Kita sering banget dengar, “Ateis itu gak percaya Tuhan.” Udah, titik. Kayak ateisme cuma urusan menolak Tuhan, selesai.
Tapi coba deh, kali-kali kita gali lebih dalam. Memang Tuhan yang kayak apa yang ditolak? Karena, percaya atau enggak, konsep Tuhan yang sering jadi acuan dalam obrolan banyak orang itu sangat khas Barat. Tuhan yang personal, pencipta semesta, dan duduk di kursi tertinggi jagat raya. Nah, ateisme modern itu muncul justru buat menolak Tuhan versi ini.
Inilah yang berkibar secara global pas awal tahun 2000-an. Gerakan yang disebut New Atheism, dibawa oleh Richard Dawkins, Sam Harris, Daniel Dennett, sama Christopher Hitchens. Empat jenderal ateisme kontemporer. Suara mereka keras banget. Agama dianggap biang keladi perang, kebodohan, dan kemunduran peradaban manusia.
Tentu branding-nya keren, intelektual, ilmiah. Tapi makin dibaca, makin terasa kalau pandangan mereka ini lahir dari cara berpikir yang sangat Barat dan kolonial. Mereka menyerang agama seperti yang mereka kenal, utamanya Kekristenan dan jujur saja islamofobia. Padahal andai saja mereka tahu bahwa dunia ini enggak sesempit itu.
Halo! Dunia Itu Luas
Para kritikus kayak Talal Asad, Saba Mahmood, atau Stephen LeDrew menunjukkan hal menarik. Ateisme baru tuh sebenarnya masih “teistik” dalam cara berpikirnya, nalarnya cuma dibalik doang. Kalau agama bilang Tuhan ada, mereka bilang Tuhan enggak ada. Berputar di sekitar ide Tuhan personal yang jadi pusat segalanya.
Masalahnya nih, di luar Eropa dan Amerika Utara, banyak tradisi dan religi yang enggak punya konsep Tuhan kayak begitu. Jadi ketika ateis model ini bilang soal agama yang katanya enggak gunua, yang mereka maksud sebenernya cuma agama versi mereka sendiri. Mereka enggak lagi menyoal seluruh cara manusia menghayati realitas yang suci.
Kalau kita lepas dari kacamata Barat, ternyata dunia jauh lebih rumit. Banyak masyarakat tidak punya konsep Tuhan personal, tapi tetap hidup dalam nilai-nilai religius yang dalam.
Lihat aja Buddhadarma (Agama Buddha). Tidak ada Tuhan pencipta, tapi jelas bukan nihilistik. Fokusnya bukan menyembah yang vertikal, tapi membebaskan diri dari penderitaan lewat kesadaran. Dao Jiao (Agama Tao) juga mirip. Tidak butuh iman kepada sosok gaib, tapi pada prinsip hidup yang selaras dengan alam, dengan sadar dengan realitas yang ada, Dao.
Dari sini aja kita bisa sedikit melek. Kalau tidak percaya Tuhan bukan berarti tidak punya agama. Bisa jadi, justru karena mereka tidak menuhankan satu sosok, mereka lebih dekat dengan religiusitas itu sendiri.
Agama Tanpa Label di Jepang
Sekarang coba tengok Jepang. Survei bilang mayoritas orang Jepang tidak beragama (mushukyo). Tapi anehnya, mereka tetap rajin datang ke kuil Shinto, berdoa di altar rumah, dan menggelar upacara Buddha saat ada yang meninggal. Jadi, bagaimana nih ceritanya orang “tidak beragama” tapi ritualnya segitu hidup?
Jawabannya, buat orang Jepang, agama itu label asing. Kata shukyo (religion) baru dikenal abad ke-19, waktu Jepang mulai berhubungan dengan Barat. Mereka bingung, karena religiusitas lokal mereka berbeda dengan kategori agama ala Eropa. Maka, waktu bilang “aku enggak beragama”, yang mereka tolak itu bukan religiusitasnya, tapi kategorisasi kolonialnya.
Nyatanya mereka masih menghormati Kami, roh leluhur, masih merawat kesucian alam, cuma enggak butuh label “agama”. Itu semacam “ateisme” yang religius. Bingung kan?
Maori yang Menolak Agama
Hal serupa terjadi di kalangan Maori di Aotearoa (Selandia Baru). Banyak generasi muda Maori menyebut diri “tidak beragama”. Tapi itu bukan karena mereka rasionalis dingin kayak Dawkins, melainkan karena agama di mata mereka identik dengan kolonialisme. Dulu, misionaris Kristen datang bareng proyek penjajahan Inggris, menghancurkan sistem religiusitas lokal Maori.
Sekarang mereka mau membalik narasi itu. Orang muda menolak agama formal, tapi tetap menjaga hubungan sakral dengan tanah (whenua), bahasa (te reo), dan leluhur (tipuna). Jadi di sini kalau mereka bilang “aku enggak beragama”, maksudnya “aku menolak agama yang menjajah, bukan menolak religiusitas.” Ateisme mereka adalah bentuk perlawanan religius tapi anti-kolonial. Seru kan fun fact-nya?
India dan Tiongkok Klasik
India punya sejarah panjang ateisme yang jauh lebih tua dari Barat. Sejak abad ke-6 SEU, aliran Carvaka sudah bilang, “Tuhan itu ilusi, yang nyata cuma dunia ini.” Tapi mereka enggak berhenti di situ. Mereka mengajarkan kebahagiaan dan kebebasan berpikir.
Bahkan Buddha dan Jainis pun termasuk dalam satu gerakan dengan mereka, Sramana yang menolak otoritas Weda dan para Brahmana. Kelompok petapa mandiri ini enggak percaya pada Tuhan pencipta, tapi tetap punya sistem moral dan religiusitas yang mantap. Jadi ateisme di India bukan reaksi terhadap agama, tapi bagian dari keberagamaan itu sendiri. Pusing-pusing loh.
Daratan Tiongkok juga punya ceritanya. Dalam tradisi Ru Jiao (Agama Konghucu), enggak ada tuh konsep Tuhan personal. Langit (Tian) adalah prinsip moral, sumber asasi segalanya. Bahkan agama ini tidak banyak menyinggung tentang obrolan spekulatif akal baka dan dunia metafisik. Tapi uniknya hidup mereka tetap diwarnai ziarah, penghormatan pada leluhur, dan kesadaran akan harmoni. Bahkan ketika negara modern Tiongkok jadi “ateis”, kehidupan religiusitas masyarakatnya tetap jalan terus. Cuma enggak dilabeli agama.

Melihat Jawa
Di Indonesia pun ada bentuk religiusitas tanpa agama. Contohnya, Sedulur Sikep atau pengikut ajaran Samin Surosentiko di Jawa. Mereka menolak agama formal karena dianggap alat kekuasaan, tapi bukan berarti enggak religius ya. Bagi mereka, hidup jujur, sederhana, dan selaras dengan alam itu sudah cukup jadi jalan yang sakral.
Negara sempat bingung karena mereka enggak mau memilih satu dari enam agama besar. Tapi mereka tetap teguh.
Menariknya, fenomena serupa juga terlihat pada gerakan modern SUBUD (Susila, Budhi, Dharma) dan Pangestu (Paguyuban Ngesti Tunggal). Keduanya menolak dilabeli sebagai agama, kebatinan, atau bahkan kepercayaan sekalipun. Mereka menekankan latihan batin dan pengalaman langsung dengan Yang Ilahi. Mereka terbuka dengan segala orang yang datang dari lintas agama dan iman. Keduanya memperlihatkan bahwa religiusitas bisa tumbuh di luar kategori agama maupun kepercayaan lokal. Mereka berdiri di ruang antara yang justru subur bagi religiusitas yang hidup, lentur, dan tidak terikat definisi negara modern.
Dunia Enggak Hitam Putih
Kalau kita lihat dari semua contoh tadi, kelihatan banget kan, ateisme itu enggak sesederhana “percaya atau enggak percaya Tuhan.” Di banyak tempat, sikap “tidak beragama” justru muncul sebagai cara menjaga religiusitas dari monopoli makna oleh sistem yang kaku dan sempit. Itu bukan penolakan terhadap apa yang disebut sistem religi, tapi bentuk keberanian untuk keluar dari nalar Barat yang sok iye.
Dan di situ letak pentingnya. Kemandirian untuk tetap mencari makna hidup tanpa harus tunduk pada label atau otoritas tertentu. Itulah keragaman yang sering luput kita rayakan. Bahwa betapa banyaknya cara manusia berhubungan dengan yang sakral.
Makanya, gaskeun enggak sih kita belajar agama-agama lagi, tapi kali ini dengan kepala yang lebih terbuka. Supaya kita enggak terjebak dalam dikotomi klise antara “beragama” dan “ateis”, seolah pengalaman religius cuma bisa valid kalau sesuai standar orang kulit putih saja. Karena kalau kita jujur, simpang-siur dan kontroversi soal ateisme itu sendiri banyak berakar dari narasi Barat modern, dengan sejarah kolonial dan epistemologi yang khas.
Nah, pertanyaannya sekarang, apa kita mau ikut-ikutan cara pikir yang bahkan enggak nyambung sama pengalaman budaya kita sendiri? Kayanya enggak perlu, deh. Iya kan? Soalnya kita punya dunia sendiri, dengan cara-cara unik buat memahami yang ilahi, yang manusiawi, dan yang di antaranya. Merdeka! (*)
