Dekolonisasi Ateisme: Enggak Percaya Tuhan Belum Tentu Gak Beragama?

Arfi Pandu Dinata
Ditulis oleh Arfi Pandu Dinata diterbitkan Rabu 29 Okt 2025, 10:11 WIB
Di Indonesia pun ada bentuk religiusitas tanpa agama. (Sumber: Pexels/ROCKETMANN TEAM)

Di Indonesia pun ada bentuk religiusitas tanpa agama. (Sumber: Pexels/ROCKETMANN TEAM)

Kita sering banget dengar, “Ateis itu gak percaya Tuhan.” Udah, titik. Kayak ateisme cuma urusan menolak Tuhan, selesai.

Tapi coba deh, kali-kali kita gali lebih dalam. Memang Tuhan yang kayak apa yang ditolak? Karena, percaya atau enggak, konsep Tuhan yang sering jadi acuan dalam obrolan banyak orang itu sangat khas Barat. Tuhan yang personal, pencipta semesta, dan duduk di kursi tertinggi jagat raya. Nah, ateisme modern itu muncul justru buat menolak Tuhan versi ini.

Inilah yang berkibar secara global pas awal tahun 2000-an. Gerakan yang disebut New Atheism, dibawa oleh Richard Dawkins, Sam Harris, Daniel Dennett, sama Christopher Hitchens. Empat jenderal ateisme kontemporer. Suara mereka keras banget. Agama dianggap biang keladi perang, kebodohan, dan kemunduran peradaban manusia.

Tentu branding-nya keren, intelektual, ilmiah. Tapi makin dibaca, makin terasa kalau pandangan mereka ini lahir dari cara berpikir yang sangat Barat dan kolonial. Mereka menyerang agama seperti yang mereka kenal, utamanya Kekristenan dan jujur saja islamofobia. Padahal andai saja mereka tahu bahwa dunia ini enggak sesempit itu.

Halo! Dunia Itu Luas

Para kritikus kayak Talal Asad, Saba Mahmood, atau Stephen LeDrew menunjukkan hal menarik. Ateisme baru tuh sebenarnya masih “teistik” dalam cara berpikirnya, nalarnya cuma dibalik doang. Kalau agama bilang Tuhan ada, mereka bilang Tuhan enggak ada. Berputar di sekitar ide Tuhan personal yang jadi pusat segalanya.

Masalahnya nih, di luar Eropa dan Amerika Utara, banyak tradisi dan religi yang enggak punya konsep Tuhan kayak begitu. Jadi ketika ateis model ini bilang soal agama yang katanya enggak gunua, yang mereka maksud sebenernya cuma agama versi mereka sendiri. Mereka enggak lagi menyoal seluruh cara manusia menghayati realitas yang suci.

Kalau kita lepas dari kacamata Barat, ternyata dunia jauh lebih rumit. Banyak masyarakat tidak punya konsep Tuhan personal, tapi tetap hidup dalam nilai-nilai religius yang dalam.

Lihat aja Buddhadarma (Agama Buddha). Tidak ada Tuhan pencipta, tapi jelas bukan nihilistik. Fokusnya bukan menyembah yang vertikal, tapi membebaskan diri dari penderitaan lewat kesadaran. Dao Jiao (Agama Tao) juga mirip. Tidak butuh iman kepada sosok gaib, tapi pada prinsip hidup yang selaras dengan alam, dengan sadar dengan realitas yang ada, Dao.

Dari sini aja kita bisa sedikit melek. Kalau tidak percaya Tuhan bukan berarti tidak punya agama. Bisa jadi, justru karena mereka tidak menuhankan satu sosok, mereka lebih dekat dengan religiusitas itu sendiri.

Agama Tanpa Label di Jepang

Sekarang coba tengok Jepang. Survei bilang mayoritas orang Jepang tidak beragama (mushukyo). Tapi anehnya, mereka tetap rajin datang ke kuil Shinto, berdoa di altar rumah, dan menggelar upacara Buddha saat ada yang meninggal. Jadi, bagaimana nih ceritanya orang “tidak beragama” tapi ritualnya segitu hidup?

Jawabannya, buat orang Jepang, agama itu label asing. Kata shukyo (religion) baru dikenal abad ke-19, waktu Jepang mulai berhubungan dengan Barat. Mereka bingung, karena religiusitas lokal mereka berbeda dengan kategori agama ala Eropa. Maka, waktu bilang “aku enggak beragama”, yang mereka tolak itu bukan religiusitasnya, tapi kategorisasi kolonialnya.

Nyatanya mereka masih menghormati Kami, roh leluhur, masih merawat kesucian alam, cuma enggak butuh label “agama”. Itu semacam “ateisme” yang religius. Bingung kan?

Maori yang Menolak Agama

Hal serupa terjadi di kalangan Maori di Aotearoa (Selandia Baru). Banyak generasi muda Maori menyebut diri “tidak beragama”. Tapi itu bukan karena mereka rasionalis dingin kayak Dawkins, melainkan karena agama di mata mereka identik dengan kolonialisme. Dulu, misionaris Kristen datang bareng proyek penjajahan Inggris, menghancurkan sistem religiusitas lokal Maori.

Sekarang mereka mau membalik narasi itu. Orang muda menolak agama formal, tapi tetap menjaga hubungan sakral dengan tanah (whenua), bahasa (te reo), dan leluhur (tipuna). Jadi di sini kalau mereka bilang “aku enggak beragama”, maksudnya “aku menolak agama yang menjajah, bukan menolak religiusitas.” Ateisme mereka adalah bentuk perlawanan religius tapi anti-kolonial. Seru kan fun fact-nya?

India dan Tiongkok Klasik

India punya sejarah panjang ateisme yang jauh lebih tua dari Barat. Sejak abad ke-6 SEU, aliran Carvaka sudah bilang, “Tuhan itu ilusi, yang nyata cuma dunia ini.” Tapi mereka enggak berhenti di situ. Mereka mengajarkan kebahagiaan dan kebebasan berpikir.

Bahkan Buddha dan Jainis pun termasuk dalam satu gerakan dengan mereka, Sramana yang menolak otoritas Weda dan para Brahmana. Kelompok petapa mandiri ini enggak percaya pada Tuhan pencipta, tapi tetap punya sistem moral dan religiusitas yang mantap. Jadi ateisme di India bukan reaksi terhadap agama, tapi bagian dari keberagamaan itu sendiri. Pusing-pusing loh.

Daratan Tiongkok juga punya ceritanya. Dalam tradisi Ru Jiao (Agama Konghucu), enggak ada tuh konsep Tuhan personal. Langit (Tian) adalah prinsip moral, sumber asasi segalanya. Bahkan agama ini tidak banyak menyinggung tentang obrolan spekulatif akal baka dan dunia metafisik. Tapi uniknya hidup mereka tetap diwarnai ziarah, penghormatan pada leluhur, dan kesadaran akan harmoni. Bahkan ketika negara modern Tiongkok jadi “ateis”, kehidupan religiusitas masyarakatnya tetap jalan terus. Cuma enggak dilabeli agama.

Candi Siliwangi di Taman Sari, Bogor. (Sumber: Wikimedia Commons/Gunawan Kartapranata)
Candi Siliwangi di Taman Sari, Bogor. (Sumber: Wikimedia Commons/Gunawan Kartapranata)

Melihat Jawa

Di Indonesia pun ada bentuk religiusitas tanpa agama. Contohnya, Sedulur Sikep atau pengikut ajaran Samin Surosentiko di Jawa. Mereka menolak agama formal karena dianggap alat kekuasaan, tapi bukan berarti enggak religius ya. Bagi mereka, hidup jujur, sederhana, dan selaras dengan alam itu sudah cukup jadi jalan yang sakral.

Negara sempat bingung karena mereka enggak mau memilih satu dari enam agama besar. Tapi mereka tetap teguh.

Menariknya, fenomena serupa juga terlihat pada gerakan modern SUBUD (Susila, Budhi, Dharma) dan Pangestu (Paguyuban Ngesti Tunggal). Keduanya menolak dilabeli sebagai agama, kebatinan, atau bahkan kepercayaan sekalipun. Mereka menekankan latihan batin dan pengalaman langsung dengan Yang Ilahi. Mereka terbuka dengan segala orang yang datang dari lintas agama dan iman. Keduanya memperlihatkan bahwa religiusitas bisa tumbuh di luar kategori agama maupun kepercayaan lokal. Mereka berdiri di ruang antara yang justru subur bagi religiusitas yang hidup, lentur, dan tidak terikat definisi negara modern.

Dunia Enggak Hitam Putih

Kalau kita lihat dari semua contoh tadi, kelihatan banget kan, ateisme itu enggak sesederhana “percaya atau enggak percaya Tuhan.” Di banyak tempat, sikap “tidak beragama” justru muncul sebagai cara menjaga religiusitas dari monopoli makna oleh sistem yang kaku dan sempit. Itu bukan penolakan terhadap apa yang disebut sistem religi, tapi bentuk keberanian untuk keluar dari nalar Barat yang sok iye.

Dan di situ letak pentingnya. Kemandirian untuk tetap mencari makna hidup tanpa harus tunduk pada label atau otoritas tertentu. Itulah keragaman yang sering luput kita rayakan. Bahwa betapa banyaknya cara manusia berhubungan dengan yang sakral.

Makanya, gaskeun enggak sih kita belajar agama-agama lagi, tapi kali ini dengan kepala yang lebih terbuka. Supaya kita enggak terjebak dalam dikotomi klise antara “beragama” dan “ateis”, seolah pengalaman religius cuma bisa valid kalau sesuai standar orang kulit putih saja. Karena kalau kita jujur, simpang-siur dan kontroversi soal ateisme itu sendiri banyak berakar dari narasi Barat modern, dengan sejarah kolonial dan epistemologi yang khas.

Nah, pertanyaannya sekarang, apa kita mau ikut-ikutan cara pikir yang bahkan enggak nyambung sama pengalaman budaya kita sendiri? Kayanya enggak perlu, deh. Iya kan? Soalnya kita punya dunia sendiri, dengan cara-cara unik buat memahami yang ilahi, yang manusiawi, dan yang di antaranya. Merdeka! (*)

Disclaimer

Tulisan ini merupakan artikel opini yang sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Pandangan yang disampaikan dalam artikel ini tidak mewakili pandangan atau kebijakan organisasi dan redaksi AyoBandung.id.

Arfi Pandu Dinata
Menulis tentang agama, budaya, dan kehidupan orang Sunda
Nilai artikel ini
Klik bintang untuk menilai

Berita Terkait

Enam Akar Asal-usul Agama

Ayo Netizen 22 Okt 2025, 20:10 WIB
Enam Akar Asal-usul Agama

News Update

Beranda 15 Des 2025, 21:18 WIB

Tanda Kerusakan Alam di Kabupaten Bandung Semakin Kritis, Bencana Alam Meluas

Seperti halnya banjir bandang di Sumatera, kondisi alam di wilayah Kabupaten Bandung menunjukkan tanda-tanda kerusakan serius.
Warga di lokasi bencana sedang membantu mencari korban tertimbun longsor di Arjasari, Kabupaten Bandung. (Sumber: ayobandung.id | Foto: Gilang Fathu Romadhan)
Ayo Netizen 15 Des 2025, 20:05 WIB

Tahun 2000-an, Palasari Destinasi 'Kencan Intelektual' Mahasiswa Bandung

Tahun 2002, Palasari bukan sekadar pasar buku. Ia adalah universitas paralel bagi mahasiswa UIN Bandung.
 Tahun 2002, Palasari bukan sekadar pasar buku. Ia adalah universitas paralel bagi mahasiswa UIN Bandung (Sumber: ayobandung.com | Foto: Irfan Al-Farisi)
Ayo Netizen 15 Des 2025, 19:25 WIB

Benang Kusut Kota Bandung: Penataan Kabel Tak Bisa Lagi Ditunda

Kabel semrawut di berbagai sudut Kota Bandung merusak estetika kota dan membahayakan warga.
Kabel-kabel yang menggantung tak beraturan di Jl. Katapang, Lengkong, Kota Bandung, pada Rabu (03/12/2025). (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: Masayu K.)
Ayo Netizen 15 Des 2025, 18:08 WIB

Menghangat di Hujan Bandung dengan Semangkuk Mie Telur Mandi dari Telur Dadar JUARA

“Mie Telur Mandi” dari sebuah kedai di Kota Bandung yang sedang ramai diperbincangkan di media sosial.
 “Mie Telur Mandi” dari sebuah kedai di Kota Bandung yang sedang ramai diperbincangkan di media sosial. (Sumber: Dokumentasi Penulis)
Ayo Netizen 15 Des 2025, 17:14 WIB

Mengukus Harapan Senja di Jatinangor

Ketika roti kukus di sore hari menjadi kawan sepulang kuliah.
Roti-roti yang dikukus kembali sebelum diberi topping. (Foto: Abigail Ghaissani Prafesa)
Ayo Netizen 15 Des 2025, 17:04 WIB

Selamat Datang di Kota Bandung! Jalan Kaki Bisa Lebih Cepat daripada Naik Kendaraan Pribadi

Bandung, yang pernah menjadi primadona wisata, kini menduduki peringkat sebagai kota termacet di Indonesia.
Deretan kendaraan terjebak dalam kemacetan pasca-hujan di Kota Bandung, (03/12/2025). (Foto: Zaidan Muafa)
Ayo Netizen 15 Des 2025, 16:52 WIB

Cerita Kuliner Nasi Tempong dan Jalanan Lengkong yang tak Pernah Sepi

Salah satu kisahnya datang dari Nasi Tempong Rama Shinta, yang dahulu merasakan jualan di gerobak hingga kini punya kedai yang selalu ramai pembeli.
Jalan Lengkong kecil selalu punya cara menyajikan malam dengan rasa di Kota Bandung, (05/11/2025). (Foto: Zaki Al Ghifari)
Ayo Netizen 15 Des 2025, 16:09 WIB

Lampu Lalu Lintas Bermasalah, Ancaman Kecelakaan yang Perlu Ditangani Cepat

Lampu lalu lintas di perempatan Batununggal dilaporkan menampilkan hijau dari dua arah sekaligus yang memicu kebingungan dan potensi kecelakaan.
Kondisi lalu lintas yang berantakan di perempatan Batununggal, Kota Bandung (4/12/25) (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: Amelia Ulya)
Ayo Netizen 15 Des 2025, 15:56 WIB

Terjangkau namun Belum Efisien, Trans Metro Pasundan di Mata Mahasiswa

Mahasiswa di Bandung memilih bus kota sebagai transportasi utama, namun masih menghadapi kendala pada rute, jadwal, dan aplikasi.
Suasana di dalam bus Trans Metro Pasundan di sore hari pada hari Selasa (2/12/2025). (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: Dheana Husnaini)
Ayo Netizen 15 Des 2025, 15:16 WIB

Bandung di Tengah Ledakan Turisme: Makin Cantik atau Cuma Viral?

Artikel ini menyoroti fenomena turisme Bandung yang makin viral namun sekaligus makin membebani kota dan lingkungannya.
Sekarang Bandung seperti berubah jadi studio konten raksasa. Hampir setiap minggu muncul cafe baru dan semuanya berlomba-lomba tampil seestetik mungkin agar viral di TikTok. (Sumber: Dokumentasi Penulis)
Ayo Netizen 15 Des 2025, 14:36 WIB

Jalan Baru Literasi dan Numerasi di Indonesia: Berkaca pada Pendidikan Finlandia

Rendahnya kemampuan literasi dan numerasi siswa Indonesia berdasarkan data PISA dan faktor penyebabnya.
Butuh kerjasama dan partisipasi dari berbagai pihak dalam rangka mewujudkan pendidikan terbaik bagi anak-anak negeri ini. (Sumber: Pexels/Agung Pandit Wiguna)
Ayo Netizen 15 Des 2025, 14:28 WIB

Tahu Bakso di Pasar Sinpasa Summarecon Bandung: Lezatnya Paduan Tradisi dan Urban Vibes

Di sekitar Pasar Modern Sinpasa Summarecon Bandung, salah satu tenant mampu menarik perhatian siapa saja yang lewat: tahu bakso enak.
Tahu Bakso Enak. (Sumber: dokumentasi penulis)
Ayo Netizen 15 Des 2025, 12:06 WIB

Polemik Penerapan Restorative Justice di Indonesia sebagai Upaya Penyelesaian Perkara

Polemik restorative justice dibahas dengan menggunakan metode analisis normatif, namun pada bagian penjelasan contoh digunakan juga analisis sosiologis.
Ilustrasi hukum. (Sumber: Pexels/KATRIN BOLOVTSOVA)
Ayo Netizen 15 Des 2025, 10:19 WIB

Babakan Siliwangi Perlu Cahaya: Jalur Populer, Penerangan Minim

Hampir setiap malam di wilayah Babakan Siliwangi penerangan yang minim masih menjadi persoalan rutin.
Suasana Babakan Siliwangi saat malam hari (4/12/2025) dengan jalanan gelap, mural warna-warni, dan arus kendaraan yang tak pernah sepi. (Sumber: Bunga Citra Kemalasari)
Ayo Netizen 15 Des 2025, 10:00 WIB

Kunci 'Strong Governance' Bandung

Strong governance adalah salah satu kebutuhan nyata Bandung kiwari.
Suasana permukiman padat penduduk di pinggir Sungai Cikapundung, Tamansari, Kota Bandung. (Sumber: Ayobandung | Foto: Irfan Al Faritsi)
Ayo Netizen 15 Des 2025, 08:31 WIB

Benarkah Budidaya Maggot dalam Program 'Buruan Sae' Jadi Solusi Efektif Sampah Kota Bandung?

Integrasi budidaya maggot dalam Program Buruan Sae menjadi penegasan bahwa pengelolaan sampah dapat berjalan seiring dengan pemberdayaan masyarakat.
Budidaya maggot di RW 9 Lebakgede menjadi upaya warga mengolah sampah organik agar bermanfaat bagi lingkungan sekitar. (Sumber: ayobandung.id | Foto: Ikbal Tawakal)
Beranda 15 Des 2025, 07:48 WIB

Pembangunan untuk Siapa? Kisah Perempuan di Tengah Perebutan Ruang Hidup

Buku ini merekam cerita perjuangan perempuan di enam wilayah Indonesia, yakni Sumatera, Sulawesi, NTT, NTB, serta dua titik di Kalimantan, yang menghadapi konflik lahan dengan negara dan korporasi.
Diskusi Buku “Pembangunan Untuk Siapa: Kisah Perempuan di Kampung Kami” yang digelar di Perpustakaan Bunga di Tembok, Bandung, Minggu (14/12/2025).
Beranda 15 Des 2025, 07:32 WIB

Diskusi Publik di Dago Elos Angkat Isu Sengketa Lahan dan Hak Warga

Dari kegelisahan itu, ruang diskusi dibuka sebagai upaya merawat solidaritas dan memperjuangkan hak atas tanah.
Aliansi Bandung Melawan menggelar Diskusi Publik bertema “Jaga Lahan Lawan Tiran” pada 12 Desember 2025 di Balai RW Dago Elos, Kota Bandung. (Sumber: ayobandung.id | Foto: Halwa Raudhatul)
Ayo Biz 15 Des 2025, 07:16 WIB

Berawal dari Kegelisahan, Kini Menjadi Bisnis Keberlanjutan: Perjalanan Siska Nirmala Pemilik Toko Nol Sampah Zero Waste

Toko Nol Sampah menjual kebutuhan harian rumah tangga secara curah. Produk yang ia jual sudah lebih dari 100 jenis.
Owner Toko Nol Sampah, Siska Nirmala. (Sumber: ayobandung.id | Foto: Toni Hermawan)
Ayo Netizen 14 Des 2025, 20:09 WIB

Good Government dan Clean Government Bukan Sekadar Narasi bagi Pemkot Bandung

Pentingnya mengembalikan citra pemerintah daerah dengan sistem yang terencana melalui Good Government dan Clean Government.
Wali Kota Bandung, Muhammad Farhan,