiap hujan, seolah menegaskan bahwa kota ini lebih patuh pada gravitasi daripada pada perencanaan. Sementara pelanggaran HAM muncul seperti iklan pop-up: tak diinginkan, tetapi terus berulang. Ini tentu bukan kabar baik bagi kota yang gemar menyebut dirinya kreatif. Sebab kreativitas, pada hakikatnya, adalah kemampuan menciptakan nilai—bukan sekadar konten visual atau slogan kebijakan.

Dalam konteks krisis moral semacam ini, kebudayaan seharusnya tampil bukan sebagai "penghibur", melainkan sebagai "pengingat". Bukan sebagai perpanjangan tangan birokrasi, melainkan sebagai suara etis yang berani mengatakan bahwa ada yang perlu dibenahi. Di sinilah posisi Dewan Kebudayaan menjadi penting. Ia tidak semestinya dipahami semata sebagai penyelenggara acara atau mitra administratif pemerintah. Lebih dari itu, ia adalah salah satu ruang kewarasan publik - penjaga agar kebijakan kota tidak sepenuhnya kehilangan orientasi nilai.

Tidak bisa dimungkiri bahwa kebudayaan bersinggungan dengan ekonomi. Pariwisata, ekonomi kreatif, dan kebudayaan memang bertemu dalam ruang kebijakan yang sama. Namun persoalannya bukan pada pertemuan itu, melainkan pada siapa yang memimpin arah. Ketika logika ekonomi berjalan terlalu jauh di depan, kebudayaan berisiko tertinggal sebagai pembenar. Ia dinilai dari dampak finansialnya, bukan dari daya transformasinya terhadap etika warga.

Paradigma semacam ini tercermin dalam gejala gentrifikasi yang kian meluas di Bandung. Ruang hidup berubah menjadi komoditas, warga lama tersisih oleh estetika baru yang lebih “menjual”, dan ingatan sosial perlahan terhapus oleh logika investasi. Ini bukan semata persoalan tata kota, melainkan persoalan kebudayaan: tentang nilai apa yang dipertahankan dan siapa yang diutamakan. Pada titik inilah Dewan Kebudayaan seharusnya hadir memberi masukan kritis - meski tidak selalu nyaman - agar pembangunan tidak berjalan dengan mengorbankan martabat sosial.

Perlu pula diingat secara jernih bahwa seluruh proses kebijakan, forum, dan kelembagaan kebudayaan ini dibiayai oleh pajak masyarakat. Artinya, kebudayaan publik bukan milik segelintir elite, melainkan tanggung jawab bersama kepada warga kota. Justru karena itulah kebudayaan tidak boleh direduksi menjadi ruang yang sekadar aman dan rapi. Ia harus akuntabel, terbuka terhadap kritik, dan berani menyuarakan kepentingan publik yang lebih luas.

Baca Juga: Menjaga Martabat Kebudayaan di Tengah Krisis Moral

Sawala 2025, dengan segala keterbatasannya, sejatinya merupakan ruang uji keberanian moral. Apakah kebudayaan Bandung berani berdiri sebagai ruang refleksi yang mandiri, ataukah ia akan terus mencari posisi aman di antara kepentingan ? Barangkali Sawala memang seperti pengetuk pintu Balai Kota dengan bahasa yang beradab: ada hal-hal mendasar yang perlu dibenahi, dan kebudayaan tidak boleh diam.

Pada akhirnya, yang dibutuhkan Bandung hari ini bukanlah kebudayaan yang selalu menenangkan, melainkan kebudayaan yang mampu menjaga martabat kota. Martabat itu lahir dari keberanian menempatkan nilai di atas kenyamanan, etika di atas strategi, dan kepentingan warga di atas citra. Kondusivitas memang penting, tetapi tanpa keberanian moral, ia hanya menjadi selimut tipis yang menutupi persoalan struktural. Kebudayaan, jika sungguh dimuliakan, seharusnya berani menyingkap selimut itu - dengan bahasa yang santun, tetapi sikap yang tegas.

Bandung pernah dikenal sebagai kota gagasan. Tantangannya kini bukan sekadar mempertahankan label, melainkan memastikan bahwa gagasan itu masih memiliki nyali. Dan mungkin, di situlah tugas kebudayaan hari ini: bukan menjaga agar kota selalu tampak baik-baik saja, melainkan memastikan ia tetap jujur pada dirinya sendiri. (*)

Disclaimer

Tulisan ini merupakan artikel opini yang sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Pandangan yang disampaikan dalam artikel ini tidak mewakili pandangan atau kebijakan organisasi dan redaksi AyoBandung.id.

Abah Omtris
Tentang Abah Omtris
Musisi balada juga aktif di berbagai komunitas lainnya
Nilai artikel ini
Klik bintang untuk menilai

Berita Terkait

News Update

Ayo Netizen 17 Des 2025, 20:04 WIB

Jembatan Penyebrangan Usang Satu-satunya Harus Melayani Jalan Terpanjang di Kota Bandung

Jembatan penyeberangan tunggal di Jalan Soekarno-Hatta yang seharusnya menjadi penyelamat, kini rapuh dan berkarat.
Jembatan penyebrangan Soekarno-Hatta Bandung. Soekarno-Hatta Kelurahan Sekejati, Kecamatan Buahbatu Kota Bandung (26/11/2025). (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: Azzahra Nadhira)
Ayo Netizen 17 Des 2025, 18:55 WIB

Petugas Kesal Banyak Pembuang Sampah Sembarangan di Kawasan Pasar Kiaracondong

Maraknya sampah ilegal di Pasar Kiaracondong, meskipun pengelolaan sampah sudah rutin berjalan.
Tumpukan sampah yang berada di TPS. Pasar Kiaracondong, Bandung, Sabtu 29/11/2025. (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: Nasywa Hanifah Alya' Al-Muchlisin)
Ayo Netizen 17 Des 2025, 17:41 WIB

Dari Keikhlasan Bu Mun, Nasi Pecel 10 Ribu Hasilkan Omzet 5 Juta Sehari

Munjayanah (49) membuka warung usaha nasi pecel setelah 4 cabang warung pecel lelenya tutup, hanya tersisa satu cabang. Kini penghasilannya hingga 5jt per hari.
Bu Mun tengah menyiapkan menu nasi pecel dengan penuh cinta. (Sumber: Dokumen Pribadi | Foto: Annisa Fitri Ramadhani)
Ayo Netizen 17 Des 2025, 17:08 WIB

Revitalisasi Teras Cihampelas: Selalu Dinanti Entah Kapan Ditepati, Mending Perbaiki yang Lain Saja!

Pemenuhan janji revitalisasi Teras Cihampelas oleh Wali Kota Bandung yang kurang dirasakan warga. Lebih baik, perbaiki yang fasilitas lainnya saja.
Pengunjung Teras Cihampelas di hari kerja pukul 09.30 pada hari Senin (1/12/2025) (Foto: Ammara Ziska)
Ayo Netizen 17 Des 2025, 16:06 WIB

Mendaki Jadi Tren Anak Muda Bandung

Pendaki Muda Bandung
Para anak muda yang gemar mendaki gunung di Bandung. (Sumber: Dok. pribadi | Foto: Mila Aulia)
Ayo Netizen 17 Des 2025, 13:58 WIB

Keluhan Mahasiswa di Jalan Soekarno Hatta Soal Pengendara Motor yang Merokok di Jalan

Artikel ini menjelaskan tentang keluhan seorang mahasiswa di Jalan Soekarno Hatta soal pengendara motor yang merokok di jalan.
Seorang pengendara terlihat merokok saat berhenti di tengah kepadatan lalu lintas di kawasan Jalan Soekarno Hatta, Bandung, Selasa (02/12/2025), (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: Farid Ahmad Faruqi)
Ayo Netizen 17 Des 2025, 13:13 WIB

Yth. Wali Kota Bandung: Akses Pejalan Kaki dari Kacamata Perantau

Minimnya trotoar dan rendahnya rasa aman menjadi catatan penting bagi penataan kota yang inklusif.
Akses pejalan kaki di Bandung (Sumber: Dokumentasi penulis)
Ayo Netizen 17 Des 2025, 12:34 WIB

Ruang Nongkrong 24 Jam yang Menjadi Ikon Baru Bandung Timur

Relatif Kopi sebuah tempat yang pelan-pelan tapi pasti menjadi ikon nongkrong di daerah Bandung Timur.
Di balik cahaya biru yang sederhana, Relatif selalu punya cara buat bikin malam terasa lebih nyaman. (Sumber: Dokumentasi Penulis)
Ayo Netizen 17 Des 2025, 11:51 WIB

Ketika Kebudayaan Diminta Selalu Kondusif

Kebudayaan yang sepenuhnya rapi, senyap, dan patuh bukanlah tanda kesehatan, melainkan gejala domestikasi.
Gedung Pusat Kebudayaan Jalan Naripan Bandung. (Foto: Abah Omtris)
Ayo Netizen 17 Des 2025, 09:56 WIB

Rekomendasi Kuliner di Taman Saparua Bandung

Kawasan yang dikenal sebagai ruang publik hijau ini bukan hanya tempat olahraga dan rekreasi, tetapi juga titik pertemuan ragam kuliner khas yang sayang dilewatkan.
SOR Saparua Bandung. (Sumber: Ayobandung.com)
Ayo Netizen 17 Des 2025, 08:58 WIB

Melepas Penat di Bandung Timur, Spot Terbaik untuk Bersepeda Santai

Salah satu tempat yang kini jadi favorit pesepeda di Bandung Timur adalah Summarecon Bandung.
Warga yang sedang bersepeda santai di kawasan Bandung Timur sebagai cara sederhana melepas penat dan menjaga kebugaran. (Foto: Zahwa Rizkiana)
Ayo Netizen 16 Des 2025, 20:46 WIB

Bandung Dikepung Awan Gelap: Mengapa Banjir Kilat dan Angin Ekstrem Kini Sering Terjadi?

Mengkaji peningkatan banjir kilat dan angin ekstrem di Bandung akibat dinamika cuaca, perubahan iklim, dan perubahan tata guna lahan.
Warga memanfaatkan delman untuk melintasi jalan permukiman yang terendam banjir, saat akses kendaraan bermotor terganggu akibat genangan air. (Sumber: Dokumentasi Warga | Foto: Dokumentasi Warga)
Ayo Netizen 16 Des 2025, 20:23 WIB

Siklus Tahunan yang Tak Kunjung Diakhiri di Kota Bandung

Kerusakan infrastruktur dan salah kelola lingkungan picu banjir tahunan di Bandung.
Banjir yang terjadi akibat tersumbatnya saluran air di Gang Nangkasuni, (07/03/2025). (Sumber: Irene Sinta)
Ayo Netizen 16 Des 2025, 18:55 WIB

Mencicipi Cita Rasa Bakmi Ayam Madu di Sudut Kota Bandung

Bakmi OBC toping ayam madu dan panggang, Jln. Rancabentang I No. 12 Ciumbuleuit, Bandung, Jumat (28/11/2025).
Bakmi OBC toping ayam madu dan panggang, Jl. Rancabentang I No. 12 Ciumbuleuit, Bandung, Jumat (28/11/2025). (Sumber: Dok. pribadi | Foto: Arini Nabila)
Ayo Netizen 16 Des 2025, 18:30 WIB

Jejak Rempah di Sepiring Ayam Geprek Favorit Anak Kos

Ayam geprek rempah dengan bumbu yang meresap hingga ke dalam daging, disajikan dengan kailan krispi dan sambal pedas yang nagih.
Ayam Geprek Rempah dilengkapi dengan kailan crispy dan sambal pedas yang nagih. (Sumber: Dokumentasi penulis | Foto: Firqotu Naajiyah)
Ayo Netizen 16 Des 2025, 18:07 WIB

Wali Kota Farhan, Mengapa Respons Call Center Aduan Warga Bandung Lambat Sekali?

Warga Bandung mengeluh, Call Center Pemkot lambat merespons.
Gambaran warga yang menunjukkan rasa frustasi mereka saat menunggu jawaban dari Call Center Pemkot Bandung yang tak kunjung direspons. (Sumber: Dokumentasi Penulis)
Ayo Netizen 16 Des 2025, 17:46 WIB

Nasib Naas Warga Sekitar Podomoro Park, Banjir Kiriman Jadi Rutinitas Musim Hujan

Pembangunan Podomoro Park yang selalu memberikan dampak negatif dan tidak memprihatinkan kenyamanan lingkungan penduduk sekitar.
Genangan air, imbas dari tidak adanya irigasi yang lancar (14/12/2025). (Sumber: Dokumentasi Pribadi | Foto: Shafwan Harits A.)
Ayo Netizen 16 Des 2025, 17:30 WIB

Seharusnya Ada Peran Wali Kota Bandung: Warga Harus Nyaman, Konvoi Bobotoh Tetap Berjalan

Kemenangan persib bandung selalu memicu euforia besar di kalamgan masyarakat Jawa Barat terjadi setiap persib meraih juara.
Ribuan bobotoh memenuhi ruas jalan Bandung saat merayakan kemenangan Persib Bandung pada Minggu sore, 25 Mei 2025. (foto: Della Titya)
Ayo Netizen 16 Des 2025, 16:32 WIB

Pungutan Liar Menjadi Cerminan Buruknya Tata Kelola Ruang Publik Bandung

Pungutan liar yang masih terjadi di berbagai ruang publik Bandung tidak hanya menimbulkan keresahan.
Parkir liar yang tidak dibatasi menimbulkan kemacetan di Jln. Braga, Kec. Sumur Bandung, Kota Bandung, Minggu (5/12/2025) (Foto: Zivaluna Wicaksono)
Ayo Netizen 16 Des 2025, 16:12 WIB

Nasi Kulit di Cibiru, Harga dan Rasa yang bikin Semringah

Kuliner baru di daerah Cipadung yang cocok untuk mahasiswa, menyajikan makan berat yang enak namun dengan harga yang murah dan ramah di dompet
foto nasi kulit Jatinangor (Sumber: Camera HP | Foto: Alfi Syah)