Bandung kerap menyebut dirinya kota kreatif, kota budaya, kota gagasan. Kota dengan festival yang meriah, mural yang fotogenik, dan slogan yang tampak selalu siap dirayakan.
Namun di balik keramaian itu, muncul gejala yang patut direnungkan bersama: kebudayaan perlahan diminta untuk bersikap lebih jinak --tidak terlalu kritis, tidak terlalu gaduh, dan sebisa mungkin tidak merepotkan kekuasaan. Sawala Budaya 2024 - 2025 membuka paradoks tersebut dengan cukup terang. Ketika ruang dialog yang seharusnya menjadi jantung kebudayaan justru diuji oleh dorongan menjaga ketertiban, bukan keberanian untuk jujur. Kota bisa tampak hidup di permukaan, tetapi diam-diam kehilangan suaranya sendiri.
Sawala Budaya 2024 - 2025, dengan segala dinamika dan polemiknya, sejatinya menghadirkan ruang refleksi penting bagi Kota Bandung. Ia bukan sekadar forum teknis pemajuan kebudayaan, melainkan cermin yang memantulkan wajah kebudayaan kita apa adanya - lengkap dengan ketegangan, kecemasan, dan kontradiksi yang selama ini tersimpan di balik narasi kemajuan.
Di satu sisi, Sawala menunjukkan bahwa energi deliberatif warga masih bekerja. Seniman, akademisi, dan pegiat komunitas meluangkan waktu, pikiran, dan daya kritis untuk memikirkan arah kebudayaan kota. Namun di sisi lain, dinamika pasca-Sawala juga memperlihatkan betapa rapuhnya ekosistem kebudayaan ketika berhadapan dengan tekanan tafsir kepentingan dan keinginan agar semuanya tetap “kondusif”.
Dalam sejarahnya, kebudayaan justru kerap hadir sebagai gangguan yang sehat. Ia mengusik kebiasaan, mempertanyakan kelaziman, dan menggugat nilai-nilai yang mulai membatu. Kebudayaan yang sepenuhnya rapi, senyap, dan patuh bukanlah tanda kesehatan, melainkan gejala domestikasi. Kota yang matang secara budaya seharusnya mampu menampung ketegangan. Ia tidak alergi pada kritik dan tidak tergesa-gesa menafsir kegelisahan sebagai ancaman. Sebab di sanalah kebudayaan bekerja: sebagai ruang negosiasi nilai, bukan sekadar etalase prestasi.
Sayangnya, dalam praktik kebijakan, kebudayaan kerap diposisikan sebagai pelengkap narasi pembangunan. Ia diharapkan mendukung citra, menguatkan stabilitas, dan menjaga suasana tetap tertib. Bahasa ini terdengar wajar, tetapi menyimpan risiko laten: kebudayaan direduksi menjadi dekorasi kebijakan, bukan sumber koreksi. Padahal, kebudayaan yang kehilangan keberanian moral untuk mengingatkan kekuasaan akan kehilangan fungsi etisnya yang paling mendasar.
Di tengah itu semua, kita juga perlu melihat wajah kota yang lebih besar. Wakil Wali Kota Bandung telah ditetapkan sebagai tersangka penyalahgunaan jabatan. Persoalan sampah tak kunjung selesai—lebih cepat hadir pernyataan pers dibanding armada pengangkut. Banjir datang setiap hujan, seolah menegaskan bahwa kota ini lebih patuh pada gravitasi daripada pada perencanaan. Sementara pelanggaran HAM muncul seperti iklan pop-up: tak diinginkan, tetapi terus berulang. Ini tentu bukan kabar baik bagi kota yang gemar menyebut dirinya kreatif. Sebab kreativitas, pada hakikatnya, adalah kemampuan menciptakan nilai—bukan sekadar konten visual atau slogan kebijakan.
Dalam konteks krisis moral semacam ini, kebudayaan seharusnya tampil bukan sebagai "penghibur", melainkan sebagai "pengingat". Bukan sebagai perpanjangan tangan birokrasi, melainkan sebagai suara etis yang berani mengatakan bahwa ada yang perlu dibenahi. Di sinilah posisi Dewan Kebudayaan menjadi penting. Ia tidak semestinya dipahami semata sebagai penyelenggara acara atau mitra administratif pemerintah. Lebih dari itu, ia adalah salah satu ruang kewarasan publik - penjaga agar kebijakan kota tidak sepenuhnya kehilangan orientasi nilai.
Tidak bisa dimungkiri bahwa kebudayaan bersinggungan dengan ekonomi. Pariwisata, ekonomi kreatif, dan kebudayaan memang bertemu dalam ruang kebijakan yang sama. Namun persoalannya bukan pada pertemuan itu, melainkan pada siapa yang memimpin arah. Ketika logika ekonomi berjalan terlalu jauh di depan, kebudayaan berisiko tertinggal sebagai pembenar. Ia dinilai dari dampak finansialnya, bukan dari daya transformasinya terhadap etika warga.
Paradigma semacam ini tercermin dalam gejala gentrifikasi yang kian meluas di Bandung. Ruang hidup berubah menjadi komoditas, warga lama tersisih oleh estetika baru yang lebih “menjual”, dan ingatan sosial perlahan terhapus oleh logika investasi. Ini bukan semata persoalan tata kota, melainkan persoalan kebudayaan: tentang nilai apa yang dipertahankan dan siapa yang diutamakan. Pada titik inilah Dewan Kebudayaan seharusnya hadir memberi masukan kritis - meski tidak selalu nyaman - agar pembangunan tidak berjalan dengan mengorbankan martabat sosial.
Perlu pula diingat secara jernih bahwa seluruh proses kebijakan, forum, dan kelembagaan kebudayaan ini dibiayai oleh pajak masyarakat. Artinya, kebudayaan publik bukan milik segelintir elite, melainkan tanggung jawab bersama kepada warga kota. Justru karena itulah kebudayaan tidak boleh direduksi menjadi ruang yang sekadar aman dan rapi. Ia harus akuntabel, terbuka terhadap kritik, dan berani menyuarakan kepentingan publik yang lebih luas.
Baca Juga: Menjaga Martabat Kebudayaan di Tengah Krisis Moral
Sawala 2025, dengan segala keterbatasannya, sejatinya merupakan ruang uji keberanian moral. Apakah kebudayaan Bandung berani berdiri sebagai ruang refleksi yang mandiri, ataukah ia akan terus mencari posisi aman di antara kepentingan ? Barangkali Sawala memang seperti pengetuk pintu Balai Kota dengan bahasa yang beradab: ada hal-hal mendasar yang perlu dibenahi, dan kebudayaan tidak boleh diam.
Pada akhirnya, yang dibutuhkan Bandung hari ini bukanlah kebudayaan yang selalu menenangkan, melainkan kebudayaan yang mampu menjaga martabat kota. Martabat itu lahir dari keberanian menempatkan nilai di atas kenyamanan, etika di atas strategi, dan kepentingan warga di atas citra. Kondusivitas memang penting, tetapi tanpa keberanian moral, ia hanya menjadi selimut tipis yang menutupi persoalan struktural. Kebudayaan, jika sungguh dimuliakan, seharusnya berani menyingkap selimut itu - dengan bahasa yang santun, tetapi sikap yang tegas.
Bandung pernah dikenal sebagai kota gagasan. Tantangannya kini bukan sekadar mempertahankan label, melainkan memastikan bahwa gagasan itu masih memiliki nyali. Dan mungkin, di situlah tugas kebudayaan hari ini: bukan menjaga agar kota selalu tampak baik-baik saja, melainkan memastikan ia tetap jujur pada dirinya sendiri. (*)
